Seminar Kebudayaan PSRM, Bahas Sejarah Hingga Transformasi Reyog Ponorogo
lpmalmillah.com - Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Persatuan Seni Reyog Mahasiswa (PSRM) Watoe Dakon mengadakan acara Seminar Kebudayaan pada Minggu, (19/07/2022). Acara ini mengusung tema ‘Menelisik Autentisitas Kesenian Reyog serta Eksistensinya di Masa Kini’ yang diisi oleh Rido Kurnianto selaku Budayawan Ponorogo, sekaligus dosen Universitas Muhammadiyah Ponorogo (UMPO). Bertempat di Aula Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (FUAD), acara dimulai pukul 08.50 WIB dengan dihadiri oleh mahasiswa, perwakilan UKM/Unit Kegiatan Khusus (UKK), budayawan, serta mahasiswa dari luar kampus IAIN Ponorogo.
Acara ini dibuka secara langsung oleh Budi Warsito selaku Ketua Yayasan Reyog Ponorogo. Dalam sambutannya, ia mengatakan bahwa dengan adanya kegiatan ini, anak muda bisa lebih memahami makna reyog. “Reyog Ponorogo ini bukan sekedar kesenian saja, tetapi bisa juga memiliki makna yang lain. Reyog itu termasuk legenda, sejarah, atau bahkan kebudayaan. Reyog juga bukan sekedar seni atau tontonan, namun nantinya akan menjadi tuntunan bagi seluruh masyarakat karena mengandung falsafah-falsafah kehidupan di dalamnya,” ungkapnya.
Dalam sambutannya, Aldy Ferdinan selaku Ketua Panitia juga menyampaikan tujuan dari diadakannya acara ini adalah guna memberikan pemahaman terkait budaya reyog. “Acara ini digelar dengan tujuan memberikan pemahaman terhadap keaslian kesenian reyog serta dalam rangka menghidupkan kesenian reyog di lingkungan kampus IAIN Ponorogo,” ungkapnya.
Acara kemudian dilanjutkan dengan materi yang disampaikan Rido Kurniawan dengan dipandu oleh Inshary Amarylis Sagita selaku moderator. Dalam materinya, ia menyampaikan makna di balik seni reyog yang terdiri dari gabungan harimau dan bulu merak. “Harimau merupakan simbol kekuatan dan keberanian sedangkan bulu merak melambangkan kecantikan dan keindahan. Manusia pun harus memiliki keduanya, yaitu kuat fisik yang kemudian dibaluri dengan akhlakul karimah,” ujarnya.
Rido juga menyinggung perihal penggunaan kulit harimau dan bulu merak dalam kesenian reyog yang rawan melanggar undang-undang perlindungan satwa. Menurutnya, penggunaan tersebut tetap diperbolehkan dengan syarat tertentu. “Apakah kulit harimau dan bulu merak diperbolehkan? Boleh, asalkan harimau dan meraknya [hasil] dari penangkaran. Kalau mau yang lebih aman ya menggunakan kulit lembu yang diberi lorek seperti harimau dan bulu merak yang telah brodol dalam penangkaran,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia juga menyampaikan bahwa penulisan yang benar itu reyog bukan reog. Karena reyog sudah muncul sekitar empat abad yang lalu. Dalam Aksara Jawa tertulis menggunakan huruf ‘ya,’ bukan ‘ha.’ Sedangkan istilah reog baru muncul dalam program pembangunan Bupati Markum Singodimedjo yang merupakan kepanjangan dari Resik, Endah, Omber, Girang-Gemirang. Namun, ia mengungkapkan itu bukan masalah yang serius. “Dalam UNESCO, sebuah seni bisa memiliki dua nama atau lebih, yang penting tidak menimbulkan permasalahan. Di sana [UNESCO] tertulis reyog, reog, dan juga barongan,” katanya.
Tak hanya itu, ia juga membahas perihal kesenian reyog yang harus bertransformasi dan berkembang mengikuti kemajuan zaman yang ada. Karena pada intinya, kesenian reyog itu memiliki unsur berupa harimau, merak, serta gamelan khas Ponorogo. “Nilai inti dalam [kesenian] reyog adalah harimau dan merak serta gamelan Ponorogo. Jika ketiga unsur itu tidak ada maka tidak disebut sebagai Reyog, tapi boleh saja ditambah [variasi] dengan alat modern seperti yang ada di Solo; ditambah gitar dan keyboard,” terangnya.
Acara ini mendapatkan tanggapan dari Luthfi Nuzul Komariyadi, salah satu peserta seminar. Mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) semester enam ini mengaku mendapatkan ilmu baru dari seminar ini. “Tentunya ada pengetahuan baru yang saya temukan. Kebanyakan orang tidak tahu dengan budayanya sendiri dan dengan adanya seminar ini sangat menarik untuk diikuti anak muda, tidak hanya mahasiswa,” katanya.
Terakhir, Aldy Ferdinan berharap tujuan dari acara ini dapat tercapai. Apalagi, reyog sendiri bukan hanya kesenian yang bisa ditonton saja, tapi sarat akan makna. “Harapan saya, setelah ada acara ini bisa mengerti tentang kesenian di wilayah Ponorogo ini. Karena seperti yang disampaikan tadi, ternyata reyog memiliki banyak makna dibaliknya, tidak hanya kesenian yang bisa ditonton saja,” ungkap mahasiwa yang kuliah jurusan Hukum Keluarga Islam (HKI) semester empat tersebut.
Reporter: Miftah, Esti, Zulfa
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.