Pariwisata Gunung Beruk Mati, Pilih Abai atau Reaktivasi?
Opini: Albhet
Wisata alam menjadi destinasi asik mengisi sela-sela kekosongan,
keindahan alam seolah menjadi magnet untuk wisatawan selalu berkunjung. Biasa,
wisata alam mudah ditemui di pedesaan dengan ciri khas keautentikan serta experience kental. Salah satu ciri
menonjol antar wisata terletak pada posisi demografi alamnya, seperti demografi
dataran rendah yang condong menawarkan pantai sebagai wisata, hingga dataran
tinggi menawarkan gunung dan bukit sebagai wisata alam. Warga Desa
Karangpatihan, dalam proses penggalian potensi, menjantur Gunung Beruk sebagai
ekowisata yang menawarkan
keindahan view sekaligus trendy. Pengelolaan wisata menjadi suatu
hal yang penting untuk kemudian menggali potensi sumber daya. Lantas pada
kenyataannya, apakah sudah maksimal pengelolaan yang terjadi?
Meyakini keindahan serta peluang Gunung Beruk secara langsung, saya
percaya sebagai ekowisata tentunya memberikan dampak positif dalam kehidupan
masyarakat Desa Karangpatihan, menurut Awanda Rizki Ananta dalam skripsinya,
dampak positif ini terasa dalam pembangunan infrastruktur desa, sebagai contoh
masuknya listrik PLN dan perbaikan terhadap infrastruktur jalan. Namun roda
terus berputar, hingga tibalah masa ketenaran Gunung Beruk berakhir. Kini
Gunung Beruk sudah jarang dijadikan sebagai destinasi wisata, fasilitas Gunung
Beruk pun demikian telah menyatu dengan alam. Hampir rata.
Covid-19 menjadi salah satu faktor mangkraknya proses pengelolaan, juga
memberi dampak buruk terhadap ekonomi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
setempat. Banyaknya warung UMKM yang semula beredar di kaki wisata Gunung
Beruk, kini hanya tinggal beberapa warung saja, bahkan terkonfirmasi jika kini
hanya tinggal 2 warung UMKM yang berada di kaki Gunung Beruk. Hal ini
dikonfirmasi langsung oleh Teguh selaku ketua pengelola wisata Gunung Beruk.
Pemerintah Desa seharusnya menganggap serius permasalahan ini.
Permasalahan ini tidak hanya menyebabkan penurunan drastis minat pengunjung
terhadap program pariwisata Gunung Beruk, akan tetapi juga mengakibatkan
hilangnya pemasukan bagi warga Karangpatihan yang sebelumnya mengandalkan
pariwisata sebagai sumber penghidupan mereka. Selain itu, pemerintah desa
bersama dengan pengelola pariwisata seyogayanya bersinergi dan melakukan kajian
lebih masif tentang profil dan preferensi wisatawan potensial pasca Covid-19.
Memahami kembali trendy, target market, memperbanyak referensi,
serta menjalin MOU dengan berbagai pihak swasta sebagai ajang promosi
dan pengembangan ke arah yang lebih baik menyesuaikan dengan pola wisatawan. Kira-kira
langkah apa yang perlu terealisasikan?
Dalam sesi tanya-jawab yang dilakukan
dengan Pengelola Wisata Gunung Beruk, Teguh, menyinggung minat pengunjung pasca
Covid-19 kini tak lagi tertarik dengan dunia wisata, tapi kini mereka lebih
tertarik dengan kafe bernuansa modern. Pandangan penulis, Wisata Gunung Beruk
dapat memadukan gaya ciri khas minat pengunjung pasca Covid-19 dengan gaya
pariwisata sebelum Covid-19. Gaya pemikiran ini seharusnya dapat dijadikan
sebagai kritik guna membangun pariwisata, pengelola serta perangkat desa dapat
menawarkan kafe bernuansa modern dengan view alam
khas pegunungan, hal ini akan menjadi ikon dari sebuah pariwisata.
Kemudian, pemerintah desa juga perlu meningkatkan kapasitas dan
keterampilan pengelola wisata dalam manajemen pariwisata dan pembangunan
ekonomi lokal. Ini dapat dilakukan melalui pelatihan dan pengembangan yang
diselenggarakan oleh pemerintah desa atau dengan lembaga-lembaga pendidikan dan
pelatihan terkait. Kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai alat penggerak
wisata juga menjadi salah satu faktor mangkraknya destinasi wisata ini. Melihat
banyaknya masyarakat pengelola tergiur tawaran menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI),
Seperti yang disampaikan oleh Teguh selaku Ketua Pengelola wisata dalam sesi
wawancara yang berlangsung. Sedikit demi sedikit anggota Karang Taruna
sekaligus pengelola wisata Gunung Beruk meninggalkan desa. Kondisi tersebut
mengartikan jika telah terjadi pemudaran kesadaran akan potensi desa.
Kurangnya sumber daya manusia yang terjadi karena tergiur tawaran
menjadi TKI merupakan masalah serius yang merugikan pengelolaan destinasi
wisata seperti Gunung Beruk. Kepergian anggota Karang Taruna dan pengelola
wisata ini mengakibatkan roda pengelolaan berhenti, meninggalkan desa tanpa
arahan dan pemeliharaan yang diperlukan. Terlebih lagi, situasi ini diperparah
dengan Covid-19 yang membuat kesadaran akan potensi desa semakin pudar. Hal ini
menunjukkan perlunya langkah-langkah konkret untuk mendorong kesadaran akan
pentingnya pengelolaan wisata secara lokal, serta upaya untuk memperkuat sumber
daya manusia di tingkat desa agar tidak tergiur dengan tawaran yang tidak
berkelanjutan secara jangka panjang. Dengan demikian, pengelolaan destinasi
wisata seperti Gunung Beruk dapat dipulihkan dan dimanfaatkan secara
berkelanjutan demi kesejahteraan masyarakat setempat dan kelestarian lingkungan.
Reaktivasi sumber daya manusia tentunya menjadi tanggung jawab
semua unsur elemen masyarakat Desa Karangpatihan, pengaktifan kaderisasi ini
mendorong lahirnya perencanaan dan pelaksanaan program-program pariwisata,
mereka akan merasa memiliki dan bertanggung jawab atas keberhasilan pembangunan
pariwisata di desa mereka. Reaktivasi tentunya harus dibarengi dengan branding
yang sesuai pula. Mengembalikan nuansa ramainya Gunung Beruk, perlu kiranya
menggunakan teknologi informasi melalui berbagai media sosial untuk kemudian
memancing minat pengunjung. Dengan memanfaatkan platform digital seperti
Tiktok, Instagram, Youtube, dan media sosial booming lainnya.
Masalah saling berkaitan, mangkraknya pengelolaan di desa ini
berlanjut pada rusaknya sarana prasarana wisata hingga mengakibatkan butuh
surplus dana besar untuk membangkitkan kematian suri ini. Dalam konteks ini,
potensi ekowisata yang belum dimanfaatkan secara maksimal menambah kompleksitas
masalah tersebut. Tentunya diperlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat
lokal, dan pihak-pihak terkait untuk mengembangkan strategi yang tidak hanya
memperbaiki infrastruktur, tetapi juga memperkuat kesadaran akan keberlanjutan
lingkungan dan pemberdayaan ekonomi melalui potensi ekowisata. Dengan demikian,
upaya pemulihan dapat dilakukan secara berkelanjutan, menghasilkan manfaat
jangka panjang bagi masyarakat setempat dan lingkungan sekitar.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.