Sampaikan Kebenaran, Represi Kemudian(?)
Opini oleh: Miftah
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) merupakan sebuah lembaga yang melakukan kerja jurnalistik di dalam dan di luar kampus dengan
mahasiswa sebagai pengelolanya. Menurut beberapa kalangan, pers mahasiswa
dianggap sebagai lembaga pers yang ideal karena tidak semata-mata berorientasi
pada kepentingan ekonomi. Dalam geraknya, pers mahasiswa juga berperan sebagai
penyambung aspirasi rakyat yang menyuarakan keadilan. Oleh karena itu, sudah
sepatutnya pers mahasiswa bersikap independen, tak dipengaruhi pihak manapun.
Namun, pers mahasiswa dengan sikap independennya
seringkali mengalami banyak tantangan dalam melakukan kerja jurnalistik.
Tantangan tersebut bisa muncul dari pihak luar, maupun pihak kampus
itu sendiri. Dalam kasus terbaru yang ramai diperbincangkan, terdapat LPM
Lintas dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon yang mengalami beberapa tindakan
intimidasi hingga represif berkaitan dengan produk tulisannya dalam majalah
edisi IAIN Ambon Rawan Pelecehan.
Pertama, kasus pemukulan. Dilansir dari lpmlintas.com,
kejadian itu bermula saat ketua Jurusan Sosiologi Agama di Fakultas Ushuluddin
dan Dakwah (Uswah), Yusup Laisouw, mendatangi sekretariat LPM Lintas. Ia datang
dengan marah-marah sambil meminta untuk bertemu redaktur majalah agar menghapus
dan tidak menyebarkan berita tentang kekerasan seksual yang terjadi di kampus.
Tak lama setelah itu, ia pun keluar setelah sebelumnya mengancam akan mendatangkan
keluarganya. Kemudian, datanglah beberapa orang yang mengaku keluarganya dan tiba-tiba saja memukul dua jurnalis yang ada di sana.
Dari kejadian
ini, penulis bertanya-tanya, pihak kampus yang seharusnya melindungi aktivitas
mahasiswa justru melakukan tindakan yang kurang bijak. Pertama-tama,
bagaimanapun tindakan kekerasan tidak bisa dibenarkan. Apalagi, jika menilik
pada kerja jurnalistik, tentu terdapat rangkaian prosedur yang bisa ditempuh
saat terdapat pihak yang merasa dirugikan. Jika laporan yang ditulis dan
dipublikasikan oleh LPM Lintas dianggap salah, pihak terkait bisa saja meminta
hak jawab kepada LPM Lintas, bukan malah main pukul.
Kedua, pembredelan LPM Lintas. Mengutip dari laman
yang sama, lpmlintas.com, pembredelan bermula dari pelarangan dari pihak
Kepala Satuan Pengamanan, Abdullah Marasabessy, yang datang ke sekretariat LPM
Lintas sambil meminta anggotanya untuk keluar dan mengemasi barang-barang. Ia
juga mengatakan bahwa masa kepengurusan LPM Lintas telah habis dan akan
dibubarkan ketika rektor datang.
Dalam hal ini, pihak kampus terkesan semena-mena
terhadap pembubaran organisasi mahasiswa. Terlebih, pada saat itu, pihak kampus
belum membawa surat resmi pemberhentian aktivitas LPM Lintas. Bersamaan dengan
ini pula, secara tidak langsung kampus telah membunuh ruang demokrasi, dimana mahasiswa
dibatasi dalam berekspresi dan menyampaikan aspirasi. Jika tiap penyampaian
aspirasi berujung represi, siapa yang kelak masih mau peduli?
Kasus pun berlanjut ketika pimpinan kampus
melaporkan Pemimpin Redaksi Lintas, Yolanda Agne, dan rekannya ke pihak
kepolisian dengan alasan untuk pemulihan nama baik kampus. Pelaporan ini
berawal ketika pihak kampus meminta data dan identitas korban kekerasan seksual
kepada LPM Lintas, namun LPM Lintas menolak untuk memberikannya. Sebab, pihak
kampus tidak memberikan jaminan untuk mengusut kasus dengan tuntas apabila
data dan identitas korban diberikan.
Apabila berpegang pada Kode Etik Jurnalistik, pada
Pasal 5 tertulis bahwa identitas korban kekerasan susila tidak boleh disebutkan
dan disiarkan. Selain itu, di Pasal 7, dituliskan pula bahwa jurnalis berhak
menolak untuk mengungkapkan identitas narasumber demi keamanannya. Dengan
demikian, tindakan yang dilakukan LPM Lintas pun sudah tepat yakni melindungi
dan merahasiakan identitas korban.
Selain itu, seharusnya laporan terkait kekerasan
seksual itu bisa menjadi acuan bagi pihak kampus untuk melakukan penanganan
lebih lanjut, salah satunya dengan membentuk badan independen yang khusus
menangani dan mengusut tuntas kasus-kasus tersebut. Bukankah kampus yang baik
adalah kampus yang mampu menangani dan tidak menutup-nutupi kasus kekerasan
seksual dengan alasan menjaga nama baik kampus?
Akhirnya, serangkaian kejadian yang menimpa LPM
Lintas menjadi bukti bahwa dukungan kampus dalam mengawal kasus kekerasan
seksual belum setinggi yang diharapkan. Bahkan, adanya Permendikbudristek Nomor
30 Tahun 2021 pun belum cukup melahirkan kesadaran bahwa harus ada tindakan
tegas dalam menangani kasus kekerasan seksual di kampus. Hal ini tentu sangat
disayangkan. Apalagi, dengan menutupi dan tidak menindak tegas kasus kekerasan
seksual dengan tuntas justru akan membuka peluang terjadinya kasus serupa
dengan korban yang lebih banyak lagi. Penulis berharap, di waktu mendatang, kasus
represi yang menimpa LPM Lintas dengan dalih telah merusak nama baik tidak
terjadi pada rekan pers mahasiswa lainnya. Selain itu, penulis juga berharap
tiap kampus mau memberikan perhatian khusus pada kasus kekerasan seksual di
lingkungan kampus. Bagaimanapun, kasus kekerasan seksual harus ditindak tegas
dan diusut tuntas, bukan malah ditutup-tutupi!
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.