Feature, Menyajikan Berita Seperti Bercerita
(gambar: mediapijar.com)
Judul Buku:
Seandainya Saya Wartawan Tempo
Penulis:
Goenawan Mohamad
Penerbit:
Tempo Publishing
Tahun
Terbit: 2014
Halaman:
viii + 98 halaman
Peresensi:
Titah Gusti Prasasti
“Setiap tempat kerja adalah juga sebuah tempat belajar. Di mana saja. Di ruang-ruang kantor TEMPO, belajar adalah bagian dari tugas sehari-hari.”
–Goenawan Mohamad
Rasanya,
kutipan dari si penulis buku Seandainya
Saya Wartawan Tempo, Goenawan Mohamad di atas memang benar adanya; tidak
berlebihan. Sebagai seorang jurnalis, selalu ada hal baru yang harus dipelajari
setiap harinya. Tentu saja, hal ini tak luput dari kebutuhan untuk melakukan
proses peliputan hingga penulisan berita. Hal serupa rasanya juga akan diamini
oleh mereka yang berkutat di dunia pers mahasiswa, termasuk saya. Bahkan, saat
saya menemukan dan membaca buku ini di ruang BEM Lembaga Pers Mahasiswa
aL-Millah pun merupakan sebuah proses belajar.
Melalui buku
ini, saya belajar bagaimana berita tidak hanya bisa disajikan dalam bentuk yang
lempeng dan terkesan kaku atau bahkan
membosankan. Berita bisa pula disajikan dengan alternatif lain agar lebih
“mengalir” bak membaca sebuah cerita. Hal ini telah dibuktikan oleh TEMPO dan,
bahkan, sekarang menjadi ciri khasnya, yaitu melalui gaya penulisan feature.
Feature adalah salah satu ragam teknik
menulis yang unik. Feature tidak
hanya mengandung informasi dan fakta, tetapi juga hal-hal menarik dalam sebuah
peristiwa yang mungkin tidak layak masuk dalam tulisan hardnews. Hardnews kerap
ditulis dengan lugas, mengambil fakta terpenting untuk ditampilkan. Hal ini
berbeda dengan feature yang beberapa
bahkan ditulis dengan bentuk “aku”— melibatkan emosi dan pikiran reporternya.
Meskipun, pada akhirnya asas objektivitas tetap harus dijunjung tinggi sebab
bagaimanapun feature merupakan jenis
karya jurnalistik.
Buku ini
disusun atas beberapa bagian. Setelah pengantar, ada sebuah bab berjudul ‘Pada
Mulanya adalah Feature’ sebagai sajian awal. Bab ini menjelaskan tentang
bagaimana feature didefinisikan dan
beberapa ciri yang membangun feature
itu sendiri.
Selanjutnya,
ada ‘Modal Penting dalam Menulis.’ Di permulaan bab ini, ada sebuah kutipan
yang oleh penulis ditujukan pada para penulis feature, bunyinya: “write as
you talk” atau menulislah seperti halnya Anda sedang bertutur. Ini menjadi
poin menarik sebab membuat bagaimana sebuah fakta dapat disajikan dengan luwes,
seperti bercerita, dan lebih-lebih dapat menjangkau imajinasi pembaca.
Bagaimana caranya? Kiranya jawaban pertanyaan ini akan dibahas lebih lanjut
pada bab selanjutnya, yakni ‘Mengail, dengan Lead.’
Minat baca
seseorang pasti tak lepas dari unsur ketertarikan. Maka, bagian menarik
tersebut harus diketahui seawal mungkin oleh pembaca. Inilah fungsi lead pada sebuah tulisan. Kiranya,
sebuah lead dalam feature berfungsi sebagai ‘umpan’ dan
pembuka alur cerita. Ada banyak model lead
seperti lead ringkasan, lead bercerita, lead kutipan, lead
deskriptif, dan lain sebagainya. Semuanya punya peran serupa: menggugah
ketertarikan pembaca.
Jika kita sudah
memiliki lead menarik, lalu apa
selanjutnya? Ya, benar, membuat bagian-bagian berikutnya tetap menarik dan
tidak membosankan. Dalam penulisan berita, kita cukup akrab dengan model
piramida terbalik, yakni menyusun informasi dengan menyajikan bagian terpenting
seawal mungkin. Lalu bagaimana pada jenis feature?
Di bab ‘Tubuh dan Ekor’, model penulisan serupa pun dapat diterapkan. Namun,
ada satu poin tambahan, yakni ending.
Selain ending, diperlukan pula
transisi agar tulisan feature dapat
mengalir sedemikian rupa.
Bab
selanjutnya adalah ‘Teknik Penulisan.’ Di bab ini, dijelaskan tiga teknik
pokok. Pertama, spiral, yakni setiap alinea menguraikan lebih rinci persoalan
yang disebut alinea sebelumnya. Kedua, blok, yakni bahan cerita disajikan dalam
alinea-alinea yang terpisah, secara lengkap. Dan, terakhir adalah mengikuti
tema. Dimana setiap Alinea menggarisbawahi atau menegaskan lead-nya.
Setidaknya,
seperti itulah pengenalan feature pada beberapa bab awal. Selanjutnya, buku ini
memberikan kita empat ‘senjata’ untuk menghasilkan tulisan feature. Mula-mula, kita perlu menentukan fokus. Penentuan fokus
akan membantu kita dalam mengeliminasi informasi-informasi yang tidak sesuai
dengan topik tulisan.
Kedua,
deskripsi. Topik yang kita pilih sebagai fokus haruslah digambarkan melalui
tulisan. Di sini, ada satu poin menarik lagi, yakni soal bagaimana penulis
lebih diuntungkan dalam menggambarkan sesuatu daripada penggambaran visual
seperti kamera TV, misalnya. Lewat observasi yang tinggi, penulis dapat memberi
gambaran tabiat, karakteristik, bahkan kepribadian seseorang yang tidak tampak
di depan kamera.
Ketiga,
kutipan. Penggunaan kutipan dapat menghindarkan kesan monoton pada suatu
tulisan. Meski demikian, penggunaannya pun tidak boleh sembarangan. Sebab,
beberapa reporter muda kerap melakukan kesalahan teknis dalam pengutipan, yakni
mengutip terlalu banyak (over-quote)
atau justru terlalu sedikit mengutip (under-quote).
Menghindari hal tersebut, dituliskan pula pedoman pengutipan dalam buku ini.
Terakhir,
anekdot. Kejadian lucu atau anekdot bisa jadi daya tarik tersendiri dalam
tulisan feature. Yang penting,
pemilihannya harus dilakukan dengan hati-hati. Jangan sampai anekdot yang
dipilih justru merendahkan si subjek. Etika dalam jurnalisme tidak boleh
ditinggalkan.
Pada dua bab
selanjutnya, ada pemaparan mengenai beberapa jenis feature. Ada feature
berita yang menyajikan peristiwa aktual dalam bentuk yang lebih mudah dipahami
pembaca. Kemudian, ada feature human
interest yang biasanya didasarkan pada studi tentang sifat manusia
berdasarkan pengamatan dan inisiatif reporter. Selain itu, ada pula profil
pribadi yang menangkap kepribadian seseorang dalam sebuah cerita.
Buku ini
akhirnya ditutup dengan ‘Ingin Selamat? Bikinlah “Outline”.’ Satu bab yang
menyorot bagaimana keberadaan outline
sangat esensial dalam sebuah proses penulisan. Outline sangat berguna sebagai ‘rambu-rambu’ yang akan mencegah kita
untuk keluar dari fokus. Selain itu, ia juga penting untuk mengurutkan cerita
serta menghindari pengulangan yang tidak perlu dalam tulisan. Meski dalam
catatan kasar, saya sangat sepakat bahwa outline
mutlak diperlukan.
Akhirnya,
buku ini benar-benar menjadi media belajar bagi saya, sesuai dengan yang saya
tuliskan di awal. Banyak poin penting yang bisa dicatat lewat buku milik
Goenawan Mohamad ini. Bahkan, beberapa bahasan juga menyertakan contohnya.
Penyajian lengkap dengan bahasa yang mudah dimengerti membuat saya ingin
merekomendasikannya pada siapapun yang tertarik untuk belajar menulis,
khususnya feature.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.