IAIN Ponorogo di Masa Mendatang: Sebuah Cermin Kecil
Opini: Munir
Kampus yang menetas dari embrio Akademi
Syari’ah Abdul Wahhab (ASA) yang didirikan pada tanggal 1 Februari 1968 atas
ide KH. Syamsuddin dan KH. Chozin Dawoedy, tentu digadang-gadang akan menjadi
pusat berkembangnya ilmu pengetahuan di wilayah Ponorogo dan sekitarnya.
Kiranya
cita-cita itu sedikit demi sedikit telah terwujud dengan ditandainya
transformasi pusat pendidikan tersebut hingga beberapa kali. Mulai Akademi
Syari’ah Abdul Wahhab (ASA) menuju Fakultas Syari’ah Ponorogo IAIN Sunan Ampel
(12 Mei 1970), kemudian menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) dan dinyatakan
tidak lagi menjadi bagian dari IAIN Sunan Ampel Surabaya (1970), kemudian menuju
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo (2016), dan terakhir akan menjadi
Universitas Negeri Islam (UIN) Kiai Ageng Muhammad Besari.
Bukan
perkara yang mudah untuk mempertahankan sebuah lembaga pendidikan yang mungkin
juga tidak lepas dari segala keterbatasannya. Namun di hadapan cita-cita yang
luhur, segala persoalan (pasti) kehilangan kegagahannya. Dan di tahun ini, di
umur yang telah mencapai 56 tahun, IAIN Ponorogo membuktikan bahwa ia masih
layak dan kuat untuk terus berkembang, hingga pada akhirnya terdengar kabar
bahwa tidak lama lagi akan beralih status menjadi UIN Kiai Ageng Muhammad
Besari.
Tentu
alih status menjadi UIN ini perlu disambut dengan baik, setidaknya bagi
mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di dalamnya. Namun kiranya kurang
lengkap jika sebagai mahasiswa hanya menyambut dengan applause dan
bangga diri, sebab ada satu pertanyaan yang mungkin sampai saat ini belum
terjawab: apa yang ditawarkan ketika sudah menjadi UIN?
Kebanyakan
dari kita juga telah tahu bahwa beberapa perguruan tinggi yang beralih status
selalu mempunyai daya tawar tersendiri, baik dari segi disiplin keilmuan maupun
tata kelola sistem. Sebut saja UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan Integrasi-Interkoneksi,
UIN Sunan Ampel Surabaya dengan Integrated Twin-Towers, UIN Malik
Ibrahim Malang dengan Pohon Ilmu, dan masih banyak lagi. Sedangkan UIN
Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo, menawarkan apa?
Perlu
diketahui bahwa nama “Kiai Ageng Muhammad Besari” bukan nama sembarangan. Ia
merupakan pendiri Pesantren Tegalsari pada tahun 1742 M, di mana C. K. Elout,
seorang jurnalis Belanda, dalam bukunya yang berjudul Indisch Dagboek menuliskan
bahwa Pesantren Tegalsari merupakan Oxford-nya Jawa. Sedangkan Martin van Bruinessen
berpendapat bahwa Pesantren Tegalsari merupakan pesantren tertua di Jawa.
Berdasarkan
dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Pesantren Tegalsari menjadi
spektrum utama dalam perkembangan agama Islam di Ponorogo pada waktu itu,
kemudian disusul Perdikan Sewulan dan Perdikan Banjarsari di Madiun. Sehingga
tidak mengherankan jika beberapa masyarakat, terutama dari kalangan pesantren,
kemudian ada yang menaruh harapan bahwa kelak UIN Kiai Ageng Muhammad Besari
bisa menerapkan sistem pengajaran berbasis pesantren.
Namun, kiranya kita perlu pelan-pelan melihat ini. Ada
pertanyaan yang perlu dijawab terlebih dulu sebelum masuk lebih dalam: Apakah
kajian terhadap Kiai Ageng Muhammad Besari atau Pesantren Tegalsari telah
dilakukan? Sampai mana? Saya pribadi, kok, skeptis. Jangan-jangan penggunaan
nama ini hanya untuk memenuhi administrasi dalam artian hanya formalitas belaka
untuk menunjukkan sebuah wilayah. Jika benar begitu adanya, innalillahi.
Tentu jikalau alih status ke UIN ini telah sah, tapi
perguruan tinggi ini masih menghamba kepada formalitas, tenaga pendidik yang selalu
sibuk mengurusi administrasi untuk mencairkan gaji, dan birokrasi yang gencar
membuat-memasang iklan besar-besaran bagai pedagang, maka perguruan tinggi ini
tidak ada bedanya dengan pasar yang lahir dengan premature: sebuah pasar
yang tidak punya barang untuk dijual, tapi iklannya di mana-mana.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.