Timang-Timang MPI-ku Sayang
(Ilustrasi: Cantrisah/canva.edit.com) |
Opini: Nasihathullah
Bagi sebagian orang, mengenyam pendidikan
kuliah adalah sebuah impian, bahkan
keistimewaan yang tak semua orang dapat menikmatinya. Bagi sebagian lagi, menganggapnya sebagai ajang buang-buang waktu. Dua statement ini sering
kita dengar dalam berbagai konten ataupun obrolan sehari-hari. Lalu, apa
sebenarnya tujuan kuliah? Jawabannya,
silahkan teman-teman renungkan sendiri.
Menuntut ilmu di perguruan tinggi acapkali menjadi sarana bagi
sebagian orang untuk meningkatkan keahliannya. Sebab, di
bangku kampuslah pendidikan formal sudah mencapai jenjang maksimalnya. Tak ayal,
para mahasiswa yang telah menjadi sarjana juga digadang-gadang
sebagai seorang ahli dalam bidang yang ditekuninya.
Di kampus, kita mengenal
adanya jurusan sebagai lingkup paling kecil dari pembagian bidang keilmuan, sedangkan kumpulan dari beberapa jurusan dinamakan fakultas. Namun di tulisan ini, kita tidak akan membahas mengenai
fakultas-fakultas yang ada di kampus eksis IAIN Ponorogo, melainkan pada salah
satu jurusan yang ada di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK): Manajemen
Pendidikan Islam (MPI).
Mengapa harus MPI dan bukan jurusan lain yang dibahas? Bukankah
ada sembilan jurusan lain di FTIK yang cukup menarik untuk dibahas juga? Barangkali demikian yang teman-teman pikirkan.
Jawaban sederhananya, ya,
karena saya ingin membahasnya. Duh, bercyanda. Sebenarnya
bukan itu alasannya. Ringkasnya, akhir-akhir
ini saya mendapatkan beberapa fakta yang tak pernah saya sangka sebelumnya. Istilah kerennya: di luar
ekspektasi saya. Namun, agaknya akan
lebih enak kalau kita membahas tentang MPI di
kampus tercinta ini secara pelan-pelan dulu.
Manajemen Pendidikan Islam
Istilah Manajemen
Pendidikan Islam (MPI) merupakan istilah yang dipopulerkan pada sekitar tahun 2000an di Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam (PTKI). Bidang keilmuan ini muncul sebagai upaya untuk mencoba
mengimplementasikan manajemen industri ke dalam institusi pendidikan islam.
Jurusan MPI di IAIN Ponorogo
sendiri berdiri di saat kampus berjuluk research
university ini masih
berstatus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo. Tepatnya pada
tahun 2015, yang kala itu berbarengan dengan
jurusan
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Barulah pada tahun berikutnya,
STAIN Ponorogo resmi alih status menjadi IAIN Ponorogo. Terhitung di tahun 2024 ini, MPI akan
memasuki usianya yang ke-9 tahun.
Melihat sudah hampir satu
dekade, setidak-tidaknya sudah ada delapan sampai sembilan angkatan yang
lulus program sarjana jurusan MPI ini,
bukan? Lalu bila kembali mengacu pada penjelasan sebelumnya, keahlian apa saja
yang akhirnya dimiliki sarjana MPI? Bagaimana
profil kerja lulusannya? Mari kita bahas.
Di dalam jurusan MPI, kita akan diperkenalkan
dengan empat istilah keren yang
sekaligus merupakan kata kunci dari ilmu manajemen pendidikan islam: planning, organizing,
actuating, dan controlling (POAC). Istilah-istilah
tersebut akan sering sekali teman-teman temui bila berkuliah di jurusan yang telah terakreditasi unggul ini. Kata MPI jika merujuk pada salah satu buku Manajemen
Pendidikan Islam karya Suparjo Adi Suwarno,
memiliki pengertian sebuah konsep yang menerapkan prinsip-prinsip manajerial di
bidang pendidikan islam dengan memaksimalkan fungsi, metode, dan
prosedur manajerial yang berorientasi agar pendidikan islam dapat mencapai
tujuan yang selaras dengan tujuan pendidikan nasional.
Berdasarkan pengalaman saya yang kebetulan berkuliah di jurusan
ini. Mata kuliah yang diberikan memang lebih merujuk pada keahlian mengelola
lembaga pendidikan, misalnya saja ada mata kuliah manajemen kurikulum,
manajemen sarana prasarana, manajemen pembiayaan, manajemen strategi, manajemen
perpustakaan, otonomi pendidikan, supervisi akademik, dan masih banyak
lagi. Maka dengan begitu,
secara keilmuan formal, lulusan MPI bisa dikatakan memiliki bekal yang cukup untuk mengelola lembaga pendidikan.
Berlanjut
pada
profil lulusannya, profil utama
lulusan MPI adalah sebagai seorang tenaga kependidikan. Kemudian untuk profil tambahannya,
seperti event organizer di bidang educational
entrepreneurship, asisten peneliti pendidikan, dan asisten konsultan
pendidikan. Nah, selain beberapa yang sudah disebutkan di atas, sebenarnya ada
satu profesi yang sering digembor-gemborkan bahkan seperti melekat terhadap
mahasiswa jurusan MPI, yaitu menjadi manajer di lembaga pendidikan atau lebih
dikenal dengan sebutan kepala sekolah. Bagaimana tidak, hampir setiap dosen
yang mengajar memotivasi mahasiswa MPI bahwa kuliah di jurusan ini berarti
mempelajari kinerja seorang kepala sekolah istilah gampangnya “kalian adalah
calon kepala sekolah”. Nah, inilah salah satu alasan juga mengapa MPI yang kita bahas.
Sarjana MPI = Calon Kepala Sekolah (?)
Sebagaimana yang kita ketahui bersama,
bahwa kepala sekolah adalah jabatan yang penting di sebuah lembaga pendidikan.
Ada syarat yang perlu dipenuhi agar dapat menyandang amanat sebagai kepala
sekolah. Berdasarkan Permendikbud Ristek Nomor 40 Tahun
2021 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala
Sekolah
yang termaktub pada pasal 2 ayat 1. Secara khusus, terdapat hal yang menarik di pasal tersebut,
yaitu di poin b dan e. Mari kita bahas tipis-tipis.
“Memiliki sertifikat pendidik.” (poin b)
Dari kesembilan jurusan lain yang ada di FTIK, hanya
jurusan MPI-lah di dalam buku pedoman penyelenggaraan pendidikan ataupun di website
resmi MPI IAIN Ponorogo yang tak tercantum
profil lulusan sebagai seorang pendidik atau guru. Bukankah harusnya memang demikian? Ya, memang
orientasi lulusan MPI adalah sebagai tenaga kependidikan,
bukan guru. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Sayangnya, sebagaimana yang tercantum pada poin b, seorang calon kepala
sekolah adalah mereka yang telah tersertifikasi sebagai pendidik terlebih
dahulu. Hal tersebut selaras dengan poin e yang berbunyi, “Memiliki jenjang jabatan paling rendah guru ahli pertama bagi
pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).” Perlu
digarisbawahi juga, bahwa hal itu
tidak bisa didapatkan secara langsung, melainkan harus ada jenjang
kariernya
terlebih dahulu.
Menilik pada orientasi lulusan MPI yang bukan sebagai guru atau
pendidik, maka apakah otomatis para lulusannya juga tidak bisa menjadi kepala
sekolah? Sehingga,
menjadikan keilmuan yang telah dipelajari
menjadi sia-sia? Saya juga sempat berpikir
seperti itu. Namun, bukankah bisa diatasi dengan mengikuti Pendidikan Profesi Guru
(PPG) agar dapat mendapatkan sertifikat pendidik? Meski jawabannya adalah bisa, sayangnya hal itu hanya berlaku
hingga lulusan MPI tahun 2019 saja. Sebab, sarjana MPI diafirmasi sebagai guru
PAI. Sehingga, sarjana MPI yang lulus di atas tahun tersebut tidak bisa
mengikuti PPG.
Teman-teman bisa mengecek linieritas program studi PPG di website
PPG Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud). Baik itu bidang studi PGSD hingga paling akhir adalah sosiologi, tidak
ada sama sekali tercantum jurusan MPI. Hal
ini bisa saja mengindikasikan bahwa
lulusan MPI tidak bisa ikut PPG. Melihat realitas ini, agaknya cita-cita menjadi kepala sekolah bagi para lulusan MPI masih perlu direnungkan kembali. Di samping
syarat-syaratnya yang tidak cukup memenuhi,
orientasi MPI sendiri bukan sebagai pendidik. Jadi, harus bagaimana?
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.