Gen-Z, Judi Online, dan Sulitnya Mencari Pekerjaan
(Ilustrasi: Pinterest.com) |
lpmalmillah.com - Pemerintah optimis Indonesia akan berkembang dan tumbuh menjadi lebih baik lagi di tahun 2024 hingga tahun selanjutnya. Sayangnya hingga saat ini Indonesia masih dihadapkan berbagai risiko ketidakpastian global. Ekonomi global di tahun 2024–2025 diproyeksikan masih di bawah tren jangka panjang. Demikian halnya untuk inflasi, meskipun sempat mengalami penurunan, tapi masih dalam kondisi aman di hadapan inflasi global. Meski demikian, sejumlah capaian perekonomian Indonesia di tahun 2023 lalu telah menunjukkan kinerja ekonomi yang solid. Hal tersebut juga didukung oleh indikator utama makro ekonomi yang secara konsisten terus menunjukkan peningkatan. Capaian tersebut tentunya mampu membangun optimisme Indonesia untuk perekonomian yang lebih baik di tahun 2024.
Namun optimisme untuk perekonomian yang lebih baik perlu ditimbang kembali, terlebih ketika melihat angka pengangguran yang ada di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat masih ada 7,2 juta pengangguran di Indonesia hingga Februari 2024. Meski masih tinggi, tapi jumlahnya turun 790 ribu orang dari periode Februari 2023. Secara rinci, jumlah penduduk usia kerja di Indonesia mencapai 214 juta orang. Dari jumlah tersebut, yang tercatat sebagai angkatan kerja sebanyak 149,38 juta orang, sedangkan yang terserap atau bekerja hanya 142,18 juta orang. Kemudian, hampir 10 juta penduduk usia muda (15–24 tahun, Gen-Z) berstatus menganggur atau tanpa kegiatan (not in employment, education, and training/NEET). Berdasarkan data Litbang Kompas.id, Jumlah Gen-Z (lahir 1997 hingga 2012) yang menganggur ini mencapai 22,25 persen dari total penduduk usia 15–24 tahun secara nasional. Tentu ini bukan angka yang sedikit. Lantas apa penyebabnya? Judi online menjadi salah satu jawaban.
Kemajuan teknologi tak hanya menyebabkan banjir informasi saja, tapi lebih dari itu. Termasuk makin banyaknya situs-situs judi online yang terus bermunculan. Hal ini menjadi salah satu problem yang segera diselesaikan oleh pemegang kebijakan. Sebab dengan iklan-iklan yang beredar di banyak platform digital, menjadikan judi online sesuatu hal yang menarik untuk dicoba. Sedihnya, kondisi ini banyak dinikmati oleh kalangan Gen-Z, bahkan menciptakan kecanduan yang berlebih. Sehingga malas untuk bekerja.
***
Sedari awal, memang adanya judi online mempunyai potensi besar untuk menimbulkan permasalahan di kebanyakan orang. Baik dari segi ekonomi, mental, hingga perceraian. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada Januari 2023 dapat memberikan gambaran situasi penggunaan situs judi online di Indonesia. Dari hasil keseluruhan survei yang dilakukan, jumlah penduduk Indonesia yang aktif berjudi secara daring diperkirakan mencapai 15,5 juta orang. Angka ini tidak hanya dihuni oleh generasi muda saja, melainkan juga kalangan yang sudah berkeluarga.
Melansir dari Solopos.com, Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan bahwa jumlah pemain judi online di Indonesia saat ini sudah menembus 2,7 juta orang. Mirisnya, korban judi online itu didominasi oleh kaum muda berusia 17–20 tahun. Dari data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), total perputaran uang judi online sepanjang 2023 mencapai Rp 327 triliun. Angka tersebut hampir 10% dari nilai Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Hal tersebut menciptakan keresahan bagi banyak kalangan. Apalagi dari laporan yang diterima pemerintah, kebanyakan pemain judi online adalah masyarakat kecil. Dan lebih parahnya lagi, dilihat dari banyaknya kasus pengguna judi online adalah mereka yang sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak, bahkan para pelajar atau mahasiswa juga menjadi salah satu di antara banyaknya pengguna judi online.
Berbicara mengenai judi online, tidak sedikit dari mereka yang terjerat oleh hutang karena hartanya digunakan untuk bahan taruhan. Pasalnya kebanyakan dari mereka yang memainkan judi online adalah para warga yang ekonominya biasa-biasa saja. Banyak kasus-kasus rumah tangga seperti perceraian atau pertengkaran yang tengah menjamur karena judi online. Bukan hanya dari kalangan yang sudah berkeluarga saja, bahkan anak-anak yang notabene masih sekolah atau masih berstatus mahasiswa pun juga cukup banyak. Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sejak awal 2023 hingga saat ini total angka transaksi masyarakat Indonesia dalam judi online sudah mencapai angka Rp 200 triliun. Kemudian juga ditemukan mahasiswa yang terjerat pinjaman online juga menggadai aset orang tua demi bermain judi online. Hal tersebut jelas akan memberikan kerugian jangka panjang bagi pelajar maupun mahasiswa itu sendiri.
Makin maju perkembangan zaman, segala hal menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Termasuk judi online yang bisa dilakukan oleh siapapun dan di manapun, sebab untuk mengaksesnya tidak harus menggunakan laptop atau komputer, tapi bisa menggunakan gawai. Dan yang disayangkan, banyak pelaku yang tidak mempertimbangkan dampak buruk yang didapatkan. Terutama dari segi hukum pidana. Perlu diketahui bahwa penggunaan judi online jelas melanggar peraturan yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang pasal 27 ayat (2) UU 1/2024 yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.”
Dari pemaparan di atas dapat diartikan bahwa siapa pun yang melanggar, sangat berpotensi untuk dipidana paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 1/2024. Selain itu, berdasarkan pasal 303 KUHP, para pemain judi juga mendapat hukuman pidana paling lama 4 tahun atau denda dengan jumlah maksimal Rp 10 juta.
Lagi lagi tidak sedikit orang mempertimbangkan dampak buruk yang diterima. Di Indonesia sendiri, judi online menjadi salah satu faktor banyaknya penganggur. Mengandalkan kemenangan dari bermain judi online adalah salah satu bentuk. Mereka lebih memilih untuk mendapatkan keuntungan secara cepat dan instan daripada mencari pekerjaan dengan penghasilan tetap. Padahal jika memakai pikiran yang jernih, tak selamanya seseorang akan terus menerus mendapatkan keuntungan dari bermain judi. Bahkan banyak kerugian yang didapatkan ketika sudah kalah dalam taruhan, dan bahan yang digunakan untuk taruhan pun pasti juga akan habis sehingga membuat mereka mencari modal lagi untuk memenangkan permainan selanjutnya.
Terlebih, yang menjadi problem utama adalah ketika yang menikmati judi online adalah warga yang ekonominya biasa-biasa saja. Hal tersebut bisa saja memicu seseorang untuk melakukan tindak kejahatan seperti mencuri, menipu atau melakukan tindakan kriminal demi mendapatkan apa yang mereka inginkan. Selain itu, judi online juga dapat memicu seseorang untuk berhutang demi taruhan yang mereka lakukan. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang terlilit oleh utang piutang.
***
Dilihat dari segi psikologi, judi online mempunyai potensi yang besar untuk mengganggu kesehatan mental seperti rasa bingung dan frustasi akibat lilitan hutang yang menumpuk, kecanduan yang membuat sulit untuk berhenti bermain, jam yang berantakan atau tidak produktif. Tidak hanya itu, bahkan kasus bunuh diri akibat terlilit hutang juga tidak sedikit. Permasalahan mengenai banyaknya tingkat pengangguran di Indonesia saat ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Melihat kebanyakan yang menganggur adalah lulusan perguruan tinggi. Sedangkan peluang untuk mencari pekerjaan lebih sedikit jika dibandingkan dengan banyaknya jumlah lulusannya. Kita tidak bisa melulu menyalahkan Gen-Z dengan menilai bahwa Gen-Z saat ini malas untuk mencari pekerjaan.
Permasalahan mengenai banyaknya angka pengangguran di Indonesia saat ini tidak bisa dipandang sebelah mata, sebab hal ini juga bisa mempengaruhi jalannya perekonomian di Indonesia. Apalagi dari banyaknya angka pengangguran, dihuni oleh kalangan Gen-Z. Namun hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk men-judge bahwa Gen-Z memang sekumpulan pemuda yang tidak bisa melakukan apa-apa. Pertanyaannya, apakah Gen-Z memang seburuk itu dan mempunyai mental malas bekerja? Nanti dulu. Kita perlu pelan-pelan untuk menjawab pertanyaan itu.
Berdasarkan data olahan Litbang Kompas.Id, Pada Februari 2023, penganggur pada lulusan diploma (termasuk diploma IV) dan sarjana tercatat 11,8 persen. Angka ini meningkat dibandingkan Februari 2022 yang sebesar 9,9 persen. Per Agustus 2023, angkanya kembali meningkat menjadi 12,2 persen atau sebanyak 959.870 orang. Meningkatnya angka pengangguran pada kalangan terdidik ini terjadi tidak lepas karena disrupsi teknologi yang sangat berdampak pada pasar tenaga kerja. Sejumlah pekerjaan baru muncul, sebaliknya juga dapat menghilangkan sejumlah jenis pekerjaan. Sedangkan peluang untuk mendaftarnya pun juga terlalu sempit dan sulit.
Apalagi kondisi ini didukung oleh perguruan tinggi yang tidak bisa memberikan akses atau arahan terhadap mahasiswa ketika telah menyelesaikan studi. Kita bisa membayangkan, apabila dalam per tahunnya sebuah perguruan tinggi meluluskan mahasiswa dengan jumlah seribu, sedangkan angka lapang pekerjaan tak ada dari setengahnya, lantas apa yang dilakukan para fresh graduate ini? Tentu ini problem tersendiri yang harus ditangani oleh perguruan tinggi. Terlebih, tidak semua sertifikat magang bisa menjadi sebuah kunci ketika lulusan perguruan tinggi harus berhadapan dengan syarat berkerja harus sudah memiliki pengalaman.
Perguruan tinggi tidak terlalu cakap untuk memberi bekal mahasiswanya untuk ke jenjang berikutnya, yaitu dunia pekerjaan. Dalam bangku perkuliahan sendiri, perguruan tinggi hanya memaksa mahasiswa untuk berkutat dengan angka-angka kartu hasil studi, sehingga tidak ada kreativitas dan profesionalitas di sana. Maka, kemungkinan besar kondisi ini akan menciptakan rasa malas bahkan putus asa terhadap dunia pekerjaan. Dan tidak mengherankan jika ada ungkapan, “Apa itu kerja? Mending ngeslotlah!”
Kembali ke pembahasan awal, sedikit banyak bisa disimpulkan bahwa maraknya judi online, terutama di kalangan peserta didik, bukan sebuah kesalahan satu pihak. Namun banyak pihak. Gen-Z bukanlah makhluk pemalas seperti stigma yang disematkan, melainkan tidak ada kecocokan antara yang mereka kuasai dengan lapang pekerjaan yang ada di hadapannya. Sehingga ini menjadi problem yang segera diatasi oleh pemegang kebijakan, terutama untuk menumbuh-kembangkan ekonomi kreatif.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.