Menelisik Sisi Lain TPA Mrican
Features
oleh: Afrina Dwi Utami
Saking asiknya sampai kebablasan, hingga melewatkan belokan. Merasa sadar kami pun putar balik, hingga akhirnya sampai di tempat tujuan. Kemudian memasuki lokasi yang disambut dengan portal bertuliskan “TPA Mrican”. Disambut juga dengan jalan menanjak dan juga menurun. TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) ini berada di Desa Mrican, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo.
Di sebelah kanan terdapat kantor yang menyapa, juga taman yang menyita perhatian. Terdapat juga bilik-bilik tempat pengumpulan sampah. Di sebelah kiri terdapat tempat pengolahan kompos. Pemandangan sampah sudah terlihat dimana-mana. Truk-truk sampah dari berbagai kecamatan berlalu lalang untuk membuang. Semakin masuk ke lokasi TPA, terlihat pula tumpukan sampah tinggi menjulang. Nampak seperti bukit yang menawan, lantaran permukaannya yang tertutupi tanah telah ditumbuhi rerumputan. Bahkan, bau tak sedap khas sampah tidak tercium sama sekali. Akan tetapi semakin ke barat, tidak ditemukan pemandangan serupa. Justru semerbak bau tak sedap menyengat indera penciuman. Hanya nampak tumpukan sampah yang mengenaskan.
Terpintas di benak kami, apa pihak TPA kurang maksimal dalam mengolah dan memanfaatkan tumpukan sampah atau ada sesuatu yang luput dari pandangan mata. Rasa penasaran semakin menyelimuti benak kami. Kudongakkan kepala menatap hamparan pemandangan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Di bagian timur TPA, terdapat instalasi pengolahan lumpur tinja. Selesai menelusuri kami putuskan memarkirkan motor di depan instalasi pengolahan lumpur tinja tersebut.
Kami berjalan kaki menyusuri jalan yang dilalui truk–truk pengangkut sampah. Bertemulah dengan beberapa petugas yang menjaga pos retribusi. Disambut baik oleh beberapa petugas, salah satu dari mereka menyapa dengan ramah memperlihatan senyuman menawan. “Acara apa, mbak?” Tanya bapak berbaju kuning, yang memperkenalkan diri sebagai Suminto. Dirasa mendapat respon baik dan tak mau menyia-nyiakan kesempatan, kami pun memulai perbincangan. “Mau melihat-lihat TPA pak. Mau penelitian,” jawab Titah, salah satu rekanku yang berkacamata, berlagak sok meyakinkan. Tak perlu menunggu lama kami sudah merasa akrab. Pak Suminto yang ramah langsung berinisiatif menjelaskan tanpa kami perlu bertanya banyak. Di tengah suasana angin kencang terus menerpa, Pak Suminto dengan duduk santai menjelaskan beberapa permasalahan yang ada di TPA. Nampaknya, sudah banyak orang seperti kami yang beliau temui dengan tujuan yang sama. Terlihat dari kepiawaian dalam penyampaiannya yang menyenangkan.
Selanjutnya bapak berbadan tinggi itu melanjutkan ceritanya tentang tidak maksimalnya pengolahan sampah di TPA Mrican. “Pengolahan sampah organik dan anorganik disini itu tidak maksimal, masih sulit. Karena dari asalnya sudah tercampur. Tapi kalau dampak pencemaran air, sepertinya tidak mbak. Soalnya sumber airnya kan kurang lebih lima puluh meter di bawah tanah. Paling ya polusi udara ini, udaranya jadi bau sama mencemari tanah pastinya,” ungkap Pak Suminto.
Pak Suminto juga memberi keterangan terkait kabar perluasan lahan. Beliau menerangkan bahwa sulit terjadi kesepakatan lantaran harga dari pemerintah tak sesuai dengan keinginan masyarakat pemilik lahan. Beliau juga menambahkan sebenarnya lahannya juga sudah diperluas, namun bukan membeli dari masyarakat melainkan lahan milik TPA itu sendiri. Selain itu, menurut beliau sebenarnya kurang ideal kalau dilihat dari volume sampah yang masuk setiap harinya.
Merasa sudah mendapatkan informasi yang cukup, kami bergegas undur diri. Menyusuri jalan yang tadi dilewati menuju tempat dimana motor terparkir. Sesampainya di tempat parkir motor kami tak bergegas pulang. Layaknya orang kampungan, kami justru takjub melihat bego yang keluar dari area pembuangan sampah. Ukurannya benar-benar besar ketika dilihat dari dekat, sampai tanah disekitarnya bergerak seperti gempa.
Pagi yang cerah menyapa, suasana hati yang menggembirakan menambah semangat kami melakukan perjalanan. Sekitar pukul 09.00 WIB, aku dan kawanku antusias melajukan motor menuju lokasi. Jalanan beraspal dengan lubang di kiri dan kanan menambah keasikan. Semilir angin sepoi-sepoi menemani sepanjang perjalanan. Sawah hijau terbentang menambah indah pemandangan. Rumah-rumah penduduk berjejer rapi dalam pandangan.
Hari berikutnya kami, memutuskan kembali ke TPA Mrican. Aku dan Titah, rekan berkacamataku, berboncengan memacu kembali motor menuju TPA. Mataku menatap seorang laki-laki berbaju kuning lusuh di bilik pengumpulan sampah. Sepasang kakiku membawa rasa penasaran ini untuk menghampiri orang tersebut. Kami pun memulai perbincangan dengan seorang pemulung yang ternyata berasal dari Desa Mangunsuman. Pak Marseni namanya, ia sangat ramah saat kami ajak bicara, padahal ia sedang sibuk memilih sampah. Beliau menuturkan bahwa memulung bukanlah mata pencaharian utama, melainkan hanya sambilan di sela-sela kesibukan bertani. Beliau tidak memiliki jadwal tetap untuk berangkat memulung sampah, akan tetapi biasanya beliau selesai memulung antara pukul 12.00-13.00 WIB.
Tidak banyak hasil yang didapat Pak Merseni dalam memulung di TPA Mrican. Dalam seminggu ia bisa mengumpulkan sekitar 10 Kg sampah. Beliau juga mengungkapkan bahwa penghasilannya dalam sehari tidak menentu. Harga yang dipatok pengepul pun cukup rendah, hanya 600 rupiah perkilonya. Sehingga satu kali setor kepada pengepul, Pak Marseni hanya bisa mendapatkan uang sebesar Rp. 10.000-15.000. Setelah berbincang cukup lama, Pak Marseni nampak biasa saja dengan keadaan sampah tersebut. Tidak ada yang mengganggu kekhawatirannya selama mencari rezeki di TPA ini. “Sehat-sehat saja tidak ada kendala, bertahan, sudah biasa seperti ini. Lumayanlah penghasilan,” ujarnya tampak terbiasa dengan situasi ini.
Seusai perbincangan singkat antara kami dengan Pak Marseni, kami memutuskan mengakhiri perjalanan di TPA Mrican. Matahari semakin menampakkan sinarnya. Sambil mengendarai motor, aku termenung dengan sesekali memandang awan. Ternyata terlepas dari sekelumit masalah dan kurang idealnya TPA Mrican saat ini, masih ada beberapa sisi positif bagi masyarakat sekitar. Khususnya bagi para pemulung yang bisa mengambil sampah-sampah tertentu untuk dijual kembali kepada pengepul. Hal ini tentunya dapat meningkatkan sektor ekonomi masyarakat sekitar meskipun hanya sedikit hasilnya. Perjalanan ini terasa melelahkan namun begitu berkesan hingga sulit dilupakan. Walaupun sampah sering disepelekan, namun ada nilai manfaat dibaliknya.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.