Menilik Pencegahan Kekerasan Seksual Guna Meminimalisir Terjadinya Kekerasan Seksual di IAIN Ponorogo
(Sumber: kumparan.com)
Opini oleh: Dela
Bahasan soal
kekerasan seksual di masyarakat seakan tidak ada habisnya. Bahkan, akhir-akhir ini banyak
sekali kasus kekerasan seksual yang mulai terungkap, seperti yang bisa kita
lihat di berbagai pemberitaan. Meskipun belum semua kasus kekerasan seksual
terungkap dan diberitakan, tetapi kejadian ini menjadi tanda adanya krisis
kemanusiaan saat ini. Kekerasaan seksual menjadi momok menakutkan dalam lingkup
sosial karena melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Kasus kekerasan seksual mungkin terjadi dimana saja
dan oleh siapa saja. Dari daftar panjang tempat terjadinya kekerasan seksual,
ternyata perguruan tinggi menjadi tempat yang tidak terkecualikan. Hal ini
menjadi sebuah ironi jika menilik perguruan tinggi yang dipandang sebagai titik awal adanya
perubahan besar dalam lingkungan masyarakat. Nyatanya, tempat yang dipercayai penuh
dengan agen-agen intelektual tersebut justru menjadi tempat yang dapat
mencoreng harkat dan martabat manusia.
Lebih mengenaskannya lagi, ternyata kebanyakan pelaku
kekerasan seksual adalah dosen. Seorang yang mempunyai intelektualitas tinggi
dan dianggap mampu membuka pemikiran para mahasiswanya. Para korban dari dosen-dosen cabul ini adalah mahasiswa yang sulit
berkutik jika berhadapan dengan peraturan kampus atau peraturan dosennya
sendiri, contohnya peraturan terkait penetapan nilai. Melansir dari CNNIndonesia.com, berdasarkan data dari
Bagian Pemantauan Komnas Perempuan, dari 26 kasus kekerasan seksual yang
terjadi di lingkungan perguruan tinggi sejak 2015-2021, sebanyak 17 kasus di
antaranya dilakukan oleh dosen.
Melihat maraknya kasus kekerasan
seksual tersebut, sebuah payung hukum tentunya menjadi harapan bagi seluruh mahasiswa
maupun pendidik. Dimana, pemberian payung hukum itu telah dilakukan pemerintah
dengan mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Lebih lanjut, kebijakan
dalam pemberian payung hukum itu juga telah dilaksanakan oleh kampus kita, IAIN
Ponorogo. Hal itu terbukti dengan diluncurkannya Peraturan Rektor Nomor 1
tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) pada (15/12/2021)
lalu.
Peluncuran PPKS ini tentunya menjadi
salah satu kebijakan yang patut diapresiasi dan dibanggakan. Sebab, adanya PPKS
dapat memberikan ruang aman bagi warga kampus IAIN Ponorogo dari para predator
kekerasan seksual. PPKS sendiri telah memuat terkait pengadilan bagi para
pelaku dan penanganan bagi para penyitas. Selain itu, seperti yang diharapkan, PPKS
juga telah memuat terkait penanggulangan atau pencegahan kekerasan seksual. Dimana, pencegahan ini dimaksudkan
guna meminimalisir adanya kekerasan seksual di lingkup IAIN Ponorogo.
Berbagai bentuk pencegahan kekerasan
seksual dapat dilihat pada PPKS Bab V tentang Pencegahan. Pada bab itu, termuat
Pasal 7 yang berbunyi bahwa IAIN Ponorogo melakukan pencegahan kekerasan
seksual dengan:
- Menyebarluaskan informasi tentang anti kekerasan seksual di lingkungan IAIN Ponorogo.
- Menyediakan program dan anggaran untuk pencegahan kekerasan seksual.
- Memberikan materi anti kekerasan seksual dalam suatu kegiatan kepada warga kampus IAIN Ponorogo.
- Meningkatkan pemahaman anti kekerasan seksual melalui pemberian materi orientasi pengenalan akademik kampus, perkuliahan, seminar, diskusi, pelatihan, maupun melalui media lain baik cetak maupun elektronik serta dengan memanfaatkan teknologi informasi di lingkungan IAIN Ponorogo.
- Mengembangkan klinik anti kekerasan seksual dalam bentuk konsultasi dan pendampingan bagi warga kampus IAIN Ponorogo.
- Mengembangkan penataan tata ruang dan fasilitas kampus yang aman, ramah dan nyaman.
Salah satu poin mengenai pencegahan
KS pada pasal tersebut adalah dengan menyebarluaskan informasi tentang anti
kekerasan seksual di lingkungan IAIN Ponorogo. Upaya tersebut bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman terkait KS di kalangan seluruh warga kampus. Tentu saja
upaya ini patut kita apresiasi, namun perlu diingat pula bahwa kasus-kasus kekerasan
seksual tidak lepas dari adanya ketidakadilan gender. Maka dari itu, pemahaman
terkait gender pun tidak kalah penting untuk disebarluaskan ke seluruh masyarakat
kampus.
Pemahaman seseorang mengenai gender
akan membuatnya menjadi individu yang tidak diskriminatif, tidak
mengobjektifikasi, ataupun subordinatif, baik kepada perempuan maupun
laki-laki. Dengan pemahaman yang cukup, ketidakadilan gender dapat diminimalisir,
begitu pula dengan kasus kekerasan seksualnya. Oleh karena itu, dalam langkah
pencegahan, pengetahuan perihal gender dan kekerasan seksual harus dimiliki oleh
seluruh elemen kampus; tidak hanya mahasiswa, tapi juga tenaga pendidik beserta
staff-nya.
Secara lebih rinci, upaya pencegahan
juga telah dimuat pada Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Upaya-upaya
tersebut termuat pada Bab II, Bagian Kedua, Pasal 7 tentang pencegahan
kekerasan seksual yang dapat dilakukan oleh pendidik dan tenaga kerja serta
pada Pasal 8 tentang pencegahan kekerasan seksual oleh mahasiswa.
Di dalam kedua pasal tersebut,
dijelaskan bahwa pencegahan salah satunya dapat dilakukan dengan mengurangi
pertemuan antara tenaga pendidik dan mahasiswa di luar area kampus, di luar jam
operasional kampus, dan/atau untuk kepentingan lain selain proses pembelajaran.
Di pasal-pasal tersebut juga dijelaskan jika melakukan pertemuan di luar area
kampus dan jam operasional karena kepentingan proses pembelajaran haruslah
dengan izin ketua program studi secara tertulis ataupun melalui media
elektronik.
Menurut penulis, selain
penyebarluasan pemahaman gender, peraturan pencegahan kekerasan seksual dengan
tindakan pembatasan seharusnya dicantumkan pula dalam PPKS. Sebab, tingginya
kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan juga diakibatkan dari banyaknya
pertemuan mahasiswa dan dosen di luar jam operasional pembelajaran. Dilansir
dari tribunnews.com (10/01/2022),
kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum dosen kepada mahasiswi UNESA
terjadi ketika melakukan bimbingan skripsi saat sore hari. Kasus ini menunjukkan
bahwa pertemuan di luar jam operasional pembelajaran menjadi salah satu
penyebab terjadinya kekerasan seksual.
Bahkan, Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga menekankan tentang beresikonya pertemuan
antara mahasiswa dan dosen di luar jam pembelajaran. Hal itu telah termuat
dalam akun YouTube Cerdas Berkarakter Kemdikbud RI. Dalam akun YouTube tersebut,
ditampilkan video yang menceritakan tentang terjadinya kekerasan seksual oleh
dosen pembimbing kepada seorang mahasiswi saat melakukan bimbingan skripsi di malam
hari.
Penekanan pada poin ini tentu bukan
tanpa sebab. Pasalnya, relasi kuasa merupakan salah satu faktor yang membuat
kekerasan seksual sangat mungkin terjadi. Mengapa demikian? Sebab, korban
merasa tak berdaya dihadapkan dengan pelaku, yang dalam hal ini memiliki
kedudukan dan/atau kekuasaan yang lebih daripadanya. Oleh karena itu, menurut
penulis, aturan dalam poin pembatasan pertemuan ini penting karena legalitas
aturan akan lebih memberikan rasa aman pada seluruh mahasiswa. Dengan demikian,
mahasiswa dapat lebih berani dan dengan tegas menolak segala pertemuan di luar
kampus ataupun jam operasional berlindungkan landasan hukum yang jelas.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.