Sampah di Kampus Hijau, Tanggung Jawab Siapa?
(Foto: Cantrisah)
Opini: Aurel dan Nufika
Permasalahan sampah menjadi topik yang tidak ada
habisnya. Salah satu jenis sampah yang sering dijumpai adalah sampah plastik.
Ketergantungan kita terhadap plastik menjadi salah satu penyebabnya. Setiap
aktivitas yang kita lakukan tidak jauh dari penggunaan barang berbahan plastik.
Misalnya saat berbelanja makanan di kantin. Kebanyakan dari produk yang dijual juga
dikemas dengan bahan plastik. Ditambah lagi kantong plastik sebagai wadah
barang belanjaan. Jumlah sampah akan bertambah lagi.
Keberadaan sampah plastik akan sangat mengganggu jika dibiarkan
begitu saja tanpa pengolahan. Selain itu, keberadaannya akan biasa saja jika
berada di tempat yang tepat [tempat sampah]. Sayangnya, hal di atas tidak
berjalan dengan baik di kampus hijau, IAIN Ponorogo. Bisa kita lihat bahwa
masih banyak sampah yang tercecer di sembarang tempat. Di gazebo dekat kantin
kampus 2 misalnya. Bisa dijumpai sampah yang dibuang di kolong gazebo maupun
dibiarkan begitu saja di gazebo sendiri, karena ditinggalkan pemiliknya. Akhirnya,
mahasiswa lain yang ingin menggunakan gazebo terpaksa menghabiskan waktu di
sana bersama dengan sampah. Ada yang relate?
Kejadian di atas merupakan hal yang seharusnya tidak
dijumpai di kampus. Kampus yang merupakan tempat mengenyam pendidikan. Sebagai
tempat pembentuk agen pembawa perubahan (agent of change), sudah
seharusnya lebih bijak dalam mengatasi sampah. Lalu, apakah selama ini kampus
hanya diam saja dalam mengatasi permasalahan tersebut?
Upaya kampus dalam menyediakan tempat sampah
sebenarnya sudah terlaksana. Bahkan, kampus juga menyediakan TPS (Tempat Penampungan
Sementara) yang terletak di Ma’had Al-Jamiah Ulil Abshar sebagai tempat penampungan
sampah untuk sementara. TPS sampah ini juga terletak di kampus 2, tepatnya di
antara Gedung FUAD dan kantin. Namun, apakah hal di atas sudah cukup untuk
mengatakan bahwa IAIN Ponorogo telah konsen dalam pengurangan dan pengelolaan
sampah?
Jika dilihat lebih lanjut lagi, IAIN Ponorogo tidak
sepenuhnya memfungsikan TPS dengan maksimal. Sampah yang berada di TPS tetap
saja menumpuk, tanpa ada pengolahan lebih lanjut. Misalnya saja yang terjadi di
samping Gedung FUAD. Bahkan, keadaan tersebut menimbulkan ketidaknyamanan bagi
mahasiswa. Seperti yang dikatakan salah satu mahasiswa Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam (KPI), Sa’idah Adenia Salma Al-Hakim. “Tempat sampah
tersebut berada tak jauh dari kantin, dan ketika melihat tumpukan sampah dapat
mengurangi nilai kebersihan, estetika, dan kenyamanan kampus,” tuturnya.
Sampah memang tidak bisa dihilangkan secara langsung,
tapi keberadaannya bisa diminimalisir agar tidak meresahkan orang di
sekitarnya. Memang benar adanya bahwa kampus sudah berupaya untuk menguranginya.
Namun, mengurangi sampah dengan membakar juga bukanlah solusi yang bijak.
Pembakaran sampah pun akan sangat membahayakan, khususnya sampah plastik.
Pembakaran sampah plastik akan menghasilkan senyawa kimia dioksin atau zat yang
biasa digunakan sebagai herbisida atau racun tumbuhan. Dilansir dari artikel
Siloam Hospitalss (27/10/23), asap sampah juga dapat menyebabkan polusi udara
dan akan menyebabkan gangguan kesehatan, seperti kanker kulit atau kesehatan
lainnya.
Dengan melihat adanya bahaya yang dapat terjadi akibat
pembakaran sampah, sebagai kampus yang merupakan tempat pendidikan dengan
orang-orang pendidik dan terdidik, seharusnya bisa lebih tanggap dalam
menyelesaikan masalah tentang sampah. Khususnya, di lingkungan kampus kita
sendiri. Apakah kampus tidak mengetahui adanya bahaya tersebut? Atau kampus
mengetahui, tapi masih memilih abai? Barangkali saja iya.
Terdapat banyak cara yang bisa dilakukan untuk
mengolah sampah, khususnya sampah plastik. Misalnya dengan mengolahnya menjadi ecobrick.
Melansir dari zerowaste.id, ecobrick adalah botol plastik yang diisi padat dengan
limbah non-biological untuk membuat
blok bangunan yang dapat digunakan kembali. Ecobrick bisa digunakan
untuk membuat furnitur, perabotan indoor, dinding struktur, lebih jauh juga
bangunan seperti sekolah dan rumah. Proses pembuatannya pun cukup mudah
dipelajari. Dari hal tersebut, kampus bisa melakukan koordinasi dengan mahasiswa ataupun komunitas luar
yang memiliki perhatian terhadap sampah.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.