Kurangi Limbah, Warga Pudak Kulon Olah Kotoran Sapi Jadi Biogas dan Pupuk
Pudak Kulon merupakan
salah satu desa di wilayah Pudak, Ponorogo, Jawa Timur. Di desa ini, mayoritas
warganya merupakan peternak sapi perah. Dengan banyaknya peternakan sapi perah
tersebut, terdapat limbah berupa kotoran hewan. Jika tidak dikelola dengan
tepat, limbah tersebut dapat berdampak bagi lingkungan sekitar. Dalam upaya
meminimalisir pencemaran lingkungan, masyarakat setempat berinisiatif mengelola
limbah tersebut menjadi beberapa produk.
Produk yang dihasilkan
dari pengolahan limbah kotoran sapi tersebut salah satunya adalah energi
alternatif biogas. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Endar, seorang peternak
sapi perah Pudak Kulon. “Untuk mengurangi pembuangan limbah [di sungai],
saya menggunakan alternatif biogas. Nanti, kotoran sapi bisa diolah menjadi
bahan bakar untuk memasak,” ungkap Endar.
Pemanfaatan biogas
tersebut juga dilakukan oleh Gemi. Dengan pengolahan limbah menjadi biogas, dia
merasa pencemaran dari limbah bisa dikurangi. Apalagi, pemerintah pun sudah
mewanti-wanti agar tidak membuang limbah kotoran sapi di sungai. “Dari
bupati juga melarang untuk membuang limbah ke sungai, Mbak,” terangnya
dengan logat khas orang Jawa.
Biogas sendiri merupakan
hasil dari proses pengolahan limbah kotoran sapi yang ditampung dalam sebuah
tabung dan kemudian difermentasikan. Untuk proses pembuatan biogas, awalnya
kotoran dialirkan ke lubang penampungan, kemudian didiamkan selama kurang lebih
dua minggu untuk difermentasi. Setelah proses fermentasi, keran bisa dibuka dan
biogas sudah siap untuk digunakan.
Adapun alat yang
digunakan untuk pembuatan biogas terdiri atas pipa untuk menyalurkan hasil gas
dari penampungan ke kompor dan tabung kedap udara untuk menampung kotoran
tersebut. Apabila isi dari biogas tersebut sudah habis, maka hanya perlu
mengisi kembali dengan limbah kotoran sapi.
Biogas sendiri mulai
dikembangkan di Pudak sejak delapan tahun yang lalu melalui program bantuan
dari Kantor Lingkungan Hidup (KLH) dan PT Nestle. Saat itu, kedua pihak
tersebut memberikan bantuan dana untuk pembelian alat dan pembuatan tempat
biogas. Selanjutnya, pemerintah hanya menyediakan beberapa kuota saja tiap
tahunnya dan tidak terfokus pada Kecamatan Pudak saja. “Di desa ini
mungkin hanya sekitar 40% warga yang sudah menggunakan biogas [hasil bantuan
pemerintah] karena tidak di desa ini saja yang ada peternak sapi, tapi di desa
lain juga ada,” ucap Tugi Andik, selaku Ketua Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) Pudak Kulon
Sujadi pun berkeinginan
agar seluruh masyarakat bisa merasakan manfaat dari biogas, tapi terkendala
terkait biaya dan bantuan dari pemerintah. “Sekali lagi semua itu
terkendala pada biaya dan bantuan dari pemerintah daerah yang terbatas,” tuturnya
saat kru temui di kediamannya.
Selain kendala pada
biaya, kebanyakan warga juga tidak memiliki lahan yang cukup luas untuk membuat
biogas.“Kalau ditanya pengen atau tidaknya, ya, pengen, Mbak. Tapi, untuk
tempatnya itu yang tidak ada,” ujar Paini, salah seorang warga yang
belum berkesempatan menikmati manfaat biogas.
Selain biogas, upaya
lain untuk mengurangi pencemaran, yaitu dengan menjadikan limbah tersebut
sebagai pupuk kompos dengan cara dikeringkan sebelum dikumpulkan ke pengepul.
Di Pudak sendiri telah terdapat sebuah pabrik pupuk, namun masih terkendala
dalam proses pemasarannya. “Ada pabrik [pupuk], tapi masih minim
pendistribusiannya,” jelas Sujadi Eko Atmojo, Kepala Desa Pudak Kulon.
Meski demikian, Endar
belum ikut andil dalam pengumpulan pupuk di pabrik tersebut. Sebab, ia tidak
memiliki cukup lahan untuk menjemur kotoran hewan sebelum dikirim ke pabrik.
Apalagi, ditambah dengan cuaca Pudak yang dingin dan sering hujan. Sebagai gantinya,
Endar mengatakan bahwa ia sudah memanfaatkan hasil endapan atau sruri dari
biogas sebagai pupuk. “Hasil endapan dari biogas itu nanti juga bisa
jadi pupuk, malah kualitasnya lebih baik karena sisa-sisa bakterinya sudah
hilang,” ujarnya.
Terbuangnya limbah
kotoran hewan di sungai menandakan bahwa belum meratanya pemanfaatan pengolahan
limbah kotoran sapi. Menurut jatim.inews.id pembuangan limbah kotoran hewan ke sungai
dapat menyebabkan air sungai
menjadi coklat, berbusa dan menimbulkan bau busuk. Akibatnya, banyak ikan mati
dan mengganggu aktivitas warga di sekitar sungai. Jika hal ini dibiarkan dalam
waktu yang lama, maka akan timbul dampak yang lebih luas lagi.
Menanggapi perihal
dampak limbah, Sujadi mengatakan bahwa pada awalnya warga Pudak Kulon hanya
beternak sapi untuk bertahan hidup, tanpa memikirkan dampak jangka panjang yang
akan terjadi terhadap pembuangan limbah yang berlebihan. Sementara saat ini,
tiap warga bisa memiliki sapi mulai dari 4-17 ekor. Pihak desa pun mengaku terus memikirkan solusi untuk mengatasi hal
tersebut. “Saat ini kami juga sudah berusaha untuk memikirkan solusi
dari dampak pembuangan limbah ini, tapi ya memecahkan satu masalah itu tidak
bisa langsung selesai begitu saja. Apalagi, jika sudah terlalu besar seperti
ini,” terangnya.
Reporter:
Miftah, Chusnul, Cantrisah, Helvi
Penulis: Chusnul
PJTD 2022
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.