Tanggapi Perjanjian Penguatan dan Perlindungan Persma, PPMI Nasional dan Dewan Pers Buka Diskusi Lanjutan
lpmalmillah.com - Sabtu (27/4/2024), Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional dan Dewan Pers mengadakan forum diskusi “Perlindungan terhadap Pers Mahasiswa” yang diisi oleh tiga pembicara, yakni Arif Zulkifli selaku Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Sholicah selaku Badan Pekerja Media PPMI Nasional, dan Noval Kusuma selaku Badan Pekerja Advokasi PPMI Dewan Kota (DK) Tulungagung. Kegiatan ini dilaksanakan secara daring via zoom dan dihadiri oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dari berbagai kampus di Indonesia.
Sebagai bentuk pernyataan sikap dan tindak lanjut atas perjanjian
kerja sama antara Dewan Pers dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi (Kemendikbudristek) tentang Penguatan dan Perlindungan Aktivitas
Jurnalistik Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi, forum ini ditujukan agar perlindungan
LPM dari penyempitan ruang demokrasi bisa terwujud, baik di lingkungan kampus
maupun di luar kampus. Latar belakangnya jelas karena ketiadaan regulasi khusus
yang melindungi kerja-kerja jurnalistik Pers Mahasiswa (Persma).
Hal tersebut bisa dilihat dari catatan PPMI pada periode 2020-2021,
yang menyatakan bahwa terdapat 185 kasus kekerasan dengan 12 jenis kasus yang
dialami oleh Persma. Birokrasi kampus tercatat sebagai pelaku kekerasan paling
dominan dengan 48 kasus. Sementara sisanya berasal dari berbagai latar
belakang, mulai dari mahasiswa, pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa atau Dewan
Perwakilan Mahasiswa, organisasi eksternal kampus, organisasi masyarakat,
hingga aparatur negara.
Meski disadari bahwa peranan Persma dihargai, tapi kekosongan dalam
kerangka hukum menimbulkan dilema yang cukup kompleks. Arif Zulkifli menyadari
jika perlindungan hukum bagi Persma sulit dan hal tersebut perlu segera
ditindaklanjuti. “Perlindungan hukum [Pers
Mahasiswa] yang tidak pasti menjadi isu yang mendesak untuk diperhatikan,”
ucap Arif.
Adanya perjanjian kerja sama yang baru diteken pada Senin (18/3/2024)
lalu, bisa menjadi harapan baru bagi LPM yang ada di Perguruan Tinggi. Arif memaparkan
bahwa regulasi tersebut memiliki peranan penting terkait perlindungan aktivitas
Persma yang memang rentan mengalami intimidasi. Ia menjelaskan bahwa perjanjian
tersebut mencakup dua hal utama, yakni peningkatan kompetensi dan penyelesaian
sengketa jurnalistik melalui Dewan Pers.
Kendati demikian, perlu diperhatikan juga bahwa Kementerian Pendidikan
bukanlah satu-satunya kementerian yang relevan dalam kasus yang berkaitan
dengan Perguruan Tinggi tersebut. Arif menegaskan perlunya kolaborasi lintas
sektoral dan keterlibatan pihak-pihak terkait lainnya untuk menciptakan
kerangka hukum yang kuat dan efektif dalam melindungi Persma di lingkungan
kampus. “Langkah-langkah lebih lanjut harus diambil untuk memastikan perlindungan
hukum yang komprehensif bagi Pers Mahasiswa di kampus,” ucap Arif.
Kekhawatiran lain muncul dari Anya, seorang anggota LPM Jumpa, yang
menyatakan bahwa belum adanya tindak lanjut atas Memorandum of Understanding
(MoU) tersebut menjadi peraturan menteri merupakan wujud keterlambatan
tersendiri bagi payung hukum Persma. “Apakah [proses] MoU tersebut akan
terus di-follow up oleh Dewan Pers dengan keterlambatan tersebut?” tanya
Anya di ujung pemaparannya.
Menanggapi hal tersebut, Arif menegaskan bahwa tugas mereka sebagai
Dewan Pers memang belum selesai. Menilik juga keadaan politik yang tengah
berada di fase peralihan, ia mengusulkan bahwa setelah menteri yang baru
terpilih, pihak Dewan Pers akan mencoba membuatnya menjadi peraturan menteri.
Sehingga, ke depannya bisa memiliki dampak hukum. “Setelah menteri yang baru
terpilih, kita akan mencoba untuk membuatnya menjadi peraturan menteri, yang nanti
akan ada dampak hukumnya,” terang Arif.
Keberimbangan hukum dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan
dengan Persma, menjadikan kampus sebagai pihak yang turut memiliki andil dalam
mengambil bagiannya sebagai lembaga pendidikan. Arif menegaskan bahwa dalam
menangani kasus-kasus yang ada, kampus tentu diharapkan kebijaksanaan perannya.
“Kampus diharapkan untuk mematuhi perjanjian kerja sama ini dalam menangani
kasus-kasus yang terjadi. Tidak boleh ada tindakan pembredelan terhadap Pers
Mahasiswa,” jelasnya.
Dalam misi mewujudkan penguatan dan perlindungan Persma, khususnya
ketika berurusan dengan hal-hal yang bisa berujung konflik, peranan Persma
sendiri dalam meminimalisir hal yang tidak diinginkan tentu juga dibutuhkan.
Arif mengingatkan agar Persma juga tetap berada di jalurnya dan terus meningkatkan
kapasitas yang dimiliki. “Pers Mahasiswa harus terus meningkatkan kapasitas,
pengetahuan etika, dan keterampilan liputan. Hal ini bertujuan untuk
menghindari konflik dengan pihak yang mungkin keberatan dengan hasil liputan,”
pesan Arif.
Hal yang selaras juga disampaikan oleh Noval Kusuma terkait peran
Persma dalam mengawal implementasi perjanjian kerja sama yang telah disepakati.
Ia berharap, keterlibatan yang lebih besar dari Persma juga terus bermunculan
dalam perumusan strategi perlindungan mereka. Sehingga, hal tersebut bisa
membuat regulasi yang telah disepakati dapat diterapkan lebih banyak. “Dengan
demikian, produk yang disepakati dapat diterapkan di kampus-kampus di seluruh
Indonesia,” pungkas Noval.
Reporter: Wika, Retno, Robi’ah
Penulis: Wika
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.