Miskonsepsi SKB 3 Menteri antara Ahmadiyah dengan Aparat Pemerintah
Features oleh: Alya
“Kalian sebagai aparat pernah baca
SKB (Surat Keterangan Bersama) 3 Menteri [atau] tidak? Kalau tidak saya
bacakan! Jangan hanya berpersepsi SKB 3 menteri isinya pelarangan Ahmadiyah, ya,
salah besar!” kata Edi
Zulkarnain, ketua pelakana Jalsah Salanah.
Sore yang mencekam, selain karena
ada dua drone yang mengawasi, beberapa mobil polisi juga ternyata sudah
parkir di lapangan hotel. Hati yang tenang karena persiapan acara sudah matang,
seketika hancur lebur akibat aparat yang tidak setuju berlangsungnya
acara.
Keadaan makin runyam karena Edi juga dalam posisi terdesak sebab kalah masa dengan aparat dan beberapa Organisasi Masyarakat (Ormas) yang jumlahnya sekitar 50 orang. Mereka tiba-tiba mendatangi Edi ketika sedang melakukan pemeriksaan persiapan acara Jalsah Salanah.
Sebelumnya, ketua acara Jalsah Salanah ini sempat ditelepon beberapa kali oleh nomor tak dikenal. Namun, laki laki berusia 40 tahun ini tak mengangkatnya. Tak berhenti di situ, nomor tak dikenal ini terus
menerus menghubunginya. Hingga dirasa geram, ia pun akhirnya mengangkat telepon yang ternyata itu adalah panggilan
dari Polres Ponorogo. Ia diminta untuk datang
ke kantor. Ia enggan datang karena
dirasa suasana akan sangat menegangkan. Ia lebih memilih mengajak Polres
Ponorogo mengobrol di Telaga Ngebel agar suasana lebih tenang.
Sayangnya, Aparat menolak ajakan
tersebut dan memilih tindakan sendiri yang berujung pada pembubaran paksa acara
Jalsah Salanah.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) bukanlah
sebuah kelompok agama baru di Indonesia. Namun, keberadaanya sering ditolak oleh
kelompok muslim mayoritas lainnya, meskipun JAI mengaku sebagai bagian dari
komunitas muslim.
Negara telah mengakui secara hukum
keberadaan JAI dengan disahkannya organisasi ini sebagai badan hukum melalui SK
Menteri Kehakiman RI tanggal 13 Maret 1953 No. JA 5/23/13 dan Tambahan Berita
Negara RI No.26 Tanggal 31 Maret 1953, terdaftar di Departemen Agama RI,
Departemen Sosial, serta Departemen Dalam Negeri.
Sedangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
yang mendeklarasikan diri sebagai perwakilan umat Islam seluruh Indonesia—kecuali
Ahmadiyah tentu saja—dalam Musyawarah Nasional (Munas) II yang berlangsung di
Jakarta pada 26 Mei - 1 Juni 1980, mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa
Jemaat Ahmadiyah adalah aliran di luar agama Islam, sesat, dan menyesatkan.
“Saya masih mengikuti kesepakatan
ulama bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir. Jadi konsekuensi dari aliran
yang menentang ini, ya, saya tidak setuju. Sedangkan fatwa MUI mengatakan bahwa
Jemaat Ahmadiyah menyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan itu [dalam
persoalan akidah] termasuk fatal,” kata Luthfi Hadi Aminuddin, ketua MUI
Ponorogo.
Hal ini menjadi penyebab gesekan antara
Ahmadiyah dengan aparat. Seperti pada tanggal 5 Januari 2023, terjadi pembubaran
paksa acara Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Jawa Timur di
Telaga Ngebel, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo. Rencananya kegiatan ini akan diadakan pada tanggal 6-8
Januari 2023 dengan dihadiri oleh 401 orang jemaat Ahmadiyah se-Jawa Timur.
Acara Jalsah Salanah merupakan acara
tahunan yang lingkupnya ada dua, provinsi dan nasional. Acara yang diadakan di
Ngebel kemarin merupakan lingkup provinsi. Tujuannya untuk memperkuat rasa
persaudaraan dan kebersamaan dalam kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti
pengajian, pidato, pertemuan kelompok diskusi, serta kegiatan sosial dan
kemanusiaan.
Sambil menyelam minum air, sambil
mengadakan acara juga dapat hiburan wisata alam. Inilah yang menjadi alasan
pemilihan tempat di Ngebel. Namun sayangnya, acara kemarin tidak berjalan lancar
karena aparat, MUI Ponorogo, dan beberapa ormas. Mereka mendatangi secara tiba-tiba dengan
alasan tidak adanya surat perizinan dari Ahmadiyah untuk mengadakan acara di
Ngebel.
“Kita
ngomong baik-baik dan memberikan pertimbangan kalau secara legal formal negara
membolehkan, ya gak papa,” kata Luthfi Hadi Aminuddin.
Jemaat Ahmadiyah biasanya mengadakan
kegiatan Jalsah Salanah secara sembunyi-sembunyi. Kali ini mereka melakukan
secara terbuka untuk pertama kalinya sebagai jalan untuk mewujudkan mimpi agar
terbebas dari keterbatasan yang ada. Maka dari itu, sebenarnya mereka sudah
mempersiapkan surat perizinan. Namun, pemilik hotel tidak menganjurkan hal
tersebut karena menurutnya acara di hotel sudah biasa diadakan. Kemudian,
setelah perselisihan antara aparat dengan ketua pelaksana, akhirnya ia pun menyanggupi
untuk membuat surat izin. Malangnya, aparat tetap membatalkan acara tersebut
dengan alasan adanya fatwa MUI dan SKB 3 Menteri.
“Semisal Ahmadiyah sedang melakukan
kegiatan, lalu ada kegaduhan di luar, sebagai aparat harus berlaku seperti apa?
Pasal ini mencegah yang di luar melakukan kegaduhan. Jadi di pasal 2 itu,
non-Ahmadiyah dilarang anarkis,” tegas
Edi terkait SKB.
Tuba habis, ikan tak dapat,
begitulah kiranya nasib jemaat Ahmadiah setelah dibatalkan acara Jalsah Salanah.
Persiapan yang sudah dilakukan dari jauh-jauh hari terasa sia-sia. Kerugian
yang dialami JAI pun tak tanggung-tanggung. Total biaya kerugian mencapai 80 juta
rupiah. Tak hanya kekecewaan mendalam yang harus mereka rasakan, tapi juga
trauma yang begitu berat, baik jemaat yang sudah hadir di lokasi maupun belum.
Batalnya acara ini membuat hati
jemaat Ahmadiyah begitu teriris, seakan hilangnya kepercayaan diri dalam
berkegiatan, baik dalam beribadah maupun bersosial. Namun, semangat yang mereka
miliki memang patut diapresiasi. Mereka bahkan tak pernah ada niatan untuk
membalas sikap “kurang” nyaman yang mereka rasakan.
Cepat kaki, ringan tangan, sebut
saja Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan dan Berkepercayaan (Sobat
KBB) yang sigap dalam memberi bantuan pada JAI dalam bentuk pernyataan sikap dukungan
dengan berbagai tuntutan, yang salah satunya pencabutan SKB 3 Menteri terkait
Ahmadiyah karena menjadi sumber hukum yang diskriminatif.
SKB 3 Menteri: Pemasungan Kebebasan JAI
Komisi Nasional untuk Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) juga menilai SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah adalah akar
dari masalah jemaat Ahmadiyah di Indonesia.
“SKB 3 Menteri itu perlu dicabut.
Jadi, uji bahwa negara kita saat ini komitmen terhadap HAM, terhadap negara
hukum ya cabut SKB itu," kata Komisioner Komnas HAM, Choirul Annam,
saat jumpa pers virtual, Senin (06/09/2021). Dilansir dari detik.com.
Kalau sudah begini, negara bisa apa?
Solusinya, ya cabut saja SKB 3 Menteri. Tapi sayangnya, MUI malah tidak setuju dengan
pendapat Komnas HAM dan beranggapan bahwa kekerasan yang kerap dihadapi jemaat
Ahmadiyah bukanlah karena SKB 3 Menteri. Namun, masalahnya justru penerapan SKB
3 Menteri itu yang tidak sempurna.
“SKB itu ada untuk melindungi
kedua belah pihak, yakni pihak Ahmadiyah dan pihak umat Islam,"
kata Ketua Bidang Pengkajian dan Penelitian MUI, Prof. Utang Ranuwijaya, kepada
wartawan, Senin (06/09/2021). Dilansir dari detik.com.
Meskipun MUI menilai SKB tak perlu
dicabut dengan alasan melindungi kedua belah pihak, tapi kenyatannya berbagai
sikap diskriminatif dan bentuk ketidakadilan yang terjadi justru sumber
hukumnya dari SKB 3 Menteri. Alih-Alih memupuk ketenteraman beragama dan
ketertiban kehidupan masyarakat, negara justu seakan-akan hanya menjadikan SKB
3 Menteri ini sebagai alasan untuk membela diri karena tak mampu mengendalikan
aksi anarkisme yang dilakukan kelompok Islam lainnya terhadap JAI.
Padahal, pada tanggal 17 Januari
2023 di Sentul International Convention Center, Jawa Barat, saat rapat
Koordinasi Nasional, Joko Widodo baru saja menyampaikan kepada para pimpinan
daerah dan aparatnya bahwa beragama dan beribadah dijamin oleh konstitusi.
Seharusnya, konstitusi tidak boleh kalah dengan kesepakatan hanya sebatas gimik
politik. Sangat ironis, jika pada pembubaran acara Jalsah Salanah ini
juga ternyata memang ada unsur politik identitas di dalamnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa agama
Islam terbagi menjadi banyak golongan. Seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama,
Persis, dan Masyumi. Di antara satu dengan golongan yang lain itu, tak jarang
menimbulkan “konflik”. Pun di antara golongan kaum muslimin yang sering menerima tindakan
“kurang” nyaman adalah muslim Ahmadiyah yang statusnya sebagai kelompok Islam
minoritas di Indonesia. Model relasi minoritas versus mayoritas-dominan
menunjukkan lemahnya posisi tawar dari kelompok minoritas. Hal ini menjadikan
mereka rentan akan praktik-praktik diskriminasi kelompok mayoritas. Selain itu, juga menjadi ajang politik klaim yang dilakukan oleh kelompok Islam mayoritas.
Relasi ini semakin kompleks ketika ranah teologis kemudian bergeser ke ranah
politis, apalagi setelah melibatkan negara di dalamnya.
Pada abad ke-19, Jemaat Ahmadiah lahir di India dan pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1925. Sejak itu, pertentangan dari kelompok Sunni terus terjadi. Mulai dari pertentangan Ahmadiyah vs Muhammadiyah, Ahmadiyah vs Persis, hingga berujung pada Ahmadiyah vs Majelis Ulama Indonesia. Berbagai perspektif terus bermunculan silih berganti mengenai Ahmadiyah. Apalagi semenjak MUI mengelurkan fatwa bahwa Ahmadiyah sesat.
Bagaimana Sebenarnya Ahmadiyah itu?
Anggapan bahwa Ahmadiyah berbeda, bahkan bukan bagian dari golongan Islam, adalah salah. Ahmadiyah sama seperti golongan muslim lainnya yang meng-esa-kan Allah, mengimani rukun islam, dan berpedoman hidup dengan Al-Qur’an.
Seperti pada umumnya, setiap golongan
Islam mempunyai letak perbedaan masing-masing, begitu juga dengan Ahmadiah. Di
sinilah banyak misunderstanding antara jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah.
Perbedaan penafsiran seperti konsep kenabian, penafsiran Al-Qur’an, hingga
penafsiran peristiwa Isra’ Mi’raj.
Pertama, penafsiran mengenai konsep kenabian. Muslim non Ahmadiyah
menganggap jemaat Ahmadiyah menyakini ada nabi setelah nabi Muhammad SAW, dibuktikan
dengan Mirza Ghulam Ahmad yang diyakini sebagai nabi. Sedangkan Jemaat
Ahmadiyah meyakini dalam Al-Qur’an ada
nabi yang dikisahkan dan ada yang tidak dikisahkan, maka dari itu jemaat Ahmadiyah
meyakini Mirza Ghulam Ahmad adalah salah satu nabi yang tidak dikisahkan. Namun, bukan berarti kedudukan Mirza Ghulam Ahmad menjadi nabi akhir zaman setelah
nabi Muhammad SAW. Selain meyakini sebagai nabi, Ahmadiyah juga menyakini Mirza
Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi.
Kedua, penafsiran mengenai Al-Qur’an. Muslim non Ahmadiyah menganggap pedoman
hidup jemaat Ahmadiyah adalah Tadzhkiroh yang dianggap kitabnya Mirza Ghulam
Ahmad. Sedangkan pedoman hidup Jemaat Ahmadiyah tetaplah Al-Qur'an. Bahkan
mereka mempunyai misi yang besar, yaitu melakukan pembaruan pemikiran dalam
Islam. Al-Qur’an harus sejalan dengan rasio dan perkembangan ilmu
pengetahuan, sehingga Islam mampu diterima oleh seluruh umat manusia.
Ketiga, penafsiran peristiwa Isra’ Mi’raj menjadi Mi’raj Isra’. Muslim non
Ahmadiyah meyakini peristiwa dua perjalanan Nabi Muhammad Saw dalam waktu
semalam ke Sidrotul Muntaha adalah Isra Mi’roj, karena perjalanan dimulai dari Kabbah
menuju Baitul Maqdis yang disebut Isra. Dilanjut Allah SWT mengangkat Nabi
Muhammad SAW dari Baitul Maqdis melewati langit ke-7 menuju Sidratul Muntaha
yang disebut Mi’roj. Namun, jemaat Ahmadiyah menganggap peristiwa tersebut
dengan Mi’roj Isra, disebabkan Mi’raj terkandung dalam surat Al-Isra’
dan diturukan setelah 5 tahun kenabian. Sedangkan Isra’, terkandung dalam surat An-Najm
yang diturukan 12 tahun setelah kenabian. Maka dari itu, JAI menyakini harusnya Mi’raj
dulu baru Isra’.
Jemaat Ahmadiyah sendiri mempunyai warisan yang
sangat berharga bagi bangsa Indonesia. Sebut saja WR Soepratman. Siapa yang
tidak mengenalnya? Pasti tidak ada yang menyangka bahwa ia merupakan pengikut
jemaat Ahmadiyah. Berdasarkan keterangan yang ada dalam buku "Kenang-kenangan 10
Tahun Kabupaten Madiun" yang terbit tahun 1955, disebutkan bahwa WR Soepratman
ialah pengikut sekaligus pemeluk Muslim Ahmadiyah.
Jemaat Muslim Ahmadiyah tidak lepas dari kegiatan sosial. Setiap 3 bulan sekali, jemaat Ahmadiyah melakukan kegiatan donor darah. Di samping itu, mereka juga terlibat dalam donor mata. Kaum jemaat muslim Ahmadiyah yang masih hidup, mendaftar sebagai calon pendonor mata, yang nantinya didonorkan kepada kaum yang membutuhkan nanti setelah mereka [jemaat] meninggal. Bahkan, mereka sudah mengantongi rekor MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia) sebagai kelompok dengan pendonor mata terbanyak. Dilansir dari ahmadiyah.id.
Negara harusnya bisa menjadi penengah dari banyaknya aliran Islam yang ada. Mampu mempersatukan satu sama lain, bukan malah memihak pada salah satu aliran saja.
“Semoga makin bersinergi dan bersatu, Ahmadiyah makin berkembang dan dikenal masyarakat luas. Tidak ada deskriminasi lagi, tidak ada penghancuran masjid, dan bisa memeluk keyakinan sesuai keinginan,” harap Tahira.
***
Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.