Mengintip Ladang Toleransi di Bumi Reog
(Foto: ponorogo.go.id)
Tidak banyak mata publik tertuju pada kehidupan harmoni antaragama di sisi barat Ponorogo. Dua umat beragama, Islam dan Buddha, bertahun-tahun guyub dalam interaksi sehari-hari di Dusun Sodong, Desa Gelangkulon, Kecamatan Sampung.
Siapa pun yang masuk ke Sodong dan menyaksikan kehidupan beragama di sana akan segera mengajukan pertanyaan, mengapa Islam dan Buddha rukun berdampingan di dusun yang dihuni oleh sekitar 400 jiwa? Bagaimana bisa Kabupaten Ponorogo yang dikenal sebagai kota santri, karena banyak berdiri pondok pesantren, salah satunya Pondok Modern Darussalam Gontor yang dikenal luas, berkembang dusun yang warganya mampu membangun toleransi dan merayakan keberagaman?
“Urusan agama kan ageman, dadi gak usah didebatno (urusan agama itu pakaian, jadi tidak usah diperdebatkan),” tutur Saimin (9/4) yang pertama kali membawa agama Buddha masuk ke Sodong.
Lelaki berusia 90-an tahun ini menyampaikan wejangan agar amalan agama bukan semata mengedepankan perbedaan yang menyebabkan kebencian satu sama lainnya. Pasalnya, sosok yang “dituakan” di Sodong ini mengalami fase sejarah yang tidak ingin diulang anak, cucu, dan generasi-generasi berikutnya: harus memilih salah satu dari lima agama yang saat itu diakui negara.
Ketegangan antara agama-agama besar dan aliran kepercayaan di awal-awal kemerdekaan dan Orde Lama yang kemudian menguat dengan diresmikannya lima agama yang diakui negara (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha) lewat penetapan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, membuat warga negara Indonesia yang saat itu masih banyak memeluk kepercayaan lokal “dipaksa” memilih dan berpindah kepada salah satu dari lima agama (sekarang enam, karena bertambah Konghucu) yang diakui negara. Akibatnya, terjadi peminggiran terhadap selain lima agama tersebut.
Situasi sangat tidak nyaman ini dirasakan pula masyarakat Sodong. Saimin pun memutuskan beragama Buddha. Sementara warga lainnya memilih Islam. Padahal sebelumnya ia dan kebanyakan warga Ponorogo, Jawa Timur, masih menganut Kejawen.
“Sing penting tetep guyub lan rukun (yang penting tetap guyub dan rukun),” demikian Saimin, sambil terus mengepulkan asap rokoknya, seolah menegaskan agar generasi berikutnya tidak harus mengalami apa yang terjadi di masa-masa di mana warga Indonesia dipaksa memilih agama yang diakui negara.
Saimin berharap sekali agar perbedaan keyakinan tidak menjadi penghalang bagi lestarinya ladang kehidupan sosial-kemasyarakatan yang damai, penuh tepaselira, sebagaimana telah ia semai bersama warga lainnya, baik yang beragama Buddha maupun Islam.
Sejarah Masuknya Islam dan Buddha di Sodong
Jika dibandingkan dengan wilayah lainnya di Ponorogo, Sodong menjadi dusun yang “tak lazim” di kabupaten yang berbatasan dengan Jawa Tengah ini. Pasalnya, kabupaten di Jawa Timur ini, yang sebelum pandemi Covid-19 rutin menggelar Grebeg Suro, rangkaian pesta rakyat tahunan yang juga menyuguhkan Festival Nasional Reog Ponorogo, mayoritas penduduknya adalah Islam. Tetapi, dusun Sodong memiliki dua agama: Islam dan Buddha.
Menariknya, ketika intoleransi bernuansa agama terus menguat di Indonesia, begitupun riak-riak konflik dan kekerasan yang beberapa tahun terakhir terus terjadi di Jawa Timur, justru Sodong tentram dan aman. Sampai hari ini berdiri kokoh masing-masing sebuah masjid dan vihara di sana. Surabaya pernah diteror bom di gereja, kepala desa di wilayah Mojokerto melarang umat Kristen ibadah, di Nganjuk menentang rumah doa dari sebuah gereja digunakan beribadah, sekelompok warga Jombang menolak gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), dan penentangan gereja di Malang, Gresik, dan wilayah Jawa Timur lainnya, dusun Sodong tetap rukun dan kondusif.
Puluhan tahun muslim dan buddhis warga Sodong berdampingan tak pernah berselisih paham mengenai agama. Kehidupan beragama mereka dirayakan penuh penghormatan satu sama lain.
Agama Buddha dan Islam hadir di Dusun Sodong tidak jauh berbeda jaraknya, bahkan hampir bebarengan. Menurut salah satu penganut Buddha di Sodong, Bintang, tidak diketahui pasti kapan agama Buddha masuk ke daerah Sodong. Ia memperkirakan di era Orde Lama, tetapi tidak tahu persisnya tahun berapa. Pada mulanya masyarakat Sodong menganut kepercayaan Kejawen.
“Dulu mbah kakung (Saimin) yang bawa Agama Buddha, dulu ikut kejawen. Karena Kejawen bukan agama (yang diakui negara) mbah kakung mencari induk agama yang sesuai dengan ajarannya. Akhirnya ketemu agama Buddha, dan beliau belajar ke Madiun,” ungkap Bintang.
Orang-orang yang sebelumnya mengikuti Kejawen, sambung Bintang, kemudian membelah: ada yang menganut Buddha, lainnya masuk Islam. Perbedaan agama ini tak lantas membuat masyarakat Sodong berebut kekuatan, siapa yang paling unggul di antara keduanya. Ketimbang mencari-cari titik tengkar, sikap toleransi dan saling menghargai menjadi prioritas utama warga Sodong dalam mengelola ladang kehidupan beragama mereka.
“Populasi Buddha pada tahun 80-an menjadi mayoritas di daerah Sodong. Tingkat populasinya mencapai 90%. Akan tetapi, saat ini populasi Buddha di daerah Sodong berkurang menjadi 40% saja. Tapi saya nggak masalah, yang penting daerah kami tetep rukun,” imbuh perempuan yang berprofesi sebagai dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya, Wonogiri.
Kaca Tradisi dan Toleransi Masyarakat Sodong
Kebersamaan Islam dan Buddha di Sodong selama puluhan tahun ditingkahi perayaan-perayaan keagamaan penuh khidmat dan kerja sama. Perbedaan dan pergeseran jumlah penganut tidak membuat warga Sodong terpancing meruncingkan politik identitas. Soewandi, tokoh agama Buddha suami Bintang ikut menegaskan, tak pernah terjadi satu kasus pun yang mengarah pada pertentangan dan perkelahian terkait agama di dusun mereka.
Pada hari-hari besar seperti peringatan dan perayaan Waisak ataupun Idul Fitri, menurut Soewandi, masyarakat Sodong berbondong-bondong saling membantu satu sama lain. Ketika perayaan Idul Fitri tiba, semua rumah akan dibuka lebar-lebar untuk saling bersilaturahmi satu sama lain. Masyarakat yang beragama Buddha pun turut menyiapkan jajanan untuk menyambut para tamu dari agama Islam ketika merayakan Waisak.
“Saat perayaan seperti Idul Fitri umat Buddha dan Islam menyiapkan jajanan dan membuka rumah, kemudian tetangga pemeluk agama Islam turut datang untuk saling memaafkan. Di sini tidak ada pembedaan agama, yang ada hanya beda kepercayaan dan keyakinan,” jelas Soewandi sambil melemparkan senyum penuh semangat.
Demikianpun sebaliknya, momen Waisak turut dirayakan umat Islam. Mereka berbondong-bondong membantu persiapan upacara perayaan, mulai dari memasak, membersihkan maupun menata vihara, dan lain sebagainya. Akan tetapi pada perayaan Waisak, ada semacam peraturan khusus yang tidak tertulis yang menjadi tradisi yang dilaksanakan umat Islam, yakni mengenakan penutup kepala seperti jilbab, kerudung dan sejenisnya saat bekerja sama membantu sampai berlangsungnya perayaan Waisak.
Tradisi ini begitu saja berlangsung, walaupun di kesehariannya umat Islam ada yang tidak mengenakan jilbab. Hal ini, imbuh Soewandi, dilakukan untuk menjaga dan memberi identitas bahwa agama bukan penghalang dan ajang memecah belah umat.
Bintang yang ada di sampingnya pun menyela betapa buat dirinya dan warga Sodong agama adalah kedamaian bagi pemeluknya.
“Agama adalah perdamaian, kami senang mempelajari agama lain dan kami juga senang didatangi agama lain untuk belajar agama kami. Menurut saya itu hal biasa, ketika kita hidup damai berdampingan dengan hal yang berbeda dengan kita,” papar Bintang.
Hal senada diungkapkan Suyut, tokoh agama Islam di Sodong. Suyut mengonfirmasi seluruh penuturan Saimin, Soewandi, dan Bintang. Ia kembali menekankan, semua masyarakat di Sodong hidup rukun dan berinteraksi dengan baik satu sama lain.
“Semua di sini hidup rukun. Apapun kegiatannya, semua masyarakat Islam maupun Buddha berinteraksi dengan baik. Kami bersosial tidak pernah menyinggung agama. Kami hidup atas dasar sama-sama tetangga. Masa sih sesama tetangga sendiri musuhan karena beda agama,” ujar takmir masjid ini sembari tertawa.
Keberagaman agama di Dusun Sodong tak hanya tergambar saat perayaan hari besar saja. Hal unik lain adalah ketika salah satu warga Sodong ada yang meninggal. Tak seperti penganut agama Buddha pada umumnya yang menggunakan cara kremasi, di Sodong umat Buddha dimakamkan seperti umat Islam, dikubur.
Pengumuman kematian disiarkan menggunakan toa masjid, siapapun yang meninggal, muslim maupun buddhis. Sebab, hanya masjidlah yang mempunyai toa dengan jangkauan yang luas. Upacara kematian digelar dengan doa-doa agama masing-masing, hal ini pengecualian ketika keluarga menghendaki mayat didoakan dengan agama lain.
“Perbedaannya, kalau yang meninggal umat Islam ada tulisan arabnya di penutup keranda. Kalau yang meninggal Buddha keranda tertutup kain hijau saja,” kata Soewandi menjelaskan warna-warni tradisi yang dihormati bersama-sama.
Harapan Keberagaman ke Depan
Tak hanya bercita-cita agar kampungnya aman dan rukun dalam beragama, Soewandi dan istri berharap bahwa nantinya anak-anak turut merasakan kerukunan yang sama tanpa adanya intimidasi dari pihak luar. Sehingga Dusun Sodong bisa memberi manfaat bagi khalayak umum.
Upaya tersebut dengan menerapkan pembelajaran keberagaman dimulai dari usia anak-anak. Setiap hari Minggu anak-anak beragama Buddha diajarkan pembelajaran agama di vihara. Dalam pembelajarannya, digali dan dihidupkan nilai-nilai keberagaman yang harus dikembangkan.
“Ya, di sini tiap hari Minggu anak-anak belajar, kasarannya kalau umat muslim ngaji gitu,” terang bintang menggambarkan aktivitas pembelajaran tentang Buddha dan toleransi sembari menunjuk ruang terbuka sebelah vihara.
Tak hanya pembelajaran di vihara, mimpi penguatan dan pewarisan toleransi, ke depannya akan dibuatkan perpustakaan keberagaman. Perpustakaan tersebut, lanjut Bintang, untuk sementara diisi buku-buku Islam dan Buddha.
Ia juga menuturkan bahwa semua orang nantinya bisa menyumbangkan dan meminjam buku tersebut. Adanya perpustakaan keberagaman itu dimaksudkan untuk mengarsipkan buku-buku dan ketika ada kunjungan dari tamu-tamu luar Sodong tinggal membuka buku yang sudah tersedia, tanpa menjelaskan ulang.
“Di bawah tadi kan ada pembangunan, nah ini masih dalam tahap pembuatan, nanti mau dibuat perpustakaan keberagaman,” imbuh Bintang perihal lokasi bangunan yang kelak menjadi perpustakaan keberagaman.
Bintang berharap dengan adanya perpustakaan keberagaman nanti, tidak ada lagi kesalahpahaman mengenai paham-paham agama yang dinilai berbeda. Ia juga menuturkan bahwa maraknya pengeboman tempat ibadah, merupakan salah satu ketidakpahaman umat dalam beragama.
“Sebenarnya orang yang seperti itu adalah orang yang tidak tahu, orang yang tahu pasti baik-baik saja. Lah wong di sini juga aman-aman saja puluhan tahun berdampingan,” pungkas Bintang.[]
Penulis: Umi Ula Romadhoni, LPM aL-Millah IAIN Ponorogo
***
Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.