Menguji Komitmen dan Peraturan Kampus: Haruskah Kasus Kekerasan Seksual Terjadi di IAIN Ponorogo?
Opini oleh: Hanif
Harap teliti membacanya.
Tulisannya begini, artinya tidak seperti itu...
Sebenarnya saya merasa malu perihal
mengenang, karena mengenang sesuatu bukanlah kegiatan untuk orang seumuran
saya. “Mengenang,” tulis Sujiwo Tejo,
“adalah pekerjaan bagi pensiunan.” Tentu
saja, saya bukan seorang pensiunan. Saya masih muda dan belum bekerja; belum
banyak hal yang layak untuk dikenang. Terlebih, bagi pemuda seperti saya, masih
banyak kesempatan untuk mengalami dan memahami suatu hal.
Tetapi, bukan berarti orang seumuran
saya dilarang mengenang. Memang tak banyak yang bisa dikenang, khususnya selama
berada di IAIN Ponorogo. Saya agak ingat, sebagai mahasiswa normal, memiliki
keresahan terhadap permasalahan sosial tentu sudah menjadi jamaknya. Seperti
halnya keresahan atas maraknya kasus kekerasan seksual, sebuah isyarat adanya
krisis kemanusiaan; merendahkan martabat serta melanggar Hak Asasi Manusia
(HAM).
Tindak kekerasan, di mana pun
tempatnya, tentu tidak bisa dibenarkan. Namun, akan sangat mengenaskan jika
tindak kekerasan justru terjadi di tempat yang digadang-gadang menjunjung dan
menghormati nilai kemanusiaan. Katanya,
tempat yang seperti itu bisa disematkan pada perguruan tinggi atau kampus. Namun
nyatanya, kampus pun tidak lepas dari kasus
kekerasan seksual yang mencoreng nilai kemanusiaan.
Melansir
dari cnnindonesia.com, dari data kasus kekerasan seksual di
kampus, kebanyakan pelakunya adalah jajaran dosen. Hal itu logis, karena dosen
memiliki otoritas lebih tinggi daripada mahasiswa, khususnya dalam ranah
akademik. Maka dari itu, hubungan dosen-mahasiswa di kampus biasa disebut
dengan “Relasi Kuasa.” Sederhananya, yang lebih
berkuasa (dosen) akan sangat mudah menguasai atau memperdaya yang lebih lemah
(mahasiswa).
Dengan
demikian, tentu sangat
mudah ditebak bahwa kebanyakan korbannya adalah mahasiswa. Adanya relasi kuasa
dalam proses studi sangat mungkin menjadi awal terjadinya kekerasan seksual serta
menjadi cara pelaku mengancam mahasiswa, salah satunya seperti saat bimbingan
skripsi dengan dosen. Maka, hampir bisa dipastikan, hal itu akan
menjadi belenggu mahasiswa sebagai korban untuk bersuara. Sehingga, korban memilih diam dan menutupnya
rapat-rapat.
Melihat
hal tersebut, tentu
tidak mengherankan jika banyak yang menganggap kasus kekerasan seksual layaknya
“Gunung Es.” Hanya sebagian kecil yang terlihat
dan masih sangat banyak bagian yang tertutupi—atau memang sengaja ditutupi? Kasus kekerasan seksual memang sangat
terselubung, diperlukan kehati-hatian dan keberanian untuk menyingkapnya. Pasalnya,
kasus tersebut berbeda dengan kejahatan lainnya, sehingga cara pembuktian dan
penanganannya juga berbeda.
Kasus kekerasan seksual
sendiri memang
bukanlah kasus baru. Tetapi, akhir-akhir ini ramai dibahas karena
semakin mengkhawatirkan. Dari beberapa kasus yang sudah terjadi di kampus,
seringkali korban tidak mendapat respon dan keadilan hukum yang layak. Selain
itu, pelakunya pun tidak ditindak dengan tegas. Hal itu tidak lain karena belum
adanya payung hukum yang jelas tentang kasus kekerasan seksual di kampus.
Semakin merebaknya kasus tersebut,
ditambah dengan belum adanya payung hukum, tentu menjadi keresahan tersendiri
bagi masing-masing warga kampus. Akhirnya, di IAIN Ponorogo, terbitlah Peraturan
Rektor Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Aturan
tersebut
barangkali menjadi angin segar bagi warga kampus. Yaa, setidaknya sudah ada payung hukum bagi tindak kekerasan
seksual.
Tapi, bagi saya yang ingin menjadi
mahasiswa normal lainnya, tentu saya harus memiliki suatu keresahan. Justru saya
merasa agak bingung, karena keresahan ini timbul setelah diterbitkannya
peraturan tersebut di tengah masih adanya potensi kekerasan
seksual di kampus. Pertanyaan pertama yang mengusik adalah, “Apakah kita sudah benar-benar aman dan akan
mendapatkan keadilan dari kasus kekerasan seksual setelah adanya payung hukum
tersebut?”
Pertanyaan
ini tentu tidak muncul tanpa sebab. Karena seperti yang baru-baru ini terjadi, di kampus lain,
masih saja terjadi kekerasan seksual setelah peraturan serupa dibentuk. Ternyata di kampus
tersebut, peraturan tentang kekerasan seksual tidak menjamin korban untuk mendapat
keadilan serta tidak menjamin adanya hukuman yang sesuai bagi pelaku. Hal
inilah yang mungkin membuat kita, khususnya saya, masih menaruh rasa was-was akan
terjadinya kekerasan seksual.
Tentu saja kita bisa mengatakan bahwa
penegakan hukum di kampus tersebut masih lemah terhadap kasus kekerasan
seksual. Selain itu, kita bisa mengatakan bahwa itu terjadi di kampus lain dan bukan
di IAIN Ponorogo. Bagi saya, tentu saja menarik untuk lanjut mempertanyakan, “Lalu, apakah komitmen dan penegakan hukum
dari peraturan kekerasan seksual sudah benar-benar kuat di IAIN Ponorogo?”
Mungkin kita sebagai warga kampus,
khususnya pihak yang berwenang, bisa berbangga sembari berkata bahwa integritas
dan komitmen harus kita jaga dan peraturan tersebut harus ditegakkan. Sehingga
dari jawaban tersebut, angin segar bisa kembali kita rasakan; suatu saat jika
terjadi kasus kekerasan seksual, siapapun korbannya akan mendapatkan keadilan
dan siapapun pelakunya akan mendapatkan hukuman yang sesuai.
Sebuah peraturan, salah satunya bisa
berfungsi saat terjadi suatu pelanggaran. Artinya, peraturan tentang kekerasan
seksual haruslah diuji dengan adanya kasus kekerasan seksual. Sehingga, kita
bisa menilai bahwa komitmen kampus dan penegakan peraturan tersebut
sudah kuat atau masih lemah. Itu berarti, “Apakah
memang harus ada kasus kekerasan seksual terlebih dahulu di IAIN Ponorogo?”
Akhirnya, pada titik inilah saya tidak
berani untuk bertanya lagi ataupun menjawab pertanyaan tersebut. Karena siapa
pun tentu tidak ingin menjadi korban dari kasus kekerasan seksual. Tetapi,
penting kiranya untuk selalu mempertanyakan perihal komitmen dan penegakan hukum
kekerasan seksual tersebut. Karena,
jangan-jangan komitmen dan peraturan tersebut hanya semacam formalitas belaka.
Meskipun kita memang tidak boleh berburuk sangka.
Hal tersebut tidak lain karena sudah
sangat banyak kita lihat, ketika mereka (para pejabat) mengatakan taat dan akan
menegakkan hukum, nyatanya berbalik arah dan berkelit saat dihadapkan dengan
kasus yang sudah ada di depan mata. Selalu ada saja seribu satu alasan untuk
menghindar. Sehingga, tidak perlulah kiranya saya menyebutkan contoh satu
persatu.
Terakhir, sangat penting bagi kita
untuk selalu memberikan respek kepada mereka, korban kekerasan seksual yang
sudah bersedia untuk berbicara. Tidak lain karena mereka sudah melewati masa
sulit yang hampir pasti berhadapan dengan ancaman, ditambah dengan tekanan psikis
yang sangat berat. Menciptakan ruang aman merupakan alternatif yang perlu kita
lakukan untuk meminimalisir adanya kasus kekerasan seksual.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.