Terima Kasih, Ibu
Cerpen oleh: Cantrisah
Sapuan angin dengan lembut mengusap wajah piasku, seakan tahu jika aku sedang membutuhkan sebuah rasa ketenangan. Setelah keluar dari bangunan sederhana itu, perasaanku makin berkecamuk. Aku menghela napas dalam. Hah, hari ini, mengapa begitu berat? Tidak, mengapa makin berat?
Tubuhku sedikit tersentak ketika ada sebuah tangan yang menyentuh pelan bahuku. Ah, tenyata Bunda Rahma, dia yang memiliki yayasan ini. "Kamu dulu sebahagia mereka, Ayasa." Kulihat senyum hangat terukir di wajah senjanya. Bunda Rahma berusia 37 tahun waktu 'dulu'.
Kupalingkan wajahku ke arah lapangan rumput itu, banyak anak-anak kecil berlarian di sana. Aku tersenyum kecut. Aku 'dulu' bahkan tidak sebahagia itu, Bunda pasti sudah lupa. Setelah dua puluh tahunku sejak usia anak-anak, kutebak usianya lebih dari enam puluh tahun.
"Radit! Hati-hati jika berlari!" seru Bunda tiba-tiba. Aku melihat ke arah pandangnya, kutemukan laki-laki kecil yang seketika diam. Dari tatapnya, bisa kutafsirkan jika ia sedang menahan kesal ke arah bunda.
"Bundaaa, namaku Denial! Bagaimana bisa Denial berubah menjadi Radit?!" Aku tidak bisa menahan senyum lebarku, anak itu berteriak agar suara kecilnya bisa terjangkau telinga kami. Benar, kan? Dengan anak panti yang masih di sini saja Bunda sudah lupa, bagaimana ia bisa dengan yakin mengatakan jika 'dulu' aku bahagia?
"Bunda, Ayasa pamit dulu." Celetukanku sedikit mengagetkannya yang ternyata masih fokus pada Radit, ah, maksudku Denial.
"Mengapa buru-buru sekali? Apa kamu tidak ingin singgah sebentar lagi, Yas?" tanya Bunda, tapi aku tahu ini hanya basa-basi ala orang dewasa di sini. Jika di daerah ini, dinamakan abang-abang lambe. Kata Bunda, hal ini lumrah dilakukan. Katanya, untuk menjaga sopan-santun dan agar lawan bicara merasa jika ia diistimewakan. Jawabnya seperti itu saat kutanya dahulu. Benar atau tidaknya, aku memang belum tahu.
"Tidak, Bunda. Mama sudah sampai dari tadi. Akan tidak sopan jika aku membuatnya menunggu lebih lama lagi. Bukankah begitu?" Bunda tersenyum mendengar jawabanku.
"Ya, sudah. Berhati-hatilah! Hanya do'a bunda yang menyertaimu." Aku mengangguk mendengar balasannya yang sedikit khawatir. Kusisipkan kata 'baik' agar ia bisa lebih tenang. Aku mencium punggung tangannya. Benar, tangan inilah yang membesarkanku. Kupejamkan mataku untuk merasakan sensasi sesak yang mendamaikan. Aku mencium punggung tangannya sedikit lama. Seakan tahu perasaanku, bunda mengusapkan tangan kirinya ke kepalaku dengan lembut.
"Kamu sudah mendapatkan keluarga yang baik, Yas. Akan lebih baik jika kamu sudahi pencarianmu untuknya. Dia bahkan hampir membunuhmu di depanku. Wanita itu bahkan tidak berhak mendapatkan pengakuanmu, Yas." Dalam diamku, aku membenarkan semua perkataan Bunda. Tapi, aku hanya diam. Orang tua yang sudah seusia Bunda, ketika mereka berargumentasi, maka lebih baik diam, dan perlihatkan jika kamu mendengarkannya dengan baik. Karena seringkali mereka hanya butuh perdengaran, bukan perlawanan.
"Ayasa pamit, Bun. Dan Ayasa masih tetap hidup."
"Berhati-hatilah," ucap Bunda sambil menganggukkan kepala. Tak sengaja kudengar helaan napas sebelum ia mengucapkan itu. Ya, bunda sudah tahu jika tekadku sangat bulat. Bahkan terlalu bulat, hingga aku sendiri tidak bisa menghentikannya ketika ia sudah menggelinding untuk mencari tempat pemberhentian.
"Sudah selesai?" tanya seorang wanita paruh baya ketika aku menutup pintu penumpang mobil bagian belakang.
"Sudah, Ma. Apakah aku terlalu lama?" kucium sejenak punggung tangannya setelah mengatakan itu. Ia menggelengkan kepala pelan. "Tidak. Kamu berhak mendapatkan itu."
Aku tersenyum. Bunda benar soal aku yang telah mendapatkan keluarga yang baik. Mama sangat pengertian, begitu juga Papa. Tapi, Papa meninggalkan kami setahun yang lalu. Dan sayangnya, itu berlaku selamanya.
"Jadi, bagaimana setelah ini?"
"Aku rasa cukup dulu, Ma. Mama tidak boleh lupa jika Mama harus istirahat." Aku menyandarkan punggungku ke sejenak, tapi tiba-tiba kutegakkan lagi. Mama sedikit terkejut melihat tingkahku.
"Hei, tunggu dulu! Bagaimana bisa Mama masih berjiwa muda seperti ini? Aku ragu jika Mama sedang memakai sebuah topeng wanita tua," ucapku dengan sedikit seringaian saat menatapnya. Mama tidak bisa menahan tawanya. Secara reflek, ia mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah mulut. Aku tersenyum hangat. Lihatlah, betapa beruntungnya aku mendapatkan seorang mama yang begitu anggun. Bagaimana bisa aku baru menyadarinya?
"Kita pulang saja, Pak," ucapku kepada Pak Ahmad, sopir kami, setelah tawa mama berhenti. Namun, pandanganku tetap kepada Mama. Kami saling melempar senyum.
Di perjalanan, tanganku setia menggenggam dan mengusap tangan mama. Kulitnya yang mulai longgar, terasa begitu rapuh. Tapi, aktivitasku seketika terhenti saat pak Ahmad tiba-tiba menghentikan mobilnya. Aku dan mama sedikit terhuyung, untungnya kami memakai sabuk pengaman.
"Ada apa, Pak?"
"Hampir menabrak wanita tua, Non. Say-"
"Biar saya aja, Pak." ucapku sengaja memotong perkataan Pak Ahmad. Bukan bermaksud lancang, tapi Pak Ahmad pasti juga merasakan keterkejutan. Kurasa ia harus memenangkan diri dulu.
"Ayasa..."
"Tidak apa-apa, Ma. Hanya wanita tua. Atau, Mama mau ikut? Mungkin sekalian reuni angkatan," ucapku ngawur, tapi Mama malah tersenyum sambil mengangguk. Ia menyetujui ajakan gilaku.
Kami menghampiri wanita tua yang terduduk itu. Kelihatannya ia juga terkejut. Pakaian birunya sedikit berantakan. Maaf, tapi ia seperti seseorang yang tidak terurus.
"Ibu tidak apa-apa?" ucapku sambil menyentuh bahunya, agar fokusnya bisa teralihkan kepadaku. Tak lama, ia juga menatapku. Mata kami saling beradu. Dalam diam, aku melihat kekosongan di sorot matanya. Kutelusuri dengan lancang setiap inci wajahnya dengan tatapanku. Aku menemukan satu hal. Kami...sama.
"Bu Rani!" Sebuah teriakan mengalihkan fokus kami. Terlihat tiga sosok manusia berpakaian seperti perawat berlari menghampiri kami bertiga.
"Maaf ya, Mbak. Kami harus membawa ibu ini kembali. Dia pasien kami. Terima kasih banyak untuk sebelumnya." ucap salah satu perempuan dari mereka saat sudah sampai. Menyadari aku yang hanya terdiam, mama mengambil alih. "Iya Mbak. Lain kali dijaga, ya. Temani mereka dengan baik."
"Iya, Bu. Kami mohon maaf." Mereka kemudian membimbing wanita tua tadi untuk berdiri menghadapku. "Bu Rani, ayo bilang terima kasih dulu."
Wanita tua itu menatapku lamat-lamat, namun sedikit tidak terarah. "T-terima kas-kasih."
Ketiga perawat itu tersenyum, lalu mereka berpamitan. Baru beberapa langkah, aku memberanikan diri untuk menghampiri mereka. "Tunggu!" Baiklah, hanya tinggal kali ini. Langkah lebarku menghampiri mereka. Dengan cepat kugenggam kedua tangan wanita tua itu. "Tidak. Aku yang harusnya berterima kasih."
Kucium kedua tangan itu lama. Aku membungkukkan tubuhku sedikit, agar bisa setara dengan tangannya. "Ibu...terima kasih. Terima kasih telah membiarkan aku untuk tetap hidup. Terima kasih, Ibu."
Kurasakan ketiga perawat itu memasang wajah penuh tanya. Tubuhku tiba-tiba bergetar ketika ada sebuah tangan rapuh menyentuh kepalaku. Aku mendongak, kulihat sosok wanita tua yang memberikan raut penyesalan yang dalam. Namun, ia masih kesulitan mengatur pandangannya. Aku kembali menunduk. Kucium tangannya sekali lagi, merasakan sedikit lebih lama kepalaku yang diusapnya lembut, dan kemudian menyudahi ini dengan segera. "Sudah, Mbak. Silakan,"
Mereka mengangguk lalu membimbing wanita itu untuk pergi bersama mereka. Beberapa langkah, wanita itu menoleh kepadaku. Aku melihat gerak mulutnya yang ternyata sedang memanggil namaku dengan baik. Tepat saat itu, dengan cepat mama memelukku dengan erat. Dipeluknya, aku bergetar. Dipeluknya, kini bebanku terasa menguap. Dipeluknya, aku menangis sejadi-jadinya.
"Tidak apa-apa, Ayasa. Dia memang ibu kandungmu. Tapi tetap ingatlah, bahwa ada Mama yang selalu ada untuk rapuhmu."
Ya, Mama benar. Dan terima kasih, Ibu. Terima kasih telah membiarkan aku hidup. Terima kasih.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.