Angkat Tema Seni dalam Moderasi Beragama, Seiya Adakan Seminar Nasional
lpmalmillah.com - Sabtu (03/12/2022), dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-19, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Seni dan Budaya (SEIYA) mengadakan seminar nasional dengan tema ‘Relevansi Seni dalam Isu Moderasi Beragama.’ Materi dalam seminar diisi oleh Aguk Irawan selaku tokoh agama sekaligus penulis dan sastrawan serta Iswahyudi, dosen Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah. Seminar diselenggarakan di Graha Watoe Dhakon mulai pukul 09.00 WIB.
Dalam materinya, Aguk memaparkan tentang moderasi yang artinya menempatkan diri di tengah-tengah dalam memandang sesuatu, termasuk seni. Penempatan diri di tengah bertujuan agar dalam memandang atau menyikapi sesuatu bisa lebih adil dan bijaksana. “Jadi wasat (moderasi) itu kalau anda buka kamus bisa khoir, bisa toyib, bisa al-adl, bisa fihima baina, jadi di tengah. Bisa juga kebaikan, kearifan atau kebijaksanaan dan bisa juga keadilan,” jelasnya.
Sementara itu, Iswahyudi menyampaikan bahwa seni dalam ontologis berarti keindahan dan kebermaknaan. Dalam bahasan ini, ia menyampaikan bahwa manusia lahir sebagai simbol keindahan dari Tuhan. “Allah itu menyukai keindahan dan penciptaan manusia itu simbol keindahan dari Tuhan. Jadi, jika manusia itu menyerang seni, maka sama halnya ia tidak mengerti tentang hakekat dirinya sendiri,” ucap Iswahyudi.
Setelah penyampaian materi, seminar dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dengan peserta. Salah satu pertanyaan muncul dari Andri Widia Sari, mahasiswi jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) terkait pandangan Islam terhadap seni. “Bagaimana agama memandang seni itu sendiri? Apakah sebagai pandangan hidup atau sebagai pelengkap?” tanyanya.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Aguk menjelaskan bahwa Islam tidak dapat memberi pandangan dikarenakan Islam merupakan doktrin atau nilai. Jika pun terdapat pandangan, hal tersebut muncul dari para ulama dalam menyikapi suatu hal. "Kalau kita bicara tentang Islam, Islam nggak ada pandangan. Islam itu nilai, Islam itu doktrin. Nilai apa? Doktrin apa? Akhlak, syari'ah dan tauhid,” ungkap Aguk.
Pengambilan tema seminar kali ini, menurut Sufyaan Ammar selaku ketua penitia pelaksana acara, diangkat dari keresahan tentang budaya yang kerap dianggap tidak selaras dengan budaya Islam, misalnya budaya Jawa. “Padahal budaya Islam yang digunakan itupun belum tentu budaya Islam, namun juga bisa budaya Arab,” jelasnya.
Dalam seminar perdana setelah masa pandemi ini, Sufyaan pun mengungkapkan bahwa antusiasme mahasiswa melebihi target yang diperkirakan panitia. “Awalnya menargetkan 150-an peserta, tapi tadi tampaknya lebih dari itu karena antusiasme mahasiswa tinggi. Tapi, tetap kita terapkan protokol kesehatan,” ujarnya.
Salah satu mahasiswa yang merasa antusias adalah Rusmaida, mahasiswi Perbankan Syariah (PS). Menurutnya, bahasan pada seminar kali ini menarik. Selain itu, sertifikat seminar pun dapat dijadikan tiket untuk menonton pentas seni setelahnya. “Acaranya menarik karena materi yang disampaikan tentang seni dan agama dan nanti juga ada pentas seninya,” ucapnya.
Tanggapan lain diutarakan oleh salah satu mahasiswi jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Ia mengaku seminar ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan mahasiswa. "Seminar ini sangat baik bagi mahasiswa untuk menambah pengetahuan dalam bidang kebudayaan dan keagamaan serta untuk melanjutkan perjuangan dan meningkatkan keagamaan kita,” ujar Lestari saat diwawancarai.
Acara kemudian ditutup dengan doa berupa musikalisasi puisi yang dibawakan oleh Aguk dan instrumen oleh Dadang selaku moderator pada acara seminar tersebut.
Reporter: Siti, Iza
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.