Joe dan Kampus Impian
Ilustrator: Candra |
Oleh: Ika Rochma
Hari ini adalah hari pertama Joe Yulian masuk kuliah. Ia sangat senang sekali. Karena ia sebentar lagi akan merasakan bagaimana menjadi mahasiswa yang sebenarnya. Bukan lagi menjadi anak 17 tahun yang memakai seragam putih abu-abu. Senyum tak henti-hentinya terukir di sudut bibir Joe. Terlebih ini adalah kampus impiannya.
Pagi tadi Joe bangun jam setengah empat, hal itu tentu saja membuat Setya yang merupakan ibu Joe cukup kaget. Tidak biasanya Joe bangun sangat pagi. Dan, selesai sholat subuh Joe langsung bergegas mandi dan memakai busana yang cocok untuk pergi ke kampus. Joe terlalu bersemangat. Dan hal itu membuat Setya cukup senang.
“Bu, aku sudah nggak sabar ingin belajar di kampus. Dan kau tahu bu, aku sudah tidak sabar bertemu sama ibu-ibu dosen yang cantik-cantik itu.” Ucap Joe kepada Ibunya saat sedang sarapan.
Setya tertawa kecil mendengar ucapan dari anak pertamanya ini. “Heleh, kau ini. Sudah sana cepetan habisin sarapanmu. Entar telat loh!”
Joe mengangguk menurut kepada Setya. Ia segera menghabiskan makanan yang dimasak oleh Setya. Setelah itu, Joe pamit kepada Setya. Dengan segera, ia mengayuh sepeda ontelnya menuju kampus. Bukan Joe tidak memiliki sepeda motor tetapi Joe memang lebih tertarik pergi dan pulang dari kampus menggunakan sepeda ontel pemberian dari almarhum ayahnya.
Lima belas menit akhirnya Joe sampai di kampus. Di depan kampus, Joe melihat satpam yang sedang menyapa dan menyeberangkan beberapa mahasiswa. “Pagi pak, semangat ya kerjanya!” Ucap Joe kepada satpam tersebut tak lupa dengan senyum menawannya. “Makasih mas” jawabnya.
Joe memarkirkan sepedanya di belakang gedung fakultasnya. Ia melihat banyak mahasiswa yang memakai sepeda motor. Bahkan tidak ada yang memakai sepeda ontel. Tapi tak mengapa, Joe tak iri dengan mereka. Semua orang berhak memilih mau memakai apa untuk aktivitasnya. Joe berjalan meninggalkan parkiran menuju gedung fakultas. Mata Joe tak henti-hentinya memandang kagum seluruh bagian gedung. Semuanya tertata rapi dan tersusun. Dari lantai satu sampai lantai empat. Meskipun harus menaiki tangga yang terhitung lumayan banyak dan sedikit melelahkan. Upss… “Andai ada alternatif lain selain tangga bakal nggak capek nih mahasiswanya.” Keluh Joe.
Terlihat seseorang yang Joe kenal sedang melambaikan tangannya dan berjalan kearahnya. “Hay Joe, akhirnya kita ketemu juga.” Sapa Taufik yang saat itu sudah di depannya. “Iya, kita sekelaskan?” Tanya Joe.
Taufiq menganggukkan kepala. “Yoi, kita sekelas.” Balasnya.
Joe melihat layar ponselnya yang menampilkan notifikasi pesan dari seseorang yang membuat Joe lagi dan lagi tersenyum. Entah apa isi pesan tersebut. Setelah itu Joe memasukkan ponselnya ke dalam tas gendongnya yang berwarna hitam. “Yuk ke kelas” Ajak Taufiq. Akhirnya Joe dan Taufiq melanjutkan jalannya menuju ruangan yang terletak di lantai empat.
“Akhirnya ketemu juga, Ruang 403.”
Ruangan yang letaknya paling ujung. Joe berdiri di depan pintu kelas. Ia menarik napasnya lalu dihembuskannya. Rasanya panas dingin. Dapat dilihat oleh Joe di dalam sana sudah ada orang-orang yang tak ia kenal yang sebentar lagi menjadi teman satu kelasnya sudah banyak yang datang. “Selamat datang kampus impianku.” Ucapnya lirih.
Joe melangkahkan kakinya ke dalam kelas dengan senyum manisnya diikuti oleh Taufiq. Namun, semua itu tiba-tiba sirna. Senyuman itu hilang. Diganti oleh ekspresi terkejut dan sedih. Bagaimana tidak, pemandangan yang disuguhkan di depan matanya membuat ekspektasinya mendadak buyar. Joe melihat lubang menganga di atas kepala dikarenakan plafon-plafon kelas yang jebol. Bahkan rontokan plafon yang retak masih betah mengantung di udara. Ada pula yang sudah roboh dan menghantam lantai kelas di ruang 403. “Kenapa ruang kelas seperti ini dan plafon pada jebol semua?” Tanyanya pada Taufiq.
Taufiq menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu.” Jawabnya.
Joe menghela napasnya gusar. “Tidak hanya ruang 403 saja tapi plafon ruang 410 aku denger-denger juga jebol. Padahal fakultas ini baru saja dibangun.” Ujar Taufiq.
Mendengar hal itu membuat hati Joe semakin sedih. Astaga! Kampus impianku kok seperti ini? Ucap Joe dalam hati.
Samar-samar Joe mendengar seseorang berteriak dengan lantangnya. “AULA PLAFONNYAA JEBOOOLLL...”
Joe menepuk jidatnya dengan tangannya sendiri. “Oh malangnya kampus impianku.”
Pagi tadi Joe bangun jam setengah empat, hal itu tentu saja membuat Setya yang merupakan ibu Joe cukup kaget. Tidak biasanya Joe bangun sangat pagi. Dan, selesai sholat subuh Joe langsung bergegas mandi dan memakai busana yang cocok untuk pergi ke kampus. Joe terlalu bersemangat. Dan hal itu membuat Setya cukup senang.
“Bu, aku sudah nggak sabar ingin belajar di kampus. Dan kau tahu bu, aku sudah tidak sabar bertemu sama ibu-ibu dosen yang cantik-cantik itu.” Ucap Joe kepada Ibunya saat sedang sarapan.
Setya tertawa kecil mendengar ucapan dari anak pertamanya ini. “Heleh, kau ini. Sudah sana cepetan habisin sarapanmu. Entar telat loh!”
Joe mengangguk menurut kepada Setya. Ia segera menghabiskan makanan yang dimasak oleh Setya. Setelah itu, Joe pamit kepada Setya. Dengan segera, ia mengayuh sepeda ontelnya menuju kampus. Bukan Joe tidak memiliki sepeda motor tetapi Joe memang lebih tertarik pergi dan pulang dari kampus menggunakan sepeda ontel pemberian dari almarhum ayahnya.
Lima belas menit akhirnya Joe sampai di kampus. Di depan kampus, Joe melihat satpam yang sedang menyapa dan menyeberangkan beberapa mahasiswa. “Pagi pak, semangat ya kerjanya!” Ucap Joe kepada satpam tersebut tak lupa dengan senyum menawannya. “Makasih mas” jawabnya.
Joe memarkirkan sepedanya di belakang gedung fakultasnya. Ia melihat banyak mahasiswa yang memakai sepeda motor. Bahkan tidak ada yang memakai sepeda ontel. Tapi tak mengapa, Joe tak iri dengan mereka. Semua orang berhak memilih mau memakai apa untuk aktivitasnya. Joe berjalan meninggalkan parkiran menuju gedung fakultas. Mata Joe tak henti-hentinya memandang kagum seluruh bagian gedung. Semuanya tertata rapi dan tersusun. Dari lantai satu sampai lantai empat. Meskipun harus menaiki tangga yang terhitung lumayan banyak dan sedikit melelahkan. Upss… “Andai ada alternatif lain selain tangga bakal nggak capek nih mahasiswanya.” Keluh Joe.
Terlihat seseorang yang Joe kenal sedang melambaikan tangannya dan berjalan kearahnya. “Hay Joe, akhirnya kita ketemu juga.” Sapa Taufik yang saat itu sudah di depannya. “Iya, kita sekelaskan?” Tanya Joe.
Taufiq menganggukkan kepala. “Yoi, kita sekelas.” Balasnya.
Joe melihat layar ponselnya yang menampilkan notifikasi pesan dari seseorang yang membuat Joe lagi dan lagi tersenyum. Entah apa isi pesan tersebut. Setelah itu Joe memasukkan ponselnya ke dalam tas gendongnya yang berwarna hitam. “Yuk ke kelas” Ajak Taufiq. Akhirnya Joe dan Taufiq melanjutkan jalannya menuju ruangan yang terletak di lantai empat.
“Akhirnya ketemu juga, Ruang 403.”
Ruangan yang letaknya paling ujung. Joe berdiri di depan pintu kelas. Ia menarik napasnya lalu dihembuskannya. Rasanya panas dingin. Dapat dilihat oleh Joe di dalam sana sudah ada orang-orang yang tak ia kenal yang sebentar lagi menjadi teman satu kelasnya sudah banyak yang datang. “Selamat datang kampus impianku.” Ucapnya lirih.
Joe melangkahkan kakinya ke dalam kelas dengan senyum manisnya diikuti oleh Taufiq. Namun, semua itu tiba-tiba sirna. Senyuman itu hilang. Diganti oleh ekspresi terkejut dan sedih. Bagaimana tidak, pemandangan yang disuguhkan di depan matanya membuat ekspektasinya mendadak buyar. Joe melihat lubang menganga di atas kepala dikarenakan plafon-plafon kelas yang jebol. Bahkan rontokan plafon yang retak masih betah mengantung di udara. Ada pula yang sudah roboh dan menghantam lantai kelas di ruang 403. “Kenapa ruang kelas seperti ini dan plafon pada jebol semua?” Tanyanya pada Taufiq.
Taufiq menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu.” Jawabnya.
Joe menghela napasnya gusar. “Tidak hanya ruang 403 saja tapi plafon ruang 410 aku denger-denger juga jebol. Padahal fakultas ini baru saja dibangun.” Ujar Taufiq.
Mendengar hal itu membuat hati Joe semakin sedih. Astaga! Kampus impianku kok seperti ini? Ucap Joe dalam hati.
Samar-samar Joe mendengar seseorang berteriak dengan lantangnya. “AULA PLAFONNYAA JEBOOOLLL...”
Joe menepuk jidatnya dengan tangannya sendiri. “Oh malangnya kampus impianku.”
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.