Surat Titipan
Sumber: Hipwee.com |
…Andaiku jadi bintang, bintang hatimu. Andai aku jadi awan, kau pelangiku. Meramaikan dunia cinta sahabat, mewarnai hidupku. Sahabat yang sejati itulah kita. Biarkanku menari di derasnya hujan. Tak kurela kau terluka. Biarlah aku menggantikan sulitmu. Duhai semua yang terkasih. Terima kasih atas semua cinta. Membuat aku jadi merasa hidupku ada gunanya…(Bintang di hati, Melly Goeslow)
Lagu ini terus berputar-putar di balik headset-ku. Perasaanku seperti terlelap dalam syair-syair Melly Goeslow. Nadanya yang syahdu menari-nari dalam rasa hatiku. Dalam tidur di ruang yang cahayanya kumatikan, aku sampai menangis karena syair dan nadanya menyayat. Kenapa? Karna aku juga manusia biasa yang juga punya emosi. Dalam kelengahan aktivitasku di atas kasur aku menatap langit-langit kamar tidurku. Kuteringat satu tahun lalu, aku mendapat titipan surat yang sampai hari ini aku belum memberikannya kepada sang penerimanya.
Aku membuka WhatsApp, jemariku men-scroll semua kontak yang tertera dalam akunku. Aku membuka kontak kekasihku. Dalam chat kami berdua, kekasihku mendapatkan alamat dan nomor telepon perempuan yang sudah satu tahun ini aku cari.
Aku mengamati foto perempuan berjilbab itu, saudara kembar sahabatku waktu aku dulu masih tinggal di kota kelahiranku. Sahabatku itu bernama Fatima Saraswati. Fatima si murah senyum yang selalu menjadi tempat solusi terbaikku. Pelukan hangat yang selalu dia berikan saat kami bertemu. Bahkan aku masih mengharapkan pelukan hangat itu, saat aku napak tilas di setiap travelling kami. Wajah dan senyum dalam foto perempuan itu mengingatkanku akan sosok Fatima.
Aku peluk erat surat dari Fatima yang sudah satu tahun ini kusimpan. Besok adalah hari terakhir pencarian saudara kembar Fatima.
***
Wajahku berharap-harap dalam cemas menunggu saudara kembar Fatima. Kekasihku membuat janji dengannya di sebuah kafe dekat perpustakaan, tempat di mana aku bekerja sebagai pustakawan. Aku sibuk memainkan ponselku. Sampai aku kehilangan kewarasanku. Jantungku berdebar pelan. Kekasihku memperhatikanku. Dia memegang tanganku.
“El… Ella?”
“Iya, Zak?“ jawabku gugup. Zaki menatapku lembut. Dia tersenyum manis memberikanku ketenangan.
“Dia pasti datang. Tenanglah!”
“Iya. Thanks. Udah bantu aku banyak”
“Kamu ngomong apa? Hei, come on! Aku ini kekasih kamu. Gak perlu ada terima kasih”
Aku tersenyum tipis mendengar penuturan Zaki. Aku menyeruput es teh lemon pesananku agar sedikit lebih tenang. Aku perbaiki syal yang kini aku gunakan sebagai penutup rambut. Mataku terus melihat ke arah pintu kafe. Beberapa menit kemudian mataku disuguhkan sosok perempuan berjilbab yang muncul dari balik pintu. Wajahnya tak asing sama sekali. Perempuan itu memakai pasmina merah. Dia tersenyum ke arah kami berdua. Air mataku menetes pelan. Begitu dia berjalan ke arah kami, aku memeluknya erat. Perasaanku membuncah. Senang, terharu, dan tak percaya akhirnya bisa ku rasakan. Setelah sekian lama pencarian itu akhirnya berlalu.
Zaki mempersilakan perempuan cantik itu untuk duduk. Perhatianku masih terpaku pada wajah perempuan itu. Ada wajah Fatima. Fatima yang selalu merangkulku. Fatima yang selalu tertawa di depanku. Fatima yang selalu menawarkan pisang coklat kesukaanku. Fatima yang selalu menjadi keramaian tawaku. Tapi, yang di depanku bukan Fatimaku. Dia orang lain. Zaki memegang tanganku untuk menghentikan kenangan Fatima di dalam kepala. Mata Zaki memberiku isyarat untuk membicarakan tujuanku menemui saudara kembar Fatima ini.
“Aku Ella Ruhina, teman Fatima Saraswati.” Ucapku sambil mengulurkan tanganku untuk berjabat tangan. Bermaksud untuk berkenalan. Aku lihat ekpresi senyum anggunnya yang mencerahkan wajah.
“Aku Aisya Saraswati. Senang bisa mengenalmu. Sebenarnya aku sering mendengar namamu. Kau penulis cerpen, kan?”
“Iya…” jawabku sedikit malu.
Seorang pelayan mengantarkan 3 cangkir kopi pesanan kami bertiga. Serta roti kering dan basah pesanan kami. Aku menyeruput kopi untuk mengatur emosiku yang campur aduk. Kali ini Zaki berusaha mengimbangi situasiku dengan mengobrol dengan Aisya. Aku mendengarkan perbincangan ringan mereka mengenai pekerjaan yang sekarang ditekuni Aisya sebagai pelukis. Aku mengambil sepucuk amplop dari dalam tasku. Sesaat, aku memperhatikan amplop yang kini akan berpindah tangan. “Fatima…” batinku. Aku masih memperhatikan Aisya yang masih asyik berbincang dengan Zaki. Aku meletakkan amplop itu pelan di atas meja. Aisya melihat tingkahku.
“Ada apa?”
Aku menarik nafas. “Ini.” Kataku sambil menyerahkan amplop itu. Aisya kaget melihat amplop itu. Dia segera membuka amplop dan membaca selembar surat yang ditulis Fatima. Dengan aura ketenangannya dia membaca dengan tenang.
Teruntuk Aisya Saraswati
Assalamu'alaikum wr wb
Teruntuk sepenggal napas yang namanya entah di mana. Yang hatinya selalu menari-nari dalam senyum. Semoga rahmat Ilahi tercurahkan sepanjang hidupmu. Aku saudarimu di tempat antah sedang memeluk segala hal mengenai dirimu. Fatima saraswati. Sepenggal napas ada di sini.
Aisya, begitu aku tahu bahwa aku adalah sepenggal napas dari rahim ibu kita, aku langsung menulis surat ini. Mungkin napas ini bisa saja menjadi kehendak Tuhan. Tapi, temanku Ella akan menyambungkan napas ini. Dia temanku, dia adalah segalanya. Dia sepi dalam nyata, tapi hatinya penuh keriuhan. Kau tau, dia sudah ditinggal kedua orang tuanya sejak kecil. Jadi, keriuhanku adalah napasnya.
Aisya, aku tahu, napas ini memang tak lama, begitu aku diberi tau pamanku bahwa aku punya saudara kembar yang sekarang hidup bersama Ibu yang selama ini tak pernah kukecup tangan dan jiwanya. Tapi, ciumanku akan selalu ada seiring dengan ciumanmu pada ibu kita.
Tanyakan soal aku pada Ella. Dia akan membacakan kisahku di hadapanmu. Karna dia adalah saksi napasku.
Wassalamu'alaikum...
Kulihat Aisya melipat surat itu dan melihat foto yang juga ada di dalam amplop itu. Foto bayi kembar yang agak pudar gambarnya. Apalagi kertas fotonya yg terlihat kusam. Aisya menatapku dengan senyum manis.
“Aku sudah tahu kalau Fatima itu sadariku. Aku sudah lama ingin menemuinya. Oke, sekarang ceritakan padaku. Apa yang terjadi padanya?” nada suaranya begitu tenang. Dia melihatku, menanti jawabanku.
Zaki memberiku isyarat untuk segera menjawab pertanyaan Aisya. Aku manggut dan menarik napas untuk menata perasaanku. Aku menutup mata sebentar mengingat kejadian nahas itu. Penembakan yang terjadi di mall. Saat aku dan Fatima sedang membeli tas untukku karna aku sudah mendapatkan pekerjaan di perpustakaan. Saat itu seluruh mall sedang diteror oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka ingin mencuri emas di mall itu. Kami berdua lari mencari pintu keluar lewat ruang belakang. Fatima yang menjadi arah petunjuk jalan. Dan saat itu, sambil berlarian aku menelpon Zaki untuk meminta bantuan. Tapi, Fatima melihat seorang peneror mengarahkan pistolnya kepadaku. Saat pelatuk itu ditekan, Fatima segera berlari menarik lenganku. Tapi tembakan itu mengenai tubuh Fatima. Darah mengalir deras dari dalam tubuhnya. Saat dibawa ke rumah sakit, Fatima sudah banyak kehilangan darah.
“I am really sorry!” ucapku dengan perasaan bersalah. Aku menangis tersedu. “Andaikan aku tidak sibuk menelepon, mungkin Fatima pasti akan menemuimu. Ini semua karna aku..“ Aku menangkupkan kedua tanganku ke wajah. Aku menangis terisak. Aisya mendekatiku, memelukku dan menenangkanku. Seakan pelukan itu adalah pelukan dari Fatima Saraswati.
Penulis : Nur Rohmatus Sa’adah
Editor : Chandra Nirwana
Bagus...lanjutkan. Ya, meskipun teenlit (nulise piye, sih tinlit ki?) banget...😁😁
ReplyDelete