Problema Pekerja Rumah Tangga
Opini oleh: Itsna
Salah satu jenis pekerjaan yang sangat akrab terdengar di telinga kita adalah buruh. Seseorang yang bekerja kepada orang lain dan mendapatkan upah atas pekerjaannya. Bisa dikatakan selagi kita masih bekerja di bawah seorang atasan, kita adalah buruh. Bicara tentang buruh, tiba-tiba terlintas di benak penulis tentang salah satu pekerjaan, yaitu Pekerja Rumah Tangga (PRT) atau ada juga yang menyebutnya sebagai Asisten Rumah Tangga (ART). Pekerjaan yang sering dijumpai di rumah orang yang sibuk. Mengapa demikian? Karena mereka terlalu sibuk untuk mengurusi urusan rumahnya sendiri, sehingga membutuhkan bantuan orang lain untuk mengurusnya.
Populasi PRT di Indonesia tergolong cukup banyak. Menurut survei yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO), jumlah PRT di Indonesia setidaknya berjumlah 4,2 juta orang. Jumlah yang banyak tersebut bukanlah tanpa sebab. Pekerjaan ini menjadi salah satu jenis pekerjaan yang mudah dimasuki. Tidak perlu tingkat pendidikan yang tinggi. Hanya perlu telaten, sabar, dan cekatan dalam melakukan pekerjaan. Meskipun begitu, profesi PRT tidak semudah yang dikira.
Lingkup pekerjaan PRT yang berada di sektor domestik membuat profesi ini sering diremehkan. Jenis pekerjaan yang dilakukan seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, merawat tanaman, merawat anak-anak, dan lain sebagainya. Pekerjaan yang sering dinilai tidak terlalu membutuhkan keterampilan khusus. Hal inilah yang kemudian menjadikan PRT, perempuan khususnya, diharuskan untuk menjadi paket komplit. Ia tak hanya dituntut untuk bisa bersih-bersih, tapi harus cakap dalam memasak dan merawat juga.
PRT juga tidak memiliki jam kerja yang jelas. Terlebih bagi PRT yang tinggal satu rumah dengan majikannya. Mereka harus siaga selama 24 jam. Laporan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat bahwa PRT yang menginap di rumah majikan sekaligus tempat kerjanya sering diperlakukan salah, karena harus bekerja lebih dari 40 jam per minggu. Hal tersebut tidak sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur batasan jam kerja, yaitu 40 jam dalam seminggu. Di mana, apabila melebihi waktu tersebut, maka bisa dianggap sebagai lembur.
Namun, apakah para PRT tersebut mendapatkan upah lembur yang menjadi haknya? Mungkin itu hanya berlaku bagi pekerja yang bersepatu. PRT tidak mengenal yang namanya lembur. Jam kerja yang tidak pasti itu membuat pendefinisian lembur menjadi tidak jelas. Akibatnya, tidak dikenal yang namanya upah lembur. Hal ini memang kurang menjadi perhatian PRT. Minimnya pengetahuan PRT bagi mereka, yang terpenting adalah gaji bisa dibayarkan pada waktu yang tepat.
Selain masalah jam kerja, PRT juga mengalami hal lain, yaitu terkait cuti. PRT memiliki jatah cuti yang tergolong minim. Jika pekerja kantoran bisa libur setiap akhir pekan dan tanggal merah, PRT tidak. Salah satu liburan yang mungkin didapat hanyalah libur hari raya. Atau, terkadang liburan ikut bosnya. Itu juga kalau diajak. Bahkan ketika sakit pun, mereka seringkali memaksakan diri untuk tetap bekerja.
Mereka juga tidak mengenal yang namanya cuti haid, cuti hamil, dan cuti melahirkan. Kemungkinan yang mereka tahu hanyalah ketika hamil dan melahirkan, mereka sudah tidak memiliki banyak waktu untuk bekerja penuh. Hingga akhirnya ada yang harus berhenti dari pekerjaannya.
Meskipun merasakan hal di atas, PRT tidak bisa memberontak. Adanya relasi kuasa antara pemberi kerja dengan pekerja, membuat PRT tidak berani untuk meminta lebih. Apalagi jika sudah membawa nama kekeluargaan. Tentu hal tersebut terdengar bagus. Artinya, mereka sudah dianggap sebagai keluarga. Namun, hal ini justru membuatnya merasa sungkan untuk meminta hak-haknya.
Seperti halnya yang dirasakan oleh Yuli Maheni, seorang PRT yang kini menjadi pendiri Serikat PRT Tunas Mulia DIY. Melansir dari konde.co, ia pernah terjebak dalam hubungan kekeluargaan tersebut. Masa kerja yang sudah bertahun-tahun membuatnya dipercaya oleh pemberi kerjanya. Meskipun begitu, saat ada hal yang ingin ia tuntut, seperti saat gaji yang dipotong ketika sakit, membuatnya harus berpikir panjang. Rasa sungkan juga muncul dalam dirinya. Memang, sungkan itu perlu. Namun jika lawannya bisa seenak hati, sikap tegas perlu dilakukan.
Beberapa kejadian yang telah disebutkan memang tidak dihadapi oleh semua PRT. Namun, bukan berarti kita boleh abai terhadap hal-hal tersebut. PRT merupakan kelompok yang lemah. Kekerasan, penindasan, dan pelecehan merupakan hal yang sering dirasakan. Perlindungan bagi PRT perlu untuk dilakukan. Sebenarnya, pada 21 Maret 2023 lalu, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi RUU inisiatif DPR. Hal ini menjadi angin segar bagi para PRT setelah penantian 19 tahun lamanya. Semoga saja, RUU PPRT ini bisa menjadi solusi untuk menangani permasalahan PRT yang ada di Indonesia saat ini.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.