Komunitas Pers di Madiun Tolak RUU Penyiaran
(Foto: Munir) |
Serangkaian
kampanye penolakan dimulai pada Senin (20/5/2024) malam dengan diskusi dengan
tema RUU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers dan Konten Digital dengan narasumber
Arief Hidayat dari IJTI, Siswo Widodo dari PWI, Abdul Jalil dari AJI, dan Ayub
D Anggoro dari Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Acara ini tidak
hanya dihadiri oleh komunitas pers saja, melainkan juga masyarakat umum dan
beberapa influencer yang ada di Madiun.
Siswo
Widodo sangat menyayangkan bilamana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran ini disahkan. Sebab, di dalamnya memuat pasal yang mengekang kinerja
jurnalisme investigasi. Menurutnya, jurnalisme investigasi ini sangat penting
untuk kebutuhan masyarakat dan pastinya juga akan berpengaruh pada independensi
pers. “Jika investigasi ini dilarang, lantas untuk apa ilmu yang telah
diperoleh? Padahal uji kompetensi profesi yang dilalui oleh para jurnalis
bukanlah perkara yang mudah,” tutur Siswo.
Pendapat
yang selaras juga disampaikan oleh Arif Hidayat. Ia berpendapat bahwa tugas
dari jurnalis sebagai penyambung lidah mereka yang tertindas bisa saja dibatasi
akibat pasal yang problematik tersebut. “Tugas kita sebagai jurnalis adalah
membantu masyarakat melihat fakta dan membuat masyarakat bisa kritis melihat
situasi saat ini. Lalu apa jadinya bila kebebasan pers ini dibatasi?” ungkap
Arief.
Ayub
sendiri sebagai akademisi juga menyampaikan bahwa RUU Penyiaran ini harus
ditolak, karena ini sebuah upaya untuk melemahkan peran pers sebagai pilar keempat demokrasi. Jika pers melemah, maka kondisi ini akan dimanfaatkan oleh
pihak-pihak tertentu yang mempunyai kepentingan. Ia menolak adanya statement
bahwa peran akademisi dalam RUU Penyiaran ini perlu dipertanyakan. “Kasus
ini bukan hanya tanggung jawab jurnalis saja, melainkan semua pihak. Terlebih,
mekanisme uji publik hanya diperuntukkan kepada kalangan tertentu,” papar Ayub.
Selain adanya tumpang tindih
wewenang antara Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam
menyelesaikan sengketa pers, Abdul Jalil
dari perwakilan AJI menyampaikan, bahwa RUU Penyiaran ini juga bertentangan dengan kebebasan
berpendapat yang telah diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 23 Ayat
(2) dan Pasal 25 dan merambat pada pihak-pihak selain pers juga. “Kita juga harus
paham bahwa Undang-Undang ini nanti bukan hanya berlaku pada kami pekerja
berita, tetapi berpengaruh juga pada teman-teman konten kreator, youtuber, dan
pegiat sosial media lain,” imbuh Jalil.
Berikut
pasal-pasal problematik RUU Penyiaran yang bisa membuat kemerdekaan pers dan
kebebasan berekspresi dikekang.
a. Ancaman kebebasan pers lewat
larangan jurnalisme investigasi dan ambil alih wewenang Dewan Pers oleh KPI
(pasal 42 dan pasal 50b ayat 2c).
b. Kewenangan KPI untuk melakukan
penyensoran dan pembredelan konten di media sosial. Hal ini akan mengancam
kebebasan konten kreator maupun lembaga penyiaran yang mengunggah konten di
internet. Konten siaran di internet wajib patuh pada Standar Isi Siaran (SIS)
yang mengancam kebebasan pers dan melanggar prinsip-prinsip HAM (pasal-pasal 34
sampai 36).
c. Pembungkaman kebebasan berekspresi
lewat ancaman kabar bohong dan pencemaran nama baik (pasal 50b ayat 2k).
Mahkamah Konstitusi RI telah membatalkan pasal berita bohong yang menimbulkan
keonaran, pasal 14 dan pasal 15 pada UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 ayat
(1) tentang Pencemaran Nama Baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana pada 21 Maret 2024 lalu. Mengapa poin kabar bohong dan pencemaran nama
baik masuk kembali di RUU Penyiaran?
d. Melanggengkan kartel atau monopoli
kepemilikan lembaga penyiaran. Pada draf RUU Penyiaran ini menghapus pasal 18
dan 20 dari UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, di mana pasal-pasal ini membatasi
kepemilikan TV dan radio. Hilangnya pasal-pasal ini akan mempermulus penguasaan
TV dan Radio pada konglomerasi tertentu saja.
e. Pelanggaran HAM. Draf RUU Penyiaran
ini melarang tayangan yang menampilkan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual,
dan transgender (pasal 50b ayat 2g). Pasal ini selain diskriminatif, juga akan
menghambat beberapa ekspresi kesenian tradisional maupun modern baik di TV,
radio, maupun internet.
Diskusi
ini ditutup dengan kegiatan pembubuhan tanda tangan oleh setiap peserta diskusi
di kain putih yang telah disediakan sebagai bentuk penolakan. RUU Penyiaran ini
secara tidak langsung ingin menciptakan masyarakat yang tenteram dan mudah
dikontrol. Sehingga, gabungan jurnalis dan pengamat media di Madiun ini juga
mengajak kepada semua elemen masyarakat untuk menolak RUU Penyiaran yang masih
menjadi bahan diskusi di DPR RI.
Penulis: Munir
Reporter: Munir
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.