Iklan Layanan

Cuplikan

Memimpikan Dunia Pendidikan yang Sehat di Kampus

(Ilustrasi: Didie SW-Kompas.id)

Opini: Munir

Pendidikan kita sudah beberapa tahun mengalami penurunan. Para pakar tak lebih seperti properti pelengkap untuk jalannya lembaga pendidikan. Nahasnya, kondisi ini didukung dengan sistem pendidikan yang feodal, kultur akademik yang toksik, dan gila gelar guru besar. Bagaimana kalau guru besar atau profesor-profesor hasil dari praktik culas ini diganti dengan hokage-hokage dari Desa Konoha yang kualitasnya telah lulus uji kompetensi Standar Nasional Indonesia (SNI)? Kiranya bakal menarik.

Tentu beberapa kasus yang muncul dari dunia pendidikan kita bakal menimbulkan pertanyaan terkait kualitas pendidikan itu sendiri. Sedangkan kita juga tahu bahwa pendidikan menjadi salah satu kunci untuk hari depan yang cemerlang. Sayangnya, pendidikan kita hari ini sedang kehilangan marwah dan agaknya juga kehilangan arah. Birokrat kampus lebih gemar melakukan persekongkolan dengan para elit yang gila gelar dan jabatan, daripada memberi fasilitas kepada dosen dan mahasiswa.

Pertanyaannya, dengan kondisi kampus yang sedang mengalami penurunan dari segi kualitas, apakah kita masih perlu optimis menyambut visi Indonesia Emas 2045? Kiranya tidak. Indonesia Emas tak lebih sebagai bualan yang dilontarkan oleh politikus. Indonesia Emas tak lebih seperti mimpi yang nyaris mustahil terwujud lagi utopis ketika SDM kita masih seperti ini; ketika kampus kehilangan nalar dan moral; ketika kampus melanggengkan kultur senioritas dan toksik; ketika kampus meninabobokan para intelektual.

Pendidikan yang Mencerdaskan

Berangkat dari mukaddimah UUD 1945, “... untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia ...”, maka pendidikan menjadi salah satu pondasi yang harus dibangun dengan kokoh. Sangat mustahil bila suatu negara mempunyai kesejahteraan yang cukup atau mempunyai martabat manusia yang baik atau bahkan mengalami kemajuan yang sangat pesat, tapi tidak mempunyai sistem pendidikan yang mencerdaskan.

Berdasarkan sejarah panjang Indonesia, kita memiliki banyak contoh untuk memperkokoh sistem pendidikan. Bukan berarti kembali ke masa lalu, tidak sama sekali. Apa-apa yang berasal dari masa lalu atau sejarah bisa dijadikan pintu atau pijakan untuk menuju hari depan yang cemerlang. Sebut saja ada Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara (1922) dan INS (Indonesisch Nederlandsche School) Kayutanam yang didirikan oleh Engku Mohammad Syafei (1926). Kedua lembaga pendidikan tersebut menanamkan jiwa kemerdekaan, terlebih bagi pribadi siswanya. 

Dengan arti lain, bahwa pendidikan Indonesia tentu harus memiliki kekhasannya sendiri sebagai nilai tambah, bukan pembatas. Kita perlu mengingat bagaimana Polemik Kebudayaan (1935) berjalan begitu sengit. Banyak tokoh yang saling adu gagasan terkait masa depan Indonesia. Akankah berkiblat kepada Barat atau Timur, atau tidak menjadi keduanya. Ki Hajar Dewantara menengahi perdebatan itu dengan sebuah penawaran bahwa Indonesia tidak perlu berkiblat kepada Barat maupun Timur, melainkan kepada Indonesia itu sendiri.

Maka, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak hanya untuk menambah atau meningkatkan pengetahuan saja, tapi lebih dari itu, mampu membentuk sebuah karakter, moral, dan etika yang bisa diterapkan di manapun tempatnya. Seperti yang dikatakan Tan Malaka, tujuan dari pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkokoh kemauan, serta memperhalus perasaan.

Kembali kepada mukaddimah UUD 1945. Demi mewujudkan cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tentu perlu adanya keterikatan atau keterhubungan untuk mewujudkan sebuah gagasan. Sehingga membuat kebijakan sangat dibutuhkan. Terutama dalam lembaga itu sendiri, seperti halnya antara birokrat kampus, civitas akademik, dan mahasiswa.

Dalam laju zaman yang terus berkembang, fasilitas untuk menunjang perkembangan pengetahuan sangat dibutuhkan. Kampus tidak hanya sebuah wadah untuk berkumpulnya para ilmuwan dan menerima mahasiswa lalu meluluskan tanpa peduli setelah lulus akan jadi apa. Lebih dari itu, di kalangan masyarakat, kampus telah menjadi patron dan sumber informasi. Tak hanya itu, kebebasan berpendapat juga menjadi kunci untuk menghasilkan pembaharuan-pembaharuan, baik dari segi sistem maupun model pengajaran dan pengetahuan.

Penghapusan Kultur Toksik di Kampus

Perlu diingat pula, kampus harus mendukung penuh kepada siapapun yang ada di dalam lembaga tersebut, terutama jaminan terhadap kebebasan berekspresi. Sudah semestinya para tenaga pendidik atau dosen diberi kebebasan untuk menentukan dan menerapkan model pengajaran yang dirasa cocok untuk meningkatkan kecerdasan mahasiswanya. Begitu pula mahasiswa, seharusnya mereka dibebaskan untuk mempelajari apapun. Tidak perlu diberi batasan-batasan, misalkan mahasiswa keguruan boleh belajar ekonomi atau mahasiswa sejarah boleh mempelajari ilmu komunikasi.

Terlepas dari sistem akademik yang bebas dari pengekangan, lingkungan atau pergaulan yang sehat juga sangat dibutuhkan. Kultur yang buruk perlu segera dihapuskan. Seperti yang diungkapkan Taufiqurrahman dalam tulisannya di Kompas.id, hari ini banyak kampus mengawetkan sistem feodal peninggalan  kolonial. Kultur feodal yang sudah mengakar kuat dalam dunia kampus ini melahirkan satu kultur lainnya yang sama-sama toksik, yaitu kultur seremonial, sehingga abai terhadap hal-hal yang bersifat substansial. Maka untuk menciptakan dunia pendidikan yang sehat dan mencerdaskan, kultur-kultur yang buruk ini perlu dihilangkan.


No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.