Rangkul 4 Organisasi, KIJARU Adakan Festival Keadilan
(Foto: Cantrisah)
lpmalmillah.com - Jumat (28/7/2023), Komunitas Kiri Jalan Terus (KIJARU) mengadakan diskusi Festival Keadilan dengan tema "Potret Demokrasi dan HAM di Indonesia Pasca Reformasi" yang bertempat di Joglo Caffe, Patihan Wetan, Ponorogo pada pukul 15.26 WIB. Agenda ini diselenggarakan dengan empat organisasi sebagai kolaborator. Beberapa organisasi tersebut adalah PMII Cabang Ponorogo, HMI Cabang Ponorogo, IMM Cabang Ponorogo, dan Serikat Buruh Madiun Raya (SBMR).
Acara diawali dengan panggung musik yang berbentuk orasi dan lagu bergenre hip-hop. Beberapa lagu yang dipilih memang disengaja berlirik keadaan Indonesia pasca reformasi, yakni yang masih berkubang dalam lingkaran korupsi, perusakan Sumber Daya Alam (SDA), dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Tak berselang lama, agenda bergeser pada pemaparan materi oleh enam tokoh yang diundang. Di antaranya adalah Haris Azhar (Founder Lokataru), Fatia Maulidiyanti (Aktivis HAM), Made Supriatma (Peneliti ISEAS), Eko Prasetyo (Direktur SMI), Ayub Dwi Anggoro (Dekan FISIP UNMUH Ponorogo), dan Lukman Santoso Az (Dosen Hukum IAIN Ponorogo). Keenam tokoh tersebut masing-masing memaparkan materi sesuai tema yang diangkat dalam diskusi kali ini.
Salah satu topik yang diangkat pada diskusi kali ini adalah pelanggaran HAM. Seperti yang disampaikan oleh Haris Azhar, yaitu mengenai hak kebebasan berekspresi akademisi. Di mana kebebasan tersebut termasuk dalam kebebasan sipil dan politik dari empat jenis kebebasan yang masuk dalam ranah HAM.
Haris juga menyampaikan perihal kondisi lingkungan yang makin hari makin diperas dengan rakus oleh manusia, dan mahasiswa yang harusnya menjadi pelopor gerakan perubahan malah dibatasi. "Ketika kampus melarang [mahasiswa berekspresi dan diskusi atas pengujian ilmu pengetahuan mengenai lingkungan] dan mahasiswanya turun ke jalan juga dibantai, ditangkapi karena dia bersuara, itu membuktikan bahwa kebijakan yang indah tidak seperti yang dibayangkan," papar Haris.
Dewasa ini, kebebasan akademisi menjadi hal penting yang sering disangkutpautkan dengan tindak kriminalisasi yang berujung pada pembatasan dari kebebasan berekspresi tersebut. Hal ini menjadi sorotan Fatia atas banyaknya represi terhadap kebebasan berekspresi dari akademisi. Salah satunya adalah mengenai pemerintah yang memberikan tuntutan atas orang yang memiliki riset dan dianggap di luar dari lembaga riset yang diakui negara. "Yang namanya riset itu tidak boleh dipidanakan. Dan yang namanya riset, kita tidak perlu konfirmasi ke orang yang bersangkutan," terang Fatia.
Topik berlanjut pada kebebasan berekspresi akademisi lain yang menyoroti pada kebebasan berpendapat dan berpikir kritis pelajar dan mahasiswa. Tokoh pelajar dan mahasiswa yang tengah berada pada usia matangnya dalam mengeksplorasi diri, sedikit banyak dibatasi oleh kebijakan-kebijakan, baik dari pemerintah maupun dari pihak lembaga pendidikan sendiri.
Sebagai penutup, Guntur Iswandar yang merupakan salah satu peserta diskusi menyampaikan pendapatnya, bahwa tidak jarang sikap berpikir kritis memiliki dampak yang cukup berpengaruh pada pelajar atau mahasiswa dalam proses belajar mereka. Baik mendapat respons kurang baik, hingga fatalnya dikeluarkan dari sekolah atau kampus. Sehingga, dengan adanya fenomena tersebut maka tak sedikit pelajar atau mahasiswa yang memilih untuk menuruti sistem yang menurut Guntur menumpulkan berpikir kritis mereka, yakni Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) yang baru diterbitkan pada 2020 silam.
Reporter: Cantrisah, Lia
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.