Refleksi Peringatan Hari Santri
Opini Oleh: Hanif
Sampai saat ini, pendidikan pesantren masih eksis dengan lika-liku perjalanannya. Tapi, semakin kesini nama baik pesantren justru semakin tercoreng. Mengenaskan. Terlebih, pelakunya adalah orang yang disakralkan dalam dunia pesantren...
Sejak tahun 2015 lalu, tepatnya pada tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Walaupun memang secara simbolik peringatan hari santri jatuh pada hari tersebut, tetapi pada hari lain kita tetap sah untuk memperingatinya. “Ingat” tidak harus pada satu waktu, tetapi bisa di setiap waktu. Cara untuk memperingatinya pun tidak harus dengan upacara atau lomba-lomba, tetapi bisa dengan sebuah refleksi. Jangan sampai karena euforia berlebihan, kita lupa terhadap banyaknya kasus yang terjadi kepada para santri.
Meskipun pada tahun ini sudah keenam kalinya Hari Santri Nasional diperingati, perlu kita catat bahwa masih banyak kasus tidak beradab terjadi di pondok pesantren. Dari sekian banyak kasus yang telah terjadi, salah satu kasus yang sangat santer diperbincangkan oleh masyarakat luas adalah kasus pelecehan seksual. Hal ini menandakan belum terciptanya ruang aman di pondok pesantren.
Seperti kasus yang terjadi pada salah satu pondok pesantren di Pule, Trenggalek, Jawa Timur. Pada kasus tersebut, pelakunya tidak lain adalah guru atau ustaz yang melakukan pelecehan seksual kepada santriwatinya. Bahkan, korbannya merupakan 34 santriwati yang masih di bawah umur. Kejadian ini tentu menciptakan traumatik khususnya terhadap para korban dan juga terhadap pandangan masyarakat kepada pesantren.
Tentu ini bukanlah kasus yang sepele dan tidak bisa dianggap remeh. Saat ini kasus tersebut sudah ditangani oleh pihak kepolisian setempat dan pelakunya yang berinisial MST sudah diamankan. Penulis berharap pelakunya mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya yang sangat tidak terpuji. Sebab, perbuatan tersebut bisa berdampak jangka panjang bagi masa depan korbannya.
Kasus serupa juga terjadi pada salah satu pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur. Pelakunya yang berinisial MSAT, tak lain adalah putra dari kiai yang merupakan tokoh besar di pesantren tersebut. Sampai saat ini, penanganan kasus tersebut masih belum selesai serta belum jelas kepastian hukumnya. Padahal kasus tersebut sudah dilaporkan sejak tahun 2017 lalu. Pelimpahan demi pelimpahan terjadi dalam penyelesaian kasus ini.
Meskipun demikian, para santri yang tergabung dengan beberapa aktivis lainnya tengah aktif memperjuangkan hak korban. Lagi-lagi korbannya adalah santriwati yang masih di bawah umur. Alih-alih mendapatkan kepastian hukum, kasus ini malah semakin melebar. Sehingga menyebabkan adanya kasus lain yang diduga berkaitan erat dengan kasus pelecehan seksual sebelumnya.
Belum lama ini, seorang dari saksi kunci yang juga merupakan aktivis mendapat tindak kekerasan fisik (penganiayaan) dan juga perampasan handphone pribadinya. Para pelakunya yang berjumlah enam orang disinyalir masih memiliki hubungan erat dengan pesantren tersebut. Kejadian itu pun diduga kuat berhubungan dengan kasus yang saat ini tengah ditanganinya. Tidak hanya dirinya, bahkan keluarganya juga mendapat teror dan ancaman.
Tidak hanya kasus kekerasan seksual, kasus kekerasan fisik atau penganiayaan juga masih sering terjadi. Misalnya pada kasus penganiayaan oleh empat orang santri kepada seorang santri yang terjadi di Ponorogo, Jawa Timur. Korban dianiaya dengan dipukul dan ditendang hingga tak sadarkan diri. Setelah sempat mendapatkan perawatan di rumah sakit, korban akhirnya meninggal dunia. Saat ini kasus tersebut sudah ditangani oleh pihak kepolisian dan keempat pelakunya juga sudah diamankan.
Mau bagaimanapun, perilaku kekerasan tetap tidak bisa ditolerir. Memang peserta didik atau santri harus dididik dengan keras, tapi bukan berarti dengan melegalkan tindakan kekerasan. Sudah seharusnya pondok pesantren dan semua elemennya harus mencerminkan hal yang humanis. Pondok pesantren harus bisa memberikan ruang aman bagi para penduduknya. Terutama bagi para santri yang rentan mendapat perlakuan tidak adil. Jangan sampai niat suci para santri berangkat dari rumah menuju pesantren untuk tholabul ‘ilmi harus tercederai.
Sebagai salah satu institusi pendidikan, pesantren seharusnya bisa memberi contoh sikap yang beradab, bukan malah menunjukkan perilaku yang biadab. Sudah tak terhitung lagi jumlah kasus yang mencoreng nama baik pesantren, bahkan sampai hari ini kasus serupa masih mungkin terjadi. Lantas, sampai kapan ini akan terus berlanjut? Stop segala bentuk tindakan yang menyimpang dengan memulainya dari diri sendiri.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.