Minimnya Kebebasan Pers Mahasiswa di Kampus Sendiri
Pers merupakan lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dalam bentuk apapun dengan menggunakan berbagai media yang tersedia. Namun, pers ada bukan hanya memegang peran memberikan informasi saja. Melainkan pers ada juga digunakan sebagai penegak nilai-nilai dasar demokrasi dan pengawasan terhadap segala hal yang menyangkut kepentingan umum.
Sehingga, adanya kebebasan pers menjadi bagian yang penting dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik. Bahkan, hal itu termuat pada Undang-Undang nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di mana, pada Undang-Undang itu disebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Melihat hal itu, membuat penulis bertanya, lantas apakah IAIN Ponorogo sebagai miniatur negara bisa dikatakan telah berprinsip demokrasi? Pasalnya, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) aL-Millah sebagai pers di lingkup kampus masih minim akan kebebasan pers. Hal itu terlihat jelas pada salah satu acara tahunan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK).
Bukan hanya sekali, kejadian pelarangan menggali dan mencari informasi dari LPM aL-Millah sering terjadi. Pada tahun ini terjadi ketika crew LPM aL-Millah hendak memasuki ruangan PBAK Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK). Alasannya adalah sebagai antisipasi adanya kerusuhan. Mereka membuat peraturan untuk pihak selain panitia dilarang masuk, tak terkecuali LPM aL-Millah. Namun, bukti fisik peraturan yang mereka koarkan sebagai pelarangan masuk tak bisa ditunjukkan.
Jika berbicara kerusuhan, padahal sebagai lembaga pers, LPM aL-Millah hanya akan mengamati keberlangsungan kegiatan untuk memperoleh data. Namun, dengan alasan yang sama mereka teguh melarang dan mengatakan akan memberikan waktu wawancara ketika acara selesai. Melihat hal itu membuat penulis semakin bertanya, apakah ada yang disembunyikan ketika pelaksanaan? Namun, katanya panitia sih tidak ada yang disembunyikan. Atau apakah mereka tidak ingin LPM aL-Millah melakukan penggalian data? Mungkin tidak, sebab seharusnya jika mereka paham kinerja suatu LPM, pelarangan itu tidak terjadi.
Sebab, suatu pers tidak hanya bekerja dengan mengandalkan data wawancara atau pernyataan narasumber saja. Melainkan data pengamatan secara langsung juga diperlukan untuk memperkuat kevalidan data. Namun, lagi-lagi penjelasan itu tertolak oleh panitia PBAK FTIK. Jika ini tetap berlangsung, lantas di mana letak demokrasi pada miniatur negara ini?
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.