Suara-Suara yang Dihiraukan
Cerpen oleh: Rokhim
Suara ayam jago terdengar masuk telingaku. Pagi pun telah tiba dengan menggugah semangat. Mataku masih tertutup, tapi aku mencoba untuk memaksa membukanya sambil sedikit berjalan menuju kamar mandi.
Bruaakk!
Suaranya terdengar sangat keras, aku pun seketika teriak, “Aduhhh….”.
Dengan rasa sakit yang membelenggu tubuhku, aku sedikit melirik. Oh, ternyata kakiku menabrak meja yang berada di depan kamarku. Melihat hal tersebut, aku hanya bisa sedikit senyum menertawakan diri.
Bersamaan dengan suara ‘bruaak’ tadi, terdengar suara Si Mbok berteriak. “Nyapo wi Leeee? (Kenapa, Nak?).”
“Ndak ada apa-apa, Mbok,” jawabku dengan sedikit menahan rasa sakit.
Si Mbok menggelengkan kepalanya melihat sikapku. “Nek mlaku ke alon-alon to, Leeee. Wong dalan gedhene sak mono moso gak ketok. (Kalau jalan hati-hati, Nak. Padahal jalannya lebarnya segitu, masa gak kelihatan),” ujarnya.
Aku hanya menggaruk kepalaku, sambil meringis. Antara menahan sakit dan malu. Kemudian, aku segera bergegas menuju ke kamar mandi dengan kesadaran penuh akibat menabrak meja depan kamarku. Ternyata, ada untungnya ternyata menabrak meja tadi.
Ting..ting..ting!
Pukul enam pun tiba, bunyi bel jam terdengar keras dari bilik air. Aku pun tetap tenang menanggapi bunyi bel itu. Padahal hari ini ada kegiatan PBAK di kampus yang dijuluki sebagai kampus hijau.
Selang beberapa menit, Robi, temanku, tiba menghampiri rumahku dengan sedikit wajah yang panik sambil berkata, “Ayo, segera! Keburu telat ini.”
Aku pun segera memakai seragam yang sudah diamanatkan oleh panitia PBAK. Segeralah aku menghampiri Robi yang berada di depan rumah sambil bertanya.
“Kenapa kok buru-buru, santai aja,” ujarku dengan raut muka yang tenang.
“Lho, kamu lupa ya? Kan nanti PBAK Universitas jadwal datangnya harus jam enam,” balas Robi.
“Lah, iya. Ayo,” balasku. Dengan wajah panik aku segera berangkat.
Suara angin kencang masuk ke kupingku. Robi mengendarai motor dengan kecepatan melebihi rata-rata. Beberapa kali suara bel motor sering dinyalakan oleh Robi, dengan maksud mengisyaratkan untuk memberikan jalan.
Tak lama, tibalah kami di kampus dengan segera kami memarkirkan motor. Melihat parkiran motor sepi orang, aku dan Robi langsung lari sekencang-kencangnya menuju lokasi PBAK Universitas yang berada di lapangan belakang kampus.
Sampai di dekat pintu masuk lapangan, aku sedikit kaget melihat acara yang belum mulai. “Lho, kok belum mulai?”
Aku bertanya kepada Robi “Lho, Bi katanya jam enam sudah mulai?”
“Halah biasa, Indonesia kan jam karet,” jawab Robi dengan sedikit tertawa.
Kami pun menuju ke lapangan itu dengan santainya. Di situ kami disuruh bergabung sama teman-teman lainnya dan melihat penampilan organisasi kampus yang diberi nama UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Di tengah penampilan UKM itu aku sempat berbicara pada Robi.
“Wah, ini nanti seru acaranya!” ucapku Dengan sangat gembiranya
Robi menjawab “Lha iya, kelihatannya seru sampai akhir.”
Waktu terus berjalan, matahari pun menepi ke arah tenggelamnya. Tibalah ke penampilan UKM terakhir. Kami sangat girang melihat penampilan UKM yang terakhir ini, yang mengadopsi kebudayaan di kampus hijau. UKM Seni Reyog-lah namanya. Penarinya sangat gemulai dengan menikmati lantunan lagu-lagu yang bernuansa kejawen.
Akhir penampilan UKM telah usai. Waktu sore tiba, lantunan-lantunan adzan pun telah berkumandang. Namun, mengapa acara masih belum usai? Aku menunggu dengan pikiran positif bahwa sebentar lagi acara akan usai. Namun, kunanti-nanti sampai pukul setengah lima sore, acara belum usai.
Tak lama, ada seorang mahasiswa baru sebagai peserta bersuara dengan lantang. “Woi, wes jam berapa iki?! Waktunya sholat!” teriaknya dengan nada tinggi.
Lalu, suara-suara dari mahasiswa baru lainnya menyusul, bersautan meminta acara selesai. Karena, waktu sudah menunjukan pukul setengah lima.
Namun, panitia tidak menghiraukan suara dari mahasiswa baru tersebut, hingga mendekati waktu maghrib. Sampai di situ, ada yang memberontak untuk keluar dari tempat acara itu. Ada juga yang berteriak kepada panitia untuk menyelesaikan acara. Di situ pun aku juga ikut menyuarakan hal serupa dengan ucapan mahasiswa baru itu.
“Udah gede mosok nggak tau waktu sholat!” Teriakku.
Panitia akhirnya mulai kewalahan dan mulai menanggapi teriakan-teriakan mahasiswa baru.
“Mohon tenang semuanya. Sebentar lagi ya, tinggal penyerahan simbolis terhadap mahasiswa baru,” ujar salah satu panita.
Dengan berat hati dan kecewa mahasiswa baru tersebut mengikuti perintah dari panitia. Beruntungnya penyerahan simbolis terhadap mahasiswa baru itu tidak memakan waktu yang lama, sehingga masih ada waktu sedikit untuk melaksanakan sholat ashar.
Akhirnya kami dari mahasiswa baru pulang dengan rasa kecewa terhadap jadwal yang semestinya selesai, tapi ternyata tidak. Akibatnya kami harus berburu waktu untuk menunaikan ibadah sholat ashar. Seharusnya sebagai panitia, mereka paham bahwa kampus hijau yang seluruh mahasiswanya memeluk agama Islam, tidak sepantasnya menghiraukan kewajiban agamanya. Apalagi mengenai sholat. Ahh, itu salah satu hal yang mengecewakan bagiku.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.