Sayur Pudak Tembus Pasar Luar, Tapi Tak Dikenal
(Foto: Zulfa)
Features oleh: Azizah
Mentari mulai
menampakkan sinarnya, tapi hawa dingin masih terasa.
Sebuah desa yang berada di dataran tinggi itu tertutup kabut tebal. Desa yang dijuluki sentra susu perah itu sudah
mulai nampak aktivitas kehidupannya. Desa Pudak Kulon namanya. Desa yang
dikenal sebagai penghasil susu sapi di berbagai daerah. Di balik kemasyhuran
susu sapi, ternyata terdapat sektor pertanian yang mampu menembus pasar luar daerah.
Di tengah banyaknya peternak sapi
perah, masih dapat dijumpai petani yang memanfaatkan seluruh lahan mereka
untuk ditanami sayuran. Sementara yang lain, umumnya merupakan peternak yang
marangkap sebagai petani, memanfaatkan sisa lahan untuk bercocok tanam sebagai
sampingan. Ada yang beranggapan jika penghasilan dari
bercocok tanam tidak begitu menjanjikan, dilihat dari hitungan waktu yang
diperlukan untuk menghasilkan pundi-pundi uang. Hasil dari panen sayur
rata-rata juga tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan dalam perawatannya.
Padahal, bertani tidak bisa
dipandang sebelah mata, seolah hanya tentang menyemai dan menuai. Bertani
adalah tentang proses dan kesabaran dalam menunggu dan menghadapi masalah
terkait tanaman. Bercocok tanam sayuran dimulai dari membibit benih sendiri
dengan cara disemai kemudian dipindah ke lahan tani, bisa juga dengan cara
menanam bibit secara langsung di lahan. Benih bisa didapat dari mengeringkan
biji sendiri atau membeli di pasar. “Ada yang membibit sendiri seperti
kubis, wortel yang buat sendiri itu ada, yang beli juga ada,” ucap Siti,
peternak yang juga menjadikan pertanian sebagai sambilan.
Petani sayur di Desa Pudak Kulon
biasanya memanfaatkan limbah peternakan sapi, yakni kotorannya, untuk campuran tanah. Namun, bagi petani yang tidak merangkap sebagai
peternak, umumnya mereka membeli kotoran ayam untuk dijadikan bahan campuran. Selain pupuk
organik, para petani yang tergabung dalam kelompok tani juga mendapat bantuan
berupa subsidi pupuk anorganik atau kimia. Namun, ada kalanya pupuk subsidi
kurang memenuhi kebutuhan tanaman sehingga beresiko telat pupuk, seperti yang
diutarakan oleh Sugiarto, seorang petani yang bergabung dengan kelompok tani.
"Sudah bergabung di kelompok tani, tapi pupuk yang diperoleh juga
sedikit dan tidak cukup. Kalau kurang, ya, beli sendiri," ujarnya.
Pupuk
yang terkadang telat dari jadwal membuat tanaman hanya dibiarkan, apalagi petani yang memiliki sawah yang luas, sering telat memupuk karena
menunggu adanya subsidi pupuk. Di samping itu, sebenarnya pemberian pupuk
subsidi dari pemerintah tidak serta merta langsung turun ke masyarakat dengan
bebas. Bahkan, beberapa kali sasaran pupuk subsidi tidak pas atau salah
sasaran.
Bercocok tanam sayuran memang
membutuhan perhatian khusus agar memberikan hasil yang berkualitas. Sayur bisa
dikategorikan bagus jika sayurannya segar, tidak busuk, ukurannya besar-besar,
khususnya wortel, dan daunnya tidak berlubang karena dimakan ulat, seperti
kubis. Namun, dibalik perawatan yang sedemikian itu, ternyata petani tidak
luput dari kegagalan panen karena cuaca dan hama. Curah hujan yang tinggi
seringkali membuat sayuran tidak dapat dipanen secara maksimal.
Setelah masanya, sayur akan dipanen
dan didistribusikan. Sebagian besar petani di Pudak menjual hasil panennya ke
pengepul sayur. Dilihat dari proses perawatannya yang panjang, ternyata harga jual sayuran pun tidak begitu tinggi. Jika
dipikir, sayuran yang dijual sendiri akan lebih untung seperti pengepul sayur
yang kembali menjual ke pedagang lain dengan harga yang bisa sampai dua kali
lipat. Namun, petani di Pudak tidak berpikiran untuk langsung menjual sayuran
mereka sendiri dengan dalih tidak adanya relasi di pasar. “Dijual sendiri itu
kalau tidak ada langganan ya malah repot. Kan di pasar modelnya pengepul punya
langganan-langganan pedagang lainnya. Terkadang kalau tidak punya tempat juga
repot,” ucap Sugiarto.
Hasil pertanian mereka dijual mulai
dari Pudak sekitarnya hingga luar daerah seperti Magetan, Madiun, dan Nganjuk. Namun, alih-alih diakui, sayur yang ke Magetan justru dijual
kembali ke Ponorogo dengan nama sayur Magetan. “Ponorogo dibeli Magetan,
terus Magetan dibawa ke Pasar Legi dan
namanya bukan dari Ponorogo lagi, tetapi Magetan.” ujar Madi, ketua kelompok tani di Pudak Kulon. Hal ini membuat petani
mendapatkan keuntungan yang sangat minim jika dibandingkan dengan harga sayur
setelah melewati beberapa tangan.
Harapan petani untuk bisa menjual
sayuran sendiri secara langsung masih sulit direalisasikan, meskipun dari pihak
petani sendiri sudah mengutarakan keinginan mereka untuk mendirikan pasar di
desa Pudak. Hingga akhirnya, sayur-sayur Pudak yang beredar pun lebih banyak
dikenal dengan nama daerah lain, bukan Pudak itu sendiri.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.