Hari Pertama Arga dan Makan Siang Gratisnya
(Ilustrasi: Pinterest.com) |
Arga terbangun dengan perasaan campur aduk. Degup jantungnya
berdebar kencang, diiringi rasa gugup dan antusiasme yang sama kuatnya. Hari
ini adalah hari pertama PBAK, awal dari petualangan barunya sebagai mahasiswa.
Ia melirik jam di dinding, pukul 06.30 WIB. Apel pagi dijadwalkan pukul 06.00
WIB. Sudah terlambat 30 menit dan Arga harus bergegas.
Arga buru-buru mandi dan berpakaian. Ia tergesa-gesa, tapi tetap
berusaha untuk rapi dan bersemangat. Ia keluar dari kamar kost dan menuju
lapangan apel. Sesampainya di sana, ia melihat ratusan mahasiswa baru lainnya
sudah berbaris rapi. Arga terlambat.
“Maaf, Kak!” Arga berlari terengah-engah menuju barisan paling
belakang. Panitia yang bertugas mengawasi langsung menegurnya dengan nada keras.
“Kenapa kamu telat?! Apa alasanmu?”
“Maaf, Kak. S-saya terlambat bangun,” jawab Arga dengan suara
terbata.
“Terlambat bangun? Ini PBAK, bukan tempat buat malas-malas! Sebagai
hukumannya, kamu baris sendiri di sebelah sana terus nyanyi lagu Indonesia Raya
di depan teman-temanmu yang telat itu!”
Arga terdiam. Ia merasa malu dan tidak percaya diri dengan hukuman
yang diberikan. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima. Dengan
jantung berdebar kencang, ia berdiri di depan barisan mahasiswa baru, menatap
ratusan pasang mata yang menyorotinya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai
menyanyikan lagu kebangsaan dengan suara yang sedikit gemetar.
Setelah hukuman selesai, Arga kembali ke barisan. Ia merasa lelah
dan jenuh. PBAK baru dimulai, tapi ia sudah merasakan kejenuhan. Acara demi
acara berlangsung dengan monoton. Ceramah panjang tentang sejarah kampus,
peraturan kampus, dan organisasi mahasiswa membuat Arga mengantuk. Ia mencoba
untuk fokus, tapi pikirannya melayang ke mana-mana.
“Kapan ini selesai?” gumam Arga dalam hati. Ia melirik jam
tangannya. Sudah pukul 11.30 WIB. Perutnya mulai keroncongan. Ia belum sarapan
karena terburu-buru ingin sampai di kampus, agar keterlambatannya tidak makin
siang.
“Eh, Arga, kamu mau makan siang ga? Aku udah laper banget ini,”
tanya Rian, teman yang akan menjadi teman satu kelasnya.
“Mau banget, Ri. Perutku udah kayak drum, berisik banget.” Arga
menanggapi pertanyaan temannya sambil mengelus perutnya dari balik baju batik kuningnya.
“Di sini ada bazar makanan. Tapi, katanya maba dapat makan siang gratis
kok. Kita tunggu aja deh,” jawab Rian.
Arga mengangguk. Ia berharap makan siang gratis itu benar-benar
ada. Namun, harapannya pupus ketika panitia mengumumkan bahwa makan siang tidak
disediakan dan bagi mahasiswa baru yang lapar disuruh membeli makanan di bazar
yang disediakan. Karena lapar yang tak tertahankan, Arga dan Rian akhirnya
melangkahkan kaki untuk antri membeli makanan di bazar.
“Ini mahal banget, anjir. Harganya lebih mahal dari biasanya,”
keluh Arga.
“Ya, gimana lagi? Udah kelaparan juga ini,” jawab Rian.
Arga menghela napas. Ia merasa PBAK ini sangat melelahkan, baik
secara fisik maupun mental. Ia merindukan suasana rumah, tempat ia bisa
bersantai dan menikmati makanan buatan ibunya.
Arga kembali ke tempat duduknya. Ia merasa kecewa dengan PBAK hari
ini. Ia berharap acara ini lebih interaktif dan menyenangkan. Ia juga berharap
panitia lebih memperhatikan kebutuhan mahasiswa baru, seperti menyediakan makan
siang.
Semoga besok lebih baik!
Arga bergumam dalam hati. Ia memunculkan harapan PBAK besok akan
lebih seru dan menyenangkan dan tentunya ia tidak terlambat mengikuti apel pagi
lagi. Ah, rasanya memalukan jika harus solo concert di depan mahasiswa
baru lainnya.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.