Quo Vadis Kesejahteraan Guru?
(Ilustrasi: Kompasiana.com) |
Opini: Rokhim
Pendidikan seringkali diperbincangkan dalam
acara-acara formal, tema yang sering diangkat salah satunya adalah mengenai
kualitas pendidikan itu sendiri. Kualitas pendidikan menjadi salah satu topik
utama dalam perbincangan akademisi. Tak heran banyak agenda-agenda pertemuan yang
sedang gencar-gencarnya membuat seminar dengan topik kualitas pendidikan.
Pendidikan merupakan suatu proses peningkatan
kemampuan peserta didik dalam ranah intelektual dan spiritualnya. Pendidikan
pasti akan membutuhkan pendidik dalam menjalankan tujuannya, yaitu guru.
Seorang guru sebagai ujung tombak utama pendidikan, yang diberikan tanggung
jawab atas profesinya untuk mencerdaskan insan di negeri ini. Ibaratkan guru
sebagai petani yang harus menanami sawahnya dengan benih-benih padi dan merawat
padi-padi itu.
Guru adalah seorang pendidik yang diberikan amanat dalam
mengemban profesinya untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Pun juga
digadang-gadang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, yang sering kali diartikan tidak
ada imbalan yang bisa setimpal atas jasa yang telah diberikannya. Menjadi guru
tidak mudah seperti apa yang kita bayangkan selama ini, tidak semudah membalikkan
telapak tangan kita saja. Melainkan ada begitu banyak tantangan yang harus
dilalui oleh seorang guru. Dari menyiapkan bahan ajar, menyiapkan media
pembelajaran, hingga tahap evaluasi dalam pembelajaran. Semua itu akan ditempuh
guru guna tercapainya tujuan pembelajaran.
Baru-baru ini, seringkali kita dengarkan persoalan
yang hangat dibincangkan tentang guru honorer. Mengutip dari KBBI, guru honorer
adalah guru yang tidak digaji sebagai guru tetap, tetapi menerima honorarium
berdasarkan jam pelajaran yang diberikan dari lembaga pendidikan itu sendiri. Hematnya,
guru honorer adalah guru yang belum diangkat menjadi PNS (Pegawai Negeri
Sipil), lalu tetap mendapatkan gaji dari instansinya.
Seringkali guru
honorer diperlakukan sebagai budak dalam pendidikan. Dipandang sebelah
mata, dan digaji di bawah rata-rata. Tidak hanya gaji saja, guru honorer acapkali
diberikan penugasan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Daerah 3T
meliputi daerah-daerah plosok atau kaki gunung dari kota, yang akses jalannya
sangat sulit dijangkau sekalipun dengan menggunakan kendaraan. Persoalan yang
demikian itulah menjadikan sebuah tantangan tersendiri bagi guru honorer.
Berbicara mengenai gaji guru honorer yang sangat
rendah, mengutip dari Kompas.com, tercatat bahwa gaji guru honorer
berkisaran Rp 285.000,00 per tahun 2023. Dengan rincian gaji honor Rp
238.000,00 dan tambahan menjadi wali kelas sebanyak Rp 47.000,00. Miris, bukan?
Setengah UMR saja belum tercapai. Bahkan buruh cuci pakaian saja bisa tertawa
melihat jenakanya kondisi ini.
Dengan gaji di bawah minimum ini, guru honorer
dituntut untuk mencari pekerjaan sampingan demi menyambung hidup. Akibatnya, kesejahteraan
guru honorer pun terancam pada kondisi ini, begitu banyak beban yang harus dipikulnya
dengan upah di bawah minimum. Padahal, pada pasal 14 ayat (1) bagian a Undang-Undang Nomor 14/2005
tentang Guru dan Dosen telah menyebutkan
bahwa, “Guru dan dosen berhak untuk memperoleh penghasilan di atas
kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial”.
Paparan UU di atas jelas bahwa setiap guru baik guru
honorer maupun PNS harus memperoleh penghasilan di atas kebutuhan minimum. Beda
dengan kondisi saat ini, guru honorer hanya digaji di bawah Rp 500.000,00. Sangat
disayangkan. Padahal kalau kita lihat, minimnya gaji seorang guru akan
berdampak pada kesejahteraan guru itu sendiri dan berakibat pada ketercapaian
tujuan dari pendidikan. Bulan lalu, ratusan guru honorer demontrasi di halaman
Gedung Pemda Lombok Timur, menuntut agar mencairkan THR yang sesuai dengan
peraturan PP No. 14 Tahun 2024 tentang pemberian THR.
Seyogyanya, pemerintahan harus merespons baik dari
beberapa permasalahan yang dialami oleh guru honorer ini, khususnya pada
Kemendikbudristek sebagai tokoh utama dalam pendidikan. Barangkali dengan memberi
perhatian lebih pada anggaran gaji para guru honorer dan memperketat lagi
pengawasan setiap anggaran yang masuk dalam lembaga pendidikan. Sehingga, bisa
meminimalisir adanya penyelewengan dana yang seharusnya tersampaikan untuk gaji
para guru honorer.
Harapan-harapan mengenai masa depan pendidik yang sejahtera tentu perlu terus digaungkan. Kesejahteraan pendidik yang masih sering dianak-tirikan, khususnya guru honorer yang ketimpangannya sangat kentara, bisa berdampak luas ke aspek-aspek lainnya. Terlebih, majunya pendidikan itu salah satunya juga tergantung pada siapa yang mendidik dan bagaimana caranya memberdayakan pendidik tersebut.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.