Jejak Polemik Penetapan Hari Santri
(Ilustrasi: mgrol112)
Esai Oleh: Dhamuri
Ketika melintasi jalan-jalan di Ponorogo, terlihat banyak bendera warna hijau yang bergambarkan jagad dan bintang sembilan di samping jalan. Selain itu, ada pula beberapa spanduk yang memberi ucapan selamat Hari Santri Nasional. Meski sudah terlewat, nampaknya euforia peringatan Hari Santri Nasional masih sangat terasa. Memang benar, tepat pada tanggal 22 Oktober kemarin, secara resmi diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Peringatan Hari Santri Nasional dimaksudkan untuk mengingatkan perjuangan santri dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Penggunaan diksi santri identik dengan penamaan seseorang yang belajar ilmu agama Islam. Pengertian ini juga termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa santri ialah orang yang sedang mendalami agama Islam. Sedangkan menurut K.H. Mustofa Bisri, dilansir dari nu.or.id, santri adalah murid kiai yang dididik dengan kasih sayang untuk menjadi mukmin yang kuat. Didikan ini yang kemudian membentuk rasa ta’dzim santri terhadap kiai sehingga apa saja dhawuh kiai akan dilaksanakan oleh santri.
Fatwa Kiai dalam Membela Bangsa
Menilik kembali sejarah kemerdekaan Indonesia, beberapa pekan setelah pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan Muhammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat, Belanda mengajak sekutu untuk datang kembali ke Indonesia. Ketika itu, Belanda menetap di Surabaya dengan mengibarkan bendera berwarna merah, putih dan biru. Melihat bendera tersebut berkibar, sebagai negara yang sudah merdeka, tentu memancing rasa tidak terima rakyat Indonesia terhadap tindakan Belanda.
Kabar tersebut ternyata sampai juga ke telinga para kiai, tokoh yang menjadi kiblat santri dan masyarakat. Menindaklanjuti kabar tersebut, maka kiai dan santri se-Jawa mengadakan rapat di kantor Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Bubutan, Surabaya pada 21-22 Oktober 1945. Melalui forum tersebut, Kiai Hasyim Asy’ari menyerukan jihad fi sabilillah untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mengacu pada hal inilah, pada akhirnya kiai dan santri menyerukan perlawanan terhadap Belanda dengan sebutan Resolusi Jihad yang kemudian juga disebarluaskan kepada masyarakat umum.
Dalam perjuangannya, terdapat banyak santri yang berguguran selama masa pengusiran penjajah di Surabaya. Namun dengan kegigihan mereka, akhirnya para santri berhasil naik ke tiang bendera dan merobek bagian warna birunya sehingga membuat merah putih kembali berkibar di tanah merdeka.
Polemik Penetapan Hari Santri
Berbicara mengenai hari nasional, seharusnya perayaan juga diikuti oleh semua elemen di negara Indonesia, baik dari suku, agama, maupun ras antar golongan. Sehingga, munculnya surat keputusan Presiden Jokowi Widodo tentang Hari Santri Nasional pernah menuai penolakan dari Muhammadiyah. Dilansir dari Tempo.co tahun 2015 silam, alasan Muhammadiyah menolak penetapan tersebut ialah karena adanya hari santri akan memunculkan polarisasi antara santri dan non-santri.
Interpretasi santri juga lebih memberi identitas pondok pesantren. Sehingga yang lebih kuat merayakan hari santri adalah pihak pondok pesantren dan yang bersangkutan. Sementara perayaan hari santri oleh orang di luar pondok pesantren tidaklah masif. Hal ini yang menjadikan hari santri dianggap hanya milik golongan tertentu saja.
Apalagi usulan pertama terkait hari santri muncul dari salah satu dari tokoh Nahdatul Ulama (NU), yaitu K.H. Toriq Darwis pada saat pra-pilpres 2014. Waktu itu presiden Joko Widodo mendatangi pondok pesantren Babussalam di Banjarejo, Malang yang kemudian memunculkan janji untuk menetapkan Hari Santri Nasional kelak ketika terpilih.
Ketika itu Jokowi berencana untuk menetapkan hari santri pada 1 Muharram, bertepatan dengan tahun baru Islam, akan tetapi K.H. Said Aqil Siradj selaku Ketua PBNU tidak sepakat jika hari santri jatuh pada tanggal 1 Muharram. Dilihat dari laman kompas.com, Ketua PBNU tersebut menyatakan bahwa hari santri nasional lebih ideal jika diperingati pada tanggal 22 Oktober, bukan 1 Muharram, sebab tanggal tersebut merupakan momentum dimana para santri berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan dari pasukan Belanda.
Dari wacana tersebut beberapa orang kemudian mengaitkannya dengan salah satu pemikir dari Perancis yaitu Michael Foucault yang menyatakan bahwa kekuasaan menciptakan realitas melalui wacana sejarah atas dasar kepentingan. Sehingga Hari Santri Nasional hanya terkesan sebagai harinya NU.
Menyikapi Polemik Hari Santri Nasional
Pada kenyataannya, kiai, santri ataupun umat Islam memiliki peran penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa rapat kiai dan pimpinan pondok pesantren se-Jawa berhasil menggerakkan santri-santri di pesantren dalam melawan Belanda. Alhasil, kolonialisme Belanda dapat ditaklukan oleh pribumi tanpa melibatkan negara ketiga.
Berangkat dari hal tersebut, maka pada akhirnya Hari Santri Nasional diresmikan dan dirayakan setiap tanggal 22 Oktober sejak tahun 2015. Meskipun pada awalnya mendapatkan banyak pro dan kontra, suara terbanyak menyetujui bahwa hari santri patut untuk diperingati. Keputusan tersebut harus diterima dan dihormati, khususnya dari kalangan kontra. Artinya, Hari Santri Nasional harus tetap menjadi armada dalam membangun persaudaraan Islam dan bangsa yang baik, harmonis, makmur dan setara. Jangan sampai ketakutan polarisasi suku, agama, ras dan golongan justru menjadi kenyataan. Sudah sepatutnya kita sebagai warga negara mengingat dan menjaga tujuan santri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sehingga Hari Santri Nasional tidak terkesan hanya dimiliki oleh satu golongan.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.