Perguruan Tinggi: Titik Awal Kemajuan dan Kehancuran Sebuah Negara
(Ilustrasi: Supriyanto/www.kompas.id) |
Opini: Munir
Izinkan saya membuka tulisan ini dengan sesuatu yang beberapa
bulan kemarin memenuhi beranda media sosial saya (mungkin juga pembaca
sekalian), yaitu narasi tentang Indonesia di masa mendatang atau Indonesia Emas
2045. Terlalu banyak yang telah memberikan gagasan terhadapnya, tapi saya tak
menemukan indikasi yang benar bisa membawa atau mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Itu semua tak lebih dari bualan semata, yang anak sekolah dasar pun juga bisa
membicarakannya.
Kiranya ada dua hal yang harus ada untuk mewujudkan
Indonesia Emas 2045. Pertama, pertahanan nasional. Pertahanan tidak bisa
diartikan hanya perang belaka, melainkan pertahanan pangan, kesehatan, dan lain
sebagainya. Saya tidak bisa menyebutkan salah satu contoh kegiatan, di mana
dalam kegiatan tersebut tidak membutuhkan stamina yang cukup, sehingga, bila
pertahanan hanya dimaknai perang, tentu yang mempunyai kewajiban untuk
mengangkat senjata adalah militer. Namun, apakah musuh akan selalu menyerang
lewat jalur perang? Saya kira tidak. Seorang ahli strategi akan mempelajari peta
musuh secara cermat, baik dari segi wilayah, kekuatan, hingga pertahanan.
Dewasa ini, banyak problem yang muncul dari dalam diri
kita sendiri. Telah banyak kasus bunuh diri yang terjadi, terutama di kalangan
mahasiswa. Jika ditanya apa penyebabnya, tentu saya tidak bisa menjawab secara
benar dan pasti, tapi saya hanya punya sedikit asumsi, bahwa salah satu
penyebab bunuh diri adalah kondisi mental yang kurang stabil, dan sayangnya,
mereka tidak bisa mengkondisikannya. Lantas apa penyebab kondisi mental yang
kurang stabil ini? Tentu ada banyak hal yang bisa menjadi latar belakangnya,
semisal ekonomi, asmara, hingga kondisi lingkungan yang kurang sehat.
Kedua, intelektual. Sungguh, Indonesia Emas 2045 sekadar igauan pemegang
kekuasaan apabila tidak adanya perkembangan intelektual di sini. Bonus
demografi tentu tidak ada artinya. Ibarat dua mata pisau: intelektual merupakan
titik awal kemajuan bagi sebuah negara, juga titik kemunduran bagi sebuah
negara yang tidak mempunyai intelektual yang cukup untuk mengimbangi negara
lain. Dan beberapa bulan yang lalu kita secara tidak langsung menonton
bagaimana negara ini merendahkan para pakar di negeri ini dengan cara
memposisikan para pakar (hanya) untuk mengambil nomor undian di debat
Capres-Cawapres.
Belum terlambat bagi Indonesia untuk meningkatkan
keintelektualan dan perguruan tinggi adalah salah satu lembaga yang bertugas
untuk memulainya. Setidaknya di awal tahun baru ini, birokrasi perguruan tinggi
harus sadar terhadap Indonesia di masa mendatang juga bonus demografi yang akan
dihadapi. Dan kiranya kita perlu belajar terhadap Edward W. Said, seorang
orientalis kelahiran Palestina ini, untuk menempatkan posisi intelektual di
posisi yang tepat, bukan hanya sekadar pajangan saja.
Bagaimana Perguruan Tinggi Mencetak Intelektual
Perguruan tinggi mempunyai peran penting untuk
menciptakan ekosistem keilmuan yang bersih dan melahirkan intelektual di negara
ini. Bukan berarti pendidikan di luar perguruan tinggi tidak penting atau
buruk, tidak. Pendidikan di luar perguruan tinggi juga bermanfaat untuk
meningkatkan dan membuat ekosistem keilmuan bagi mereka yang terpaksa tidak
bisa mencicipi bangku perguruan tinggi karena terhalang beberapa faktor seperti
halnya ekonomi.
Di lain sisi, yang sudah kita ketahui, Ki Hajar
Dewantara juga membuat Sekolah Liar, di mana Sekolah Liar ini bertujuan untuk
menghapus dosa-dosa yang dilakukan pemerintah terhadap pendidikan formal. Namun,
entah bagaimana nanti nasib seorang pelajar setelah lulus dari sekolah formal
ini, sekolah formal tetaplah penting.
Sedangkan perguruan tinggi dalam jalannya, diharuskan
selalu meninjau ulang kurikulum-kurikulum yang diterapkannya dengan harapan,
cita-cita yang dituju, yaitu melahirkan orang-orang yang berintelektual ini
bisa tercapai. Ya, meski kurikulum bukanlah sebagai tolok ukur untuk menilai
sebuah kualitas pendidikan, tapi setidaknya bisa menjadi salah satu jalan untuk
menciptakan pendidikan yang berkualitas dengan didukung mengikuti
perkembangan-perkembangan pengetahuan, baik skala nasional maupun internasional.
Seyogyanya, perguruan tinggi juga harus membiarkan
mahasiswanya untuk mempelajari semua bidang keilmuan selagi itu mempunyai
dampak yang positif, setidaknya untuk mahasiswa itu sendiri. Secara tidak
langsung, apabila perguruan tinggi membebaskan mahasiswanya untuk belajar
apapun, perguruan tinggi telah mencetak intelektual yang berkualitas. Tidak
sampai di situ saja, perguruan tinggi juga memberi fasilitas kepada mahasiswa,
baik secara materi maupun non materi.
Membicarakan pendidikan, tentu ada beberapa aspek yang
harus ada di dalamnya, salah satunya adalah adanya perpustakaan. Sebesar apa
pun perguruan tinggi dan semaju apa pun, jika tidak ada perpustakaan di
dalamnya, maka terlihat kurang sempurna, bahkan jatuhnya cacat. Perlu dicatat,
tidak semua mahasiswa yang berada di perguruan tinggi ini berangkat dari
kalangan orang yang mampu. Sehingga, adanya perpustakaan ini bisa membantu
mereka untuk mengakses buku tanpa harus membeli.
Bagaimana Perguruan Tinggi Membunuh Intelektual?
Selain mencetak intelektual, perguruan tinggi sangat
berpotensi untuk membunuh intelektual. Entah dengan cara yang nyata atau pun
tidak, cara yang bisa dilakukan pertama kali untuk membunuh intelektual adalah
dengan menutup akses menuju sebuah pengetahuan. Kemudian, disusul dengan tenaga
pendidik yang tidak memiliki kecakapan untuk membentuk intelektual serta
perannya.
Menutup akses menuju sebuah pengetahuan di sini
mempunyai makna tidak adanya dukungan kepada mahasiswa untuk menciptakan
ekosistem intelektual, seperti berpikir kritis, beragumentasi, diskusi, dan
lain sebagainya. Kondisi ini bisa diwujudkan secara sempurna dengan dukungan
tenaga pendidik yang dipaksa menyibukkan diri dengan administrasi sebagai
syarat pencairan gaji bulanan. Tentu tidak ada yang salah terkait pencairan
gaji. Itu merupakan hak tenaga pendidik yang harus dipenuhi oleh perguruan
tinggi. Tapi mbok ya tulung, biasa wae.
Tidak adanya ekosistem pengetahuan, akhirnya membuat
mahasiswa hanya memburu angka untuk memperindah kartu hasil studi, yang
sayangnya, kualitasnya masih perlu dipertanyakan. Tidak adanya ekosistem
pengetahuan juga bisa diartikan tidak adanya tradisi berdialektika. Sehingga,
akan banyak yang menganggap bahwa pendapatnya adalah yang paling benar. Tentu
ini adalah problem yang perlu ditangani, terlebih untuk perguruan tinggi.
Bagaimana perguruan tinggi membunuh intelektual? Ya,
dengan tidak memberi ruang kepada para pakar untuk menyampaikan gagasan-gagasan
keilmuannya dengan dalih senioritas dan dianggap menyimpang. Lebih lanjut,
perguruan tinggi hari ini memaksa mahasiswa dan tenaga pendidik untuk melakukan
riset atau menulis jurnal hanya untuk memenuhi kebutuhan akreditasi dan
kenaikan jabatan atau untuk meraih gelar. Sehingga, bisa disimpulkan bahwa
kualitas pendidikan di perguruan tinggi hari ini diukur dari seberapa banyak
karya ilmiah yang telah dijurnalkan, baik dalam skala nasional maupun internasional,
tanpa mempertimbangkan kualitasnya.
Pertanyaannya, apakah sekian banyak jurnal yang
dihasilkan bisa mengubah dunia atau perguruan tinggi tersebut? Tentu saja
tidak. Akhirnya perguruan tinggi hari ini menjelma sebuah monster yang
menakutkan, menghapus taman bermain dalam setiap ruang belajar dan menerapkan
biaya kuliah yang mahal. Dan gagalnya perguruan tinggi dalam menciptakan pakar
atau seorang intelektual merupakan titik awal kehancuran sebuah negara.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.