Inggit Garnasih, Sosok Penting yang Terlupakan
Sumber gambar : boombastis.com
Esai oleh : Umar AN
Hingga saat ini masih saya ingat betul, ketika saya masih di bangku SD, dimana ketika pelajaran IPS, pada bab sejarah tepatnya. Ketika ditanya, “Siapa istri Presiden Soekarno anak-anak?”. Dengan serempak dan percaya diri kami jawab “Fatmawati” bu guru. Hingga masa SMP dan SMA berakhir, kami tetap konsisten dengan jawaban tersebut. Bahkan sampai bangku kuliah.
Sebetulnya tak ada yang salah dengan hal itu, tapi mbok yo o…nama lain seperti Inggit Garnasih itu juga diperkenalkan. Tak hanya Fatmawati, masih ada sosok lain yang menurut saya tak kalah penting untuk diketahui para pelajar di Indoesia. Setidaknya, biar kami para pelajar itu punya jawaban yang bervariasi. Bukankah jasa Inggit Garnasih juga besar bagi proses panjang perjuangan Bung Karno?
Lalu siapa dan bagaimana sebenarnya perjuangan sosok yang minim dikisahkan dalam literatur buku pelajaran sejarah sekolah ini?
Inggit Garnasih lahir di Kota Kembang, tepatnya di Desa Kamasan, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, pada 17 Februari 1888. Inggit remaja tumbuh menjadi sosok perempuan sederhana yang bersahaja. Sosok yang sangat dikenal di lingkunganya, apalagi oleh para pemuda desanya, itu sudah pasti, karena dia adalah kembang desa. Sebagian dari mereka sering berucap “Mendapat senyuman dari Garnasih sama dengan mendapat uang seringgit”, yang akhirnya julukan inilah yang tersemat dalam namanya “Inggit (ringgit) Garnasih”.
Sebab itu pula Soekarno muda pun jatuh hati padanya, dan tak mampu membendung perasannya pada sosok Inggit Garnasih, meski terpaut usia yang begitu jauh, 13 tahun lebih tua dari Soekarno. Sebelum menikah dengan Soekarno, Inggit sudah lebih dulu dipersunting oleh seorang patih di kantor residen Priangan “Nata Atmaja” namanya, namun kisahnya berakhir dengan perceraian. Tak lama kemudian seorang pengusaha sekaligus aktivis Sarekat Islam bernama Haji Sanusi memepersuntingnya. Haji Sanusi merupakan orang yang menampung Soekarno manakala kuliah di Tecnische Hoogeschol te Bandoeng, moyang lahirnya ITB (Institut Teknologi Bandung). Atas rekomendasi HOS. Cokroaminoto, kawan perjuangan H.Sanusi, sekaligus guru Soekarno.
Setelah satu tahun indekos di rumah Haji Sanusi dan Inggit Garnasih, Soekarno muda mulai tumbuh benih-benih cinta kepada Inggit. Yang saat itu masih menjadi istri Haji Sanusi, meski tak begitu bahagia, lantaran sering ditinggal pergi oleh suaminya yang sibuk sebagai seorang saudagar dan aktivis. Sebab itu pula kisah cinta Soekarno dengan Inggit Garnasih disebut cinta terlarang.
Hingga pada akhirnya Haji Sanusi menceraikan Inggit dan merelakannya bersama Soekarno, karena dia tau Soekarno butuh sosok Inggit dalam masa perjuangan panjangnya. Soekarno dan Inggit pun menikah pada 23 Maret 1923.
Sejak pernikahan itu, kisah cinta keduanya dimulai. Inggit merupakan perempuan yang setia menemani kemana pun Soekarno pergi, bahkan hingga ke pengasingan sekalipun, dan selalu setia memberikan semangat pada Soekarno dengan segala dinamika perjuangannya.
Perjuangan Inggit sungguhlah besar, di masa Soekarno masih menjadi mahasiswa dan terus aktif sebagai pejuang, yang memaksa Soekarno tak mempunyai penghasilan tetap. Inggit yang mengetahui dan paham betul betapa dibutuhkannya Soekarno oleh rakyat dan perjuangan bangsanya, Inggit pun menjadi tulang punggung dan tangan kanannya, bahkan Inggitlah yang membiayai perjuangannya saat itu.
Sepak terjang Soekarno yang dikenal frontal menyatakan ketidaksetujuannya dengan kolonialisme Belanda. Dia pun dianggap berbahaya bagi Belanda, dan dia pun sering kali dijebloskan ke penjara. Ketika Soekarno berada di lapas Suka Miskin, Inggitlah yang selalu memberikan semangat padanya. Jarak dan hujan bukanlah berarti suatu halagan bagi Inggit untuk tetap setia mengunjunginya.
Inggitlah yang menjadi perantara Soekarno untuk tetap dapat berhubungan denga aktivis pergerakan nasional. Selalu menyelipkan uang dalam makanan yang dibawakannya pada Soekarno, guna membujuk penjaga lapas agar berkenan membelikannya surat kabar agar dia tetap terhubung dengan pergerakan perjuangan kala itu.
Dalam novel “Kuantar ke Gerbang” besutan Ramadhan KH, Inggit menceritakan bagaimana keterlibatannya menyusun pembelaan Soekarno (Pledoi) yang dikenal dengan “Indonesia Menggugat”. Hal itu ia lakukan dengan diam-diam membawakan buku-buku sebagai referensinya, dengan berpuasa dahulu selama beberapa hari, agar perutnya mengecil sehingga bisa menyembunyikan buku-buku tersebut, untuk tak menimbulkan kecurigaan oleh opsir-opsir Belanda.
Bahkan di masa pengasingan Soekarno sejak tahun 1933 di Ende, Flores, Inggit senantiasa setia menemaninya. Lalu ketika Soekarno diasingkan kembali ke Bengkulu sedari 1938, Inggit tetap setia menemani. Di sini pulalah Soekarno berjumpa dengan anak tokoh Muhammadiyah Bengkulu, seorang gadis manis yang kita kenal sebagai Fatmawati.
Pengasingan Soekarno berakhir pada tahun 1942, dimana Belanda perlahan menemui kekalahannya dan berkuasanya Jepang di Indonesia, Soekarno pun dibebaskan, dan kembali ke Jakarta. Tak lama, Soekarno pun meminta izin kepada Inggit untuk menikahi Fatmawati karena berkeinginan untuk mendapat keturunan darinya. Manakala meminta izin kepada Inggit, Inggit pun merelakan Soekarno untuk menikahi Fatmawati dan dengan teguh menjaga kehormatannya serta mengatakan tidak, dan memilih diceraikan.
Soekarno, yang begitu dalam mencintai Inggit, tak berkuasa sama sekali untuk menceraikan Inggit. Akan tetapi itu sudah menjadi permintaannya, dengan berat hati Soekarno pun menceraikan Inggit.
“Aku tidak bermasud menyingkirkanmu. Merupakan kenginanku untuk menetapkanmu dalam kedudukan paling atas, dan engkau tetap istri pertama,” ucap Soekarno dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah rakyat Indonesia.
“Jadi memang segala kehormatan yang bersangkutan dengan hal ini, sementara aku dengan mematuhi hukum agama dan hukum sipil, mengambil istri kedua agar mendapat keturunan,” tambahnya.
Akan tetapi rasa cinta di antara keduanya tak berakhir begitu saja, kisah itu tetap ada hingga keduanya mangkat. Meski bercerai, hubungan baik masih terjalin. Pada awal tahun 1962, Soekarno sempat menjenguk Inggit di Bandung karena mendapat laporan bahwa dia sakit cukup berat. “Kau kelihatan kurus, Enggit,” kata Sukarno ketika menyapanya dan Inggit menjawabnya dengan mengulum senyum.
Hingga tiba lah pada tanggal 21 Juni 1970, manakala Soekarno pun mangkat terlebih dahulu meniggalkan Inggit. Setelah semua kekuasaannya terlucuti oleh Soeharto dan sakit keras tak berdaya. Mengetahui hal tersebut, Inggit pun bergegas ke Jakarta, sesampainya di rumah duka, di samping jasad laki-laki yang dicintainya, ia memberikan salam terakhirnya dengan isak tangis yang sedikit tertahan karena tak kuasa menahan pedih.
Berselang 14 tahun setelahnya, sosok perempuan mandiri, dan sosok besar bagi perjuangan bapak negara dalam proses panjang mewujudkan kemerdekaan bagi bangsanya, bahkan terlupakan ini pun mangkat. Tepatnya pada tanggal 13 April 1984.
Cinta Inggit yang tak tergantikan dan berakhir dengan ketulusan yang sangat dalam. Dan ini pun, sekali lagi membuktikan bahwa “kejayaan atau keberhasilan” Soekarno adalah berasal dari sumbangan serta dukungan banyak orang. Beberapa nama yang pantas disebut salah satu yang utama adalah Inggit Garnasih.
Dalam sejarah kekinian bangsa kita, nama Inggit Garnasih semakin terlupan. Hanya sebagian kecil komunitas atau orang yang berupaya membangkitkan pengetahuannya akan sejarah bagaimana sebuah proses perjuangan panjang itu.
Bukankah ketika tak mengenal orang-orang penting, dan malah melupakannya itu merupakan sebuah kesalahan besar? Bukankah dengan mengenal seorang Inggit Garnasih kita akan tau makna merdeka? Setidaknya merdeka untuk mengatakan tidak pada suatu yang bukan menjadi keinginan kita.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.