Laut Bercerita: Mereka yang Tidak Akan Pernah Kembali
Judul
Buku: Laut Bercerita
Penulis:
Leila S. Chudori
Penerbit:
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun
Terbit: 2017
Halaman:
379 halaman
Peresensi:
Dewi Istiqomah
“Kepada mereka yang dihilangkan dan tetap
hidup selamanya,”
Kutipan
di atas adalah kalimat pembuka di awal buku yang berjudul Laut Bercerita.
Sebuah buku yang menurut saya akan menggugah semangat sekaligus membangkitkan
ingatan memorial peristiwa penculikan para aktivis mahasiswa pada era sebelum
reformasi. Buku ini menarik untuk dibaca, serta didiskusikan melingkar bersama
teman di warung kopi maupun di forum yang lebih besar.
Sebelum
membahas buku ini lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu latar
belakang penulisan Laut Bercerita sebagaimana
yang telah dituliskan oleh Leila S. Chudori pada bagian ucapan terimakasih.
Leila memaparkan bahwa buku ini berlatarkan sebuah cerita yang ditulis dengan
sepenuh hati dan jujur dari salah satu mereka (aktivis) yang kembali dari
penculikan Maret 1998. Bagaimana seorang anak muda dan kawan-kawannya yang
mengalami horor penyiksaan dari hari ke hari karena mereka dianggap menggugat
Indonesia di masa Orde Baru yang nyaris tanpa demokrasi.
Dalam
buku ini, Leila membagi cerita menjadi dua bagian. Di bagian pertama yang berjudul
Biru Laut menceritakan tentang
kehidupan Laut semasa kecil di Solo bersama kedua orang tua dan adiknya, Asmara
Jati. Mereka memiliki kebiasaan dimana hari Minggu sore dijadikan sebagai hari
keluarga dengan melakukan kegiatan memasak bersama.
Pada
masa perkuliahan, Laut bersama teman-temannya, yakni Sunu, Alex, Daniel, Kinan dan
Bram, memiliki misi dan tujuan yang sama, yaitu menegakkan hak-hak rakyat yang
tertindas pada era Orde Baru. Laut bertemu dengan mereka pada saat bergabung pada
organisasi Winatra. Organisasi tersebut merupakan wadah bagi mereka untuk berdiskusi
serta menyusun strategi gerakan dalam membantu perlawanan rakyat yang mendapat
penindasan pada masa Orde Baru. Hingga kisah di mana Laut dan teman-temannya
satu persatu hilang serta mendapatkan penyiksaan pada masa penculikan.
Sedangkan
pada bagian kedua yang berjudul Asmara
Jati berlatar tahun 2000, dua tahun setelah kejadian hilangnya Laut dan 13
teman lainnya. Pada bagian ini diceritakan bagaimana perjuangan keluarga,
kekasih dan orang-orang yang ditinggalkan terus berusaha mencari keberadaan para
aktivis yang hilang dengan bergabung Komisi Orang Hilang—organisasi yang
kebanyakan beranggotakan keluarga korban.
Tak
hanya itu, pada bagian ini pula kita dibawa untuk mengetahui kenyataan bahwa ‘mereka’
yang hilang tidak akan pernah kembali. Pun perjuangan keluarga yang terus
berharap tanpa adanya kabar pasti, apakah mereka masih hidup atau sudah di bunuh,
serta tentang bagaimana penyangkalan orang tua Laut yang masih menganggap
anaknya bisa kembali pulang dengan kebiasaan menyediakan piring kosong di meja
makan pada saat hari keluarga di Minggu sore.
Lebih
lanjutnya, buku ini dapat dirampungkan 3-4 hari jika benar-benar fokus membaca.
Sebab, buku ini akan terus membuat pembaca bertanya “Apa yang selanjutnya akan
terjadi?” Buku ini seolah-olah bernyawa, mengajak kita mengenang kembali
memorial perjuangan para aktivis yang berusaha mendapatkan kebebasan, keadilan
dan demokrasi yang sebenarnya, serta mengajak kita ikut merasakan bagaimana
kejamnya aparat yang menyiksa aktivis pada era rezim tersebut. Kekurangan buku
ini terletak pada tidak adanya tanda trigger warning, sebab pembaca mungkin
dapat merasa kurang nyaman saat membaca beberapa bagian di dalamnya.
Dari
pembahasan di atas, jika kita merefleksikan perjuangan para aktivis mahasiswa
dalam mendapatkan kebebasan, saya yang juga merupakan mahasiswa merasa bahwa
kebebasan yang dirasakan mahasiswa saat ini bukanlah kebebasan yang semestinya.
Mengapa demikian? Pada masa kini, tidak sedikit mahasiswa yang justru terlena
dengan euforia kebebasan ini. Saat para mahasiswa bebas berpendapat, namun
banyak pula yang justru memilih bungkam dan acuh terhadap ketimpangan yang
terjadi di masyarakat.
Selain
itu, tak sedikit pula mahasiswa yang bergerak atas setiran dari pihak yang berkuasa dan akhirnya justru menguntungkan
beberapa pihak saja. Kita, mahasiswa yang punya peran sebagai agent of change dan agent of control, seringkali menggunakan kebebasan ini hanya untuk
kepentingan pribadi dan melupakan makna kebebasan yang telah diperjuangkan ‘mereka’
hingga kehilangan nyawa. Semoga buku ini bisa menjadi salah satu media untuk
merefleksikan kembali makna kebebasan, terutama bagi kita sebagai mahasiswa.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.