Bukan Sekadar Pertarungan Suara
Cerpen: Albhet
Hiruk pikuk aktifitas mahasiswa di kampus pergerakan terdengar
membara. Para calon pemimpin berteriak menggaungkan ide dan gagasan-gagasannya.
Poster tersebar di segala sudut ruang kampus bersama visi-misi terbaik mereka.
Joko, salah satu mahasiswa kampus itu turut berpartisipasi dalam dinamika politik
kampus, ia mengutarakan paslon pilihannya, memprovokasi para mahasiswa agar
memiliki pemahaman yang selaras dengan gagasan Galih, paslon dukungan Joko.
Sementara itu di tempat lain, Icha mengumpulkan para
mahasiswa untuk berdiskusi tentang gagasan yang akan diusung setelah ia
terpilih menjadi Presiden Mahasiswa (PRESMA). Ia memiliki pendapat bahwa
pemimpin merupakan alat eksekusi dari setiap cita-cita yang diperjuangkan oleh
mahasiswa, pemimpin seharusnya mampu untuk merealisasikannya. Icha juga menjelaskan
visi-misi yang akan dilaksanakan ketika dia berhasil menjadi Presiden
Mahasiswa.
Bagai di tengah kerumunan orang di swalayan, kampus yang
semula tenang kini menjadi ramai dipenuhi perbincangan hangat terkait pemilihan
Presiden Mahasiswa, banyak mahasiswa mencoba menerka siapa yang layak menjadi
Presiden Mahasiswa. Kubu Galih bersikukuh hanya Galih yang patut diperjuangkan
untuk menduduki kursi kepresidenan mahasiswa. Mereka mengganggap rancangan
program unggulan Galih untuk mengadakan konser setiap bulan sekali adalah hal
yang tepat di tengah kesibukan dan kepenatan mahasiswa akan proses literasi
akademik dalam kampus. Namun, pihak Icha menyayangkan gagasan utama dari Galih,
mengingat bahwa kampus merupakan ajang untuk menggali ilmu dan alat retorika
yang linier dengan dunia luar, sehingga selayaknya kampus digunakan untuk mengkaji
dan berdiskusi terkait isu-isu yang berkembang dalam masyarakat.
Joko pun memutuskan untuk mengambil langkah lebih
jauh. Dia mulai mengorganisir serangkaian acara yang menampilkan visi dan misi
Galih secara langsung kepada mahasiswa. Acara tersebut mencakup diskusi
terbuka, pertemuan tatap muka, dan bahkan konser musik untuk menarik lebih
banyak perhatian.
Sementara itu, Amer dan pendukung Icha lainnya tidak
tinggal diam. Mereka merespons dengan mengampanyekan pentingnya kesehatan
mental dan diskusi yang berkelanjutan. Mereka berpendapat bahwa pendekatan
Galih terhadap pendidikan terlalu santai dan tidak cukup mempersiapkan
mahasiswa untuk tantangan dunia nyata dan konser sebulan sekali hanya
menghamburkan uang.
Hari demi hari berlalu, polemik antar kubu semakin
memanas. Joko terus mengkampanyekan kubu Galih secara terus-menerus di setiap
lorong-lorong kampus. Begitu juga sebaliknya, kubu Icha terus mendengarkan
aspirasi mahasiswa dan melakukan diskusi secara masif sebagai perlawanan dari
kubu Galih. Perang dingin ini terus berlangsung selama berminggu-minggu, hingga
pada puncaknya terjadilah adu mulut antar pendukung masing-masing pihak.
“Memilih itu menggunakan rasio dan logika!” seruan Amer selaku pendukung Icha di depan Risa, salah
satu pendukung Galih.
Dengan pandangan mata mendelik, tak terima dengan
ucapan Amer, perempuan berkacamata itu meninggikan suaranya, “Buat apa
program diskusi setiap hari jika kesehatan mental sudah hilang? Apa yang kamu
perjuangkan?!” ucap Risa lantang mempertanyakan.
Dalam keadaan seperti ini, Joko merasa semakin tertantang untuk
memperjuangkan pilihan calon politiknya. Meskipun ide-ide Icha menarik bagi
sebagian mahasiswa, Joko tetap yakin bahwa Galih adalah sosok pemimpin yang
lebih cocok untuk membawa perubahan yang mereka butuhkan. Dia percaya bahwa
visi Galih tentang kampus sebagai pusat pembelajaran yang menyenangkan, lebih
relevan dengan kebutuhan psikologis masa depan mahasiswa.
“Hidup itu jangan dibikin susah, kalau ada yang seru, kenapa
harus monoton? Dalam hidup itu harus ada change. Dengan kita sehat secara
mental, kita akan mudah dalam memahami sebuah masalah,” ungkap Galih dalam
sesi kampanyenya.
Tak terima dengan ungkapan Galih yang seolah mengatakan pihak Icha tidak
peduli dengan kesehatan mental, Amer berdiri dan berjalan menuju podium. Ia
mengambil mikrofon dari tangan Galih.
“Dengan segala hormat, Galih,” kata Amer, “Kamu salah paham tentang apa yang kami perjuangkan.
Kami tidak menentang perubahan atau kesenangan. Kami hanya percaya bahwa
kesehatan mental adalah bagian penting dari pendidikan. Tanpa itu, semua
pengetahuan dan keterampilan yang kita peroleh tidak akan berarti!” Semua
mata tertuju pada Amer selaku pendukung Icha.
Merasa ini adalah panggung kampanyenya, Galih tak terima, ia
mendorong Amer seraya teriak penuh emosi “INI BUKAN PANGGUNGMU! SANA PERGI!”
Amer yang tak terima dengan ungkapan itu, ia menantang, “Ini kampus,
bukan milik bapakmu! Aku juga bayar!” suara Amer dengan nada cetus.
Tak terima dengan ungkapan Amer, Galih tersulut emosi hingga para
pendukungnya tidak terima dan langsung melakukan tindakan kekerasan berupa pengeroyokan.
Suasana menjadi tegang. Semua mata tertuju pada Amer. Ini adalah puncak dari
semua konflik dan perdebatan yang telah berlangsung selama ini.
“tiiit…tuuuttt…tiittt…tutttt!” Bunyi sirene keamanan kampus
datang setelah mendapatkan laporan dari mahasiswa lain untuk menghentikan serangan
pada Amer.
Melihat
sengitnya suasana kongres pada tahun ini, Rektor Universitas membuka sesi debat
antar calon Presma dengan disaksikan oleh dosen dan mahasiswa. Pada debat
pertama, Tim Galih memaparkan fokus isunya, yaitu mental health, diskusi
terbuka, dan boot leader. Pihak Icha memaparkan tiga fokus utamanya juga,
yakni public disscussion, skill upgrading, dan studi banding
antar BEM Universitas.
Seiring berjalannya waktu, momentum kampanye semakin meningkat.
Forum diskusi tersebut ternyata menjadi titik balik dalam kampanye. Mahasiswa
dari berbagai latar belakang mulai menyadari pentingnya mendengarkan pandangan
dari semua pihak sebelum membuat keputusan. Rektor merasa bangga bisa berperan
dalam menciptakan ruang bagi dialog yang konstruktif. Namun, semakin mendekati
hari pemilihan, ketegangan antara kedua kubu semakin terasa. Serangan balik dan
pernyataan tajam terus bermunculan dari kedua belah pihak.
Pada hari pemilihan, kampus dipenuhi dengan antusiasme dan
kegembiraan. Mahasiswa berkumpul untuk memberikan suara, menentukan siapa yang
akan menjadi pemimpin mereka selama satu periode mendatang. Suasana haru terasa
di udara, karena pentingnya momen ini bagi masa depan kampus.
Setelah proses pemungutan suara selesai, kampus hanya dipenuhi keheningan
yang tegang. Semua orang menunggu dengan cemas hasil penghitungan suara. Pada
akhirnya, saat pengumuman hasil pemilihan disampaikan, kampus amsal kembang api
yang disulut, dipenuhi sorak-sorai kegembiraan.
Galih berhasil terpilih sebagai Presiden Mahasiswa dengan dukungan
mayoritas suara. Sebuah momen bersejarah bagi kampus, di mana mahasiswa telah
memilih pemimpin yang mereka percaya akan membawa perubahan positif bagi masa
depan mereka.
Icha merasa bangga dan lega dengan hasilnya. Meskipun dirinya tidak menjadi pemenang, dia merasa puas telah berpartisipasi dalam proses demokrasi kampus dengan sikap oposisi dan konstruktif. Dia selalu ingat pada tulisan Pramoedya Ananta Toer di buku Bumi Manusia, “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”. Pun Icha yakin bahwa dengan Galih sebagai Presiden Mahasiswa, kampus akan menjadi tempat yang lebih baik untuk belajar dan berkembang bagi semua mahasiswa.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.