Meneroka Paradigma Keilmuan UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Beberapa IAIN akan
beralih status menjadi UIN, salah satunya adalah IAIN Ponorogo. Pada saat
pembahasan alih status dari IAIN ke UIN, sekitar tahun 2022, bertempat di salah
satu hotel syariah di Solo, ibu Rektor dan bapak Warek I menyepakati
menggunakan nama UIN Ponorogo saja, tanpa ada embel-embel nama tokoh di
belakangnya sebagaimana UIN-UIN yang ada. Keduanya membangun argumen dengan
mengambil contoh nama-nama perguruan tinggi yang ada di luar negeri, yang
katanya tanpa nama tokoh, dan di dalam negeri terdapat satu UIN yang tidak
menggunakan nama tokoh seperti UIN Salatiga.
Terhadap nama UIN
Ponorogo yang hampir disepakati oleh forum itu, saya mengusulkan tetap
menggunakan nama tokoh lokal karena visi dan misi Kementerian Agama RI dan
tentu saja IAIN Ponorogo sendiri senantiasa memunculkan unsur lokalitas,
seperti dialog Islam dengan budaya lokal, dan seringkali memunculkan pemikiran
tokoh lokal yang berpengaruh dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia.
Sejalan dengan itu, saya mengusulkan nama Kiai Ageng Muhammad Besari, salah
satu Kiai berpengaruh yang membabat Islam di Ponorogo, untuk menjadi simbol
lokalitas nama UIN menjadi UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo.
Alih status kelembagaan
ini sebagai sebuah keniscayaan dan ia sangat penting dilihat dari tiga sisi:
kelembagaan, kepentingan masyarakat, dan bangunan epistemologi keilmuan. Nilai
akreditasi perguruan tinggi akan semakin meningkat ketika IAIN beralih status
menjadi UIN. UIN yang boleh membuka fakultas dan prodi umum memberi kesempatan
yang luas kepada masyarakat lokal yang ingin melanjutkan studinya ke prodi umum
yang selama ini hanya ada di perguruan tinggi umum seperti UGM, UI, dan
sebagainya, dan berada di Ibukota Propinsi. Apalagi, mereka selalu gagal masuk
perguruan tinggi umum itu karena persaingannya sangat ketat. Lebih-lebih,
mereka yang ikut berkompetisi itu adalah lulusan pondok pesantren yang tentu
saja kemampuan ilmu umumnya lebih lemah daripada ilmu agamanya. Sementara
peserta saingannya berasal dari sekolah-sekolah umum yang tentu saja kemampuan
ilmu umumnya lebih kuat dari mereka yang berasal dari pondok pesantren atau
sekolah agama. Biaya masuk di UIN relatif terjangkau oleh masyarakat menengah
ke bawah.
Karena itulah, IAIN
Ponorogo yang berada jauh dari ibu kota propinsi Jawa Timur ini penting berubah
menjadi UIN. Harapan meningkatnya peserta didik yang masuk ke UIN akan terbuka
lebar, karena Ponorogo berada di daerah yang jauh dari perguran tinggi yang menjadi
kompetitornya. Ponorogo berada jauh dari ibukota propinsi Surabaya, Semarang,
dan Yogyakarta. Ponorogo juga jauh dari UIN Satu Tulungagung dan IAIN Kediri.
Ponorogo berada di tengah-tengah antara kabupaten Pacitan, Trenggalek,
Wonogiri, Madiun, Ngawi, dan Nganjuk. Dari segi jarak, tentu saja
kabupaten-kabupaten itu lebih dekat ke Ponorogo daripada ke ibu kota propinsi,
Tulungagung dan Kediri.
Alih status perguruan
tinggi yang memberi mandat yang lebih luas kepada UIN untuk membuka fakultas
dan prodi umum secara otomatis memengaruhi pergeseran paradigma keilmuan yang
menjadi penyangganya, dari paradigma keilmuan yang menjadi penyangga IAIN ke
paradigma keilmuan yang menjadi penyangga UIN sebagaimana bisa kita lihat pada
UIN-UIN lain. Bagaimana paradigma keilmuan yang sejatinya digunakan jika IAIN
Ponorogo beralih status menjadi UIN? Sebagai bentuk apresiasi atas proses alih
status itu, saya coba meneroka (menawarkan) sebuah gagasan paradigma keilmuan
UIN Kiai Ageng Muhammad Besari dengan fokus pada tiga hal: pertama,
korelasi alih status dan paradigma keilmuan; kedua, paradigma keilmuan
integralistik; ketiga, workshop dan FGD.
Alih
Status dan Pergeseran Paradigma Keilmuan
Penting dicatat, ada
perbedaan pandangan antara manusia religius dengan manusia non-religius.
Manusia religius memandang dunia secara dikotomis, sebaliknya manusia
non-religius memandang dunia secara tunggal. Menurut manusia religius, dunia
terbagi menjadi dua kategori, yakni dunia yang sakral dan dunia yang profan,
sedang manusia non-religius memandang hanya ada satu kategori dunia, yakni
dunia profan. Yang dimaksud dunia di sini adalah kategori ruang dan waktu.
Dunia yang sakral adalah suatu ruang dan waktu dimana Tuhan di asumsikan “ada”
di dalamnya, dan manusia berhubungan dengan Tuhan, seperti ka’bah, masjid,
musala, kuburan para ulama’; bulan ramadan, hari jum’at, dan waktu tengah
malam. Sedang yang profan adalah dunia murni yang diasumsikan tidak “ada” Tuhan
di dalamnya, dan manusia samasekali tidak berhubungan dengan Tuhan sebagaimana
tempat-tempat pada umumnya, seperti jalan, lapangan, sawah dan sebagainya;
serta bulan-bulan, hari-hari dan waktu pada umumnya.
Di Indonesia, mayoritas manusia bersifat
religius, sehingga mereka memandang dunia secara dikotomis. Pandangan dunia
yang dikotomis itu tentu saja memengaruhi mereka dalam memandang ilmu
pengetahuan, sehingga lahir ilmu agama dan ilmu umum (non-Agama). Ilmu agama
khusus berkaitan dengan persoalan-persoalan yang sakral yang ada korelasinya
dengan Tuhan dan akhirat, sedang ilmu umum lebih luas untuk persoalan-persoalan
yang profan yang berkorelasi dengan kehidupan manusia di dunia ini. Pandangan
yang dikotomis terhadap ilmu pengetahuan itu kemudian dijustifikasi dengan
berdirinya dua lembaga pendidikan, yakni lembaga pendidikan umum yang mempunyai
prodi-prodi umum saja, dan lembaga pendidikan agama yang hanya mempunyai
prodi-prodi agama, kecuali lembaga yang disebut belakang berbentuk Institut dan
Universitas.
Atas dasar itu,
selama kita mewakili manusia religius, selama itu pula, dikotomi dunia, ilmu
dan lembaga pendidikan akan tetap ada. Hal itu wajar-wajar saja dan tidak ada
masalah pada dirinya. Masalahnya adalah, apakah kedua dunia, ilmu dan lembaga
pendidikan itu berjalan beriringan, sehingga bisa maju bareng dan gagal bareng
dalam mengarungi bahtera dunia ini? Ternyata tidak. Lembaga pendidikan umum
kenyataannya lebih maju daripada lembaga pendidikan agama. Alasannya sederhana,
karena pemerintah harus menyediakan lapangan pekerjaan yang menjadi kebutuhan
mayoritas manusia untuk menjalani hidupnya di dunia ini, dan lapangan pekerjaan
non-agama lebih dibutuhkan daripada lapangan pekerjaan yang berkaitan dengan
agama.
Sejalan dengan itu,
masyarakat lebih banyak yang berbondong-bondong memasuki lembaga pendidikan
umum daripada lembaga pendidikan agama, dan tentu saja perhatian pemerintah
terhadap pendidikan umum melebihi perhatiannya terhadap lembaga pendidikan
agama. Bahkan bisa dikatakan, lembaga pendidikan umum terkesan “dianakemaskan”,
sebaliknya lembaga pendidikan agama terkesan “dianaktirikan”. Baik dari segi
fasilitas, maupun lapangan pekerjaan yang disediakan. Atas dasar itu, wajar
jika lembaga pendidikan umum lebih maju daripada lembaga pendidikan agama.
Akan tetapi, saat
ini, Pemerintah, melalui Kementerian Agama RI memberikan kesempataan kepada
lembaga pendidikan agama untuk mengejar ketertinggalan itu dengan
mentransformasi lembaga pendidikan agama dari STAIN ke IAIN dan UIN.
Transformasi kelembagaan ini menandai dua hal. Pertama, jika STAIN hanya
membuka prodi agama, IAIN mulai membuka prodi umum, maka UIN membuka fakultas
dan prodi umum. Kedua, proyek integrasi keilmuan. Dari sini bisa dipahami
bahwa, transformasi kelembagaan berhubungan erat dengan transformasi paradigma
keilmuan Islam. Perubahan dari STAIN ke IAIN dan UIN berarti pula perubahaan
paradigma keilmuan, dari paradigma keilmuan yang monolitik-dikotomis ke
paradigma keilmuan yang integratif dengan berbagai polanya.
Meminjam bahasanya
Kuntowijoyo, pada tingkat STAIN, ilmu pengetahuan yang masih monolitik berjalan
involutif, bergerak ke dalam, atau dari teks ke teks, sehingga ia tidak meching
dengan konteks. Akibatnya, ia ditinggalkan oleh gerak zaman yang desruptif ini.
Mengetahui dunia keilmuan luar berjalan begitu dinamis, sebagian dari mereka
memunculkan proyek islamisasi keilmuan yang bergerak dari konteks ke teks,
dimana gerakan ilmu pengetahuan umum (konteks) harus disesuaikan dengan ilmu
agama (teks). Kuntowijoyo sebaliknya mengharapkan, gerak ilmu agama bermula
dari teks ke konteks. Dua yang pertama bersifat mistifikasi, sedang yang ketiga
disebut demistifikasi. Dia menawarkan paradigma keilmuan integralistik. Masing-
masing IAIN dan UIN menggunakan pola paradigma integrasi keilmuan yang berbeda,
tetapi mempunyai semangat yang sama, yakni semangat integrasi.
Paradigma
Keilmuan Integralistik
Jika
ditelusuri lebih lanjut, paradigma keilmuan integralistik yang masing-masing
ditawarkan UIN-UIN itu sebenarnya juga bersifat dikotomis. Mereka tidak menolak
dikotomisasi keilmuan. Dan hal itu wajar mengingat sebagaimana disinggung di
awal, selama kita sebagai manusia religius, selama itu pula, dikotomi dunia dan
keilmuan tetap ada, dan harus ada. Hanya saja, mereka mengintegrasikan kedua
disiplimuan itu, agar keilmuan agama bisa membawa kemajuan bagi umat Islam sebagaimana
kemajuan yang diakibatkan oleh ilmu-ilmu umum.
Sebagai kelanjutan
dari berbagai paradigma keilmuan integralistik yang ditawarkan UIN-UIN dengan
berbagai polanya, saya menawarkan paradigma keilmuan
integralistik-antroposentris-transformatif. Kendati mengakui dikotomi ilmu
sebagaimana sarjana muslim Indonesia pada umumnya, saya memahami “dikotomi”
ilmu secara berbeda. Jika pada umumnya para pemikir mendikotomi ilmu menjadi
ilmu umum dan ilmu agama, saya mendikotomi ilmu menjadi ilmu ilahi dan ilmu basyari
(manusia). Ilmu ilahi bisa disebut agama dan ia bersifat tunggal, sedang ilmu
basyari adalah pengetahuan manusia tentang suatu obyek, dan karena objek
pengetahuanya beragam maka ilmu manusia juga beragam. Jika obyeknya adalah
alam, ia disebut ilmu alam; jika obyeknya adalah manusia, ia disebut ilmu
sosial-budaya (sosial-humanaiora); dan jika obyeknya adalah agama, ia disebut
ilmu agama.
Kedua ilmu itu
berbeda, tetapi tidak bertentangan. Ilmu ilahi berposisi sebagai sumber
kebenaran, sedang ilmu basyari sebagai alat menggali kebenaran dari sumbernya.
Karena itu, kedua ilmu itu akan berjalan secara harmonis dan dialogis, dan sama
sekali tidak akan terjadi pertentangan antara keduanya. Yang mungkin terjadi
pertentangan adalah antara disiplin keilmuan manusia (ilmu basyari)
sendiri. Disiplin ilmu alam bisa bertentangan dengan disiplin ilmu
sosial-budaya dan ilmu agama. Bahkan, pertentangan tidak hanya melibatkan
disiplin keilmuan yang berbeda yakni antara keilmuan alam, sosial-budaya dan
ilmu agama, tetapi juga antara intern disiplin keilmuan manusia sendiri,
karena satu disiplin keilmuan mempunyai mazhabnya sendiri-sendiri. Di dalam
disiplin ilmu sosial, ada banyak mazhab, begitu juga di dalam disiplin ilmu
alam dan ilmu agama.
Akan tetapi, semua
disiplin keilmuan manusia itu bisa dipertemukan (diintegrasikan) dalam bentuk
integrasi keilmuan. Integrasi dalam konteks keilmuan itu sejatinya dimaknai
“interaksi”. Dalam interaksi, masing-masing disiplin keilmuan tetap memiliki
otonomi dan kekuatan khasnya sendiri-sendiri. Interaksi juga bisa mengambil
bentuk: menjadikan disiplin keilmuan umum sebagai pijakan memaknai ilmu-ilmu
keislaman, seperti menggunakan hermeneutika dalam memahami al-Qur’an sehingga
dapat menemukan pesan Islam yang bersifat manusiawi. Juga bisa menjadikan
ilmu-ilmu keislaman sebagai pijakan memahami ilmu-ilmu umum sehingga ilmu-ilmu
umum tidak melepaskan diri dari spiritualitas agama. Interaksi semacam itu akan
memberikan manfaat bagi kemanusiaan manusia. Tujuan itu akan dicapai dengan
mengarahkan epistemologi Islam pada manusia. Di sinilah muncul istilah
antroposentris.
Dimensi
antroposentris atau humanistiknya terletak pada prinsip bahwa baik ilmu ilahi
(agama) maupun ilmu basyari sejatinya hadir demi kepentingan manusia, baik
dalam konteks membangun relasinya dengan Tuhan sebagai manusia beragama maupun
dalam konteks membangun relasinya dengan alam dan manusia sebagai makhluk
sosial. Dimensi antroposemtris ini tidak lain karena beragama sejatinya adalah
hak asasi manusia. Islam adalah agama yang datang dari Tuhan demi kepentingan
manusia. Karena itu, pertama-tama, agama sejatinya bersifat manusiawi, baru
kemudian manusia dituntut untuk beragama.
Agar tidak hanya
sekedar wacana, paradigma keilmuan seperti ini sejatinya ditansformasikan, baik
melalui karya penelitian maupun melalui lembaga pendidikan. Di situlah, UIN
menyediakan tempat bagi transformasi paradigma keilmuan yang integralistik itu.
Jadi, UIN tidak hanya menjadi tempat bertemunya ilmu-ilmu umum dan ilmu agama,
tetapi juga menjadi tempat transformasi kedua disiplin keilmuan itu. Hal ini
berkaitan dengan turunan dari paradigma keilmuan integralistik yang sejatinya
mewarnai esensi dan eksistensi UIN baik terkait visi, misi, pembukaan fakultas,
prodi maupun penyusunan kurikulum dan luarannya.
Bagaimana
argumennya?
Penting dicatat, para
ilmuwan secara umum membagi ilmu manusia menjadi tiga kategori: Pertama,
ilmu-ilmu kealaman (natural science). Ilmu- ilmu kealaman (natural
science) merupakan ilmu-ilmu yang mempelajari fenomena-fenomena alam
semesta dengan segala isinya. Yang termasuk ke dalam natural science adalah
ilmu-ilmu dasar (basic science), yang lazim juga disebut dengan
ilmu-ilmu murni (pure science), seperti biologi, kimia, fisika, dan
astronomi dengan berbagai cabangnya. Derivasi dari basic science adalah applied
science atau ilmu-ilmu terapan, yakni farmasi, kedokteran, pertanian,
kedokteran gigi, optometri, ilmu kelautan, ilmu pertambangan, ilmu teknik, ilmu
informatika dan sebagainya.
Kedua, ilmu-ilmu sosial (social
science) yang meliputi sosiologi, psikologi, sejarah dan antropologi.
Keempat ilmu sosial ini termasuk ke dalam kategori ilmu murni, lalu berkembang
menjadi ilmu terapan seperti ekonomi, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu
politik, ilmu administrasi, ilmu komunikasi dan sebagainya. Ketiga, ilmu
humaniora (humanities science) dengan cabang-cabangnya sebagaimana dua jenis
keilmuan lainnya seperti filsafat, bahasa, sastra dan seni.
Di sisi lain, ilmu ilahi
yang dalam hal ini mengambil bentuk agama Islam dalam pengertian umum istilah
itu bisa dilihat dari dua sisi: normatif dan historis. Yang normatif adalah
pesan-pesan asasi Islam yang termuat dalam al-Qur’an dan hadis, sedang yang
historis berkaitan dengan kreatifitas manusia dalam menggali pesan asasi
keduanya. Hassan Hanafi merinci tradisi keilmuan Islam historis kreasi para
pemikir muslim klasik itu menjadi tiga kategori: pertama, ilmu-ilmu
normatif-rasional, seperti ushuluddin, ushul fiqh, filsafat dan tasawuf; kedua,
ilmu-ilmu rasional murni, seperti matematika, astronomi, fisika, kimia,
kedokteran dan farmasi; ketiga, ilmu-ilmu normatif murni, seperti ulum
al-Qur’an, ulum hadis, sirah nabi, fiqh, dan tafsir.
Selama kedua disiplin
keilmuan umum dan agama saling dihadapkan secara diametral maka tidak akan
terjadi perdamaian. Sejatinya kita menyadari bahwa selain mempunyai perbedaan,
keduanya juga mempunyai kesamaan sehingga terbuka peluang keduanya untuk
dipertemukan atau diinteraksikan.
Di antara perbedaan
keduanya adalah terkait dengan sumber, mind-set, sikap dan ranah kajian.
Agama bersumber pada Tuhan, Ilmu bersumber pada manusia; mind-set dasar
agama adalah kepercayaan dan pasrah pada otoritas Tuhan, mind-set dasar ilmu
bersifat skeptis dan percaya pada otoritas pemahaman akal; agama bersikap
tertutup dari perubahan dan pandangan-pandangan baru, sebaliknya ilmu bersikap
terbuka terhadap pandangan-pandangan baru; dan ranah kajian agama adalah
misteri-misteri alam beserta makna-makna pengalaman di luar pengalaman inderawi
manusia, sedang ranah kajian ilmu adalah fakta-fakta empiris dari misteri alam
dan pengalaman-pengalaman inderawi manusia. Sedang kemungkinan terjadinya
relasi ilmu dan agama adalah karena adanya kesamaan problem yang dihadapi agama
dan ilmu, baik di tingkat internal keduanya maupun pada tingkat global.
Oleh karena keduanya
mempunyai perbedaan dan kesamaan, keduanya tidak boleh saling dihadap-hadapkan.
Justru karena adanya perbedaan dan kesamaan itulah, keduanya bisa saling
membantu. Ilmu bisa membantu agama merevitalisasi diri dengan beberapa argumen:
pertama, kesadaran kritis dan sikap kritis ilmu bisa berguna untuk
mengelupaskan sisi-sisi ilusi agama dengan tujuan untuk menemukan hal-hal yang
esensial dari agama; kedua, kemampuan logis dan kehati-hatian tradisi
ilmiah dalam pengambilan kesimpulan membantu kita menilai secara kritis segala
bentuk tafsir baru terhadap agama yang kini makin hiruk pikuk dan
membingungkan; ketiga, lewat temuan-temuan barunya, ilmu dapat
merangsang agama untuk senantiasa tanggap memikirkan ulang
keyakinan-keyakinannya secara baru sehingga agama mengalami perkembangan dan
tidak stagnan; keempat, temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi
dapat memberi peluang baru bagi agama untuk makin mewujudkan
idealisme-idealismenya menjadi sesuatu yang kongkret sehingga menyentuh
kemanusiaan manusia secara umum.
Begitu juga agama
dapat membantu ilmu agar tetap manusiawi, dan selalu menyadari
persoalan-persoalan kongkret yang dihadapinya. Pertama, agama selalu
mengingatkan bahwa ilmu bukan satu-satunya jalan menuju kebenaran dan makna
terdalam manusia. Dalam dunia manusia, ada realitas pengalaman batin yang
membentuk makna dan nilai, yang hanya bisa disentuh oleh agama; kedua,
agama juga selalu mengingatkan ilmu dan teknologi untuk senantiasa membela
nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan; ketiga, agama membantu manusia
untuk menjelajahi wilayah kemungkinan-kemungkinan adikodrati atau supranatural
yang berada di luar pengalaman inderawi manusia; keempat, agama selalu
menjaga sikap mental agar tidak mudah terjerumus ke dalam realitas
pragmentasi-instrumental yang menganggap sesuatu dianggap bernilai sejauh jelas
manfaatnya dan bisa diperalat untuk kepentingan manusia.
Workshop
dan FGD
Sekilas bisa
disimpulkan, ada hubungan timbal balik antara lembaga pendidikan dengan
paradigma keilmuan. Perkembangan lembaga pendidikan berjalan lurus dengan
perkembangan paradigma keilmuannya. Ketika lembaga pendidikan bertransformasi
dari STAIN ke IAIN lalu ke UIN, begitu juga paradigma keilmuan bertransformasi
dari dikotomi ilmu ke integrasi ilmu. Integrasi ilmu yang lebih utuh ada pada
tingkat UIN, di mana sudah mulai dibuka fakultas dan prodi umum, dan
dirumuskannya paradigma keilmuan yang integralistik dengan berbagai pola.
Paradigma keilmuan seperti ini bisa diturunkan pada visi, misi, tujuan dan
sasaran; desain atau muatan kurikululum: profil lulusan, matakuliah dan SKS;
dan Tridharma Perguruan Tinggi: pendidikan dan pengajaran, pengabdian dan
penelitian, baik penelitian program strata satu, magister maupun doktor.
Sebagai tindak lanjut
dari pemberian basis paradigma keilmuan integralistik pada UIN Kiai Ageng
Muhammad Besari Ponorogo, diperlukan workshop dan FGD bagi para sivitas
akademika, bukan hanya untuk merumuskan dan memahami paradigma keilmuan yang digunakan
sebagai penyangga lembaganya, tetapi juga untuk merumuskan turunan-turunan dari
paradigma keilmuan itu. Begitu juga perlu workshop dan FGD untuk mengubah mind-set
para dosen agar mereka berfikir dan mengajar dalam mind-set UIN, bukan mind-set
IAIN apalagi STAIN.
Workshop dan FGD
Paradigma Keilmuan UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo setidaknya
difokuskan pada beberapa hal berikut: mengapa harus berubah ke UIN? Bagaimana
bangunan paradigma keilmuan UIN-UIN yang ada di Indonesia? Bagaimana sejatinya
paradigma keilmuan UIN Kiai Ageng Muhammad Besari? Bagaimana kerangka kurikulum
UIN Kiai Ageng Muhammad Besari?
Untuk meneguhkan
unsur-unsur itu, perlu dibahas sejarah berdirinya Pendidikan Tinggi Islam;
Perubahan Perguruan Tinggi Islam secara umum; dan Perubahan IAIN Ponorogo ke
UIN Kiai Ageng Muhammad Besari. Begitu juga, perlu merekonstruksi ragam
Paradigma Keilmuan UIN-UIN yang ada selama ini, agar kita bisa menempatkan
posisi paradigma keilmuan UIN Kiai Ageng Muhammad Besari.
Baru setelah itu,
kita rumuskan bangunan Paradigma Keilmuan UIN Kiai Ageng Muhammad Besari
Ponorogo, baik pola paradigma keilmuann yang hendak digunakan, maupun simbol
paradigma keilmuannya, misalnya simbol “Piramida Keilmuan” dengan unsur
utamanya adalah Tuhan, alam, dan manusia. Dari sini kita bisa menurunkan
paradigma dan simbol keilmuan itu ke dalam fakultas dan prodi, misalnya
fakultas ilmu Agama dengan berbagai prodinya, fakultas Sains dengan berbagai
prodinya, dan fakultas Ilmu Sosial dengan berbagai prodinya. Dari sini kemudian
kita rumuskan Kerangka Kurikulumnya berdasar Paradigma Keilmuan yang digunakan,
termasuk Profil lulusannya. Selamat dan semoga IAIN Ponorogo segera beralih
status menjadi UIN Kiai Ageng Muhammad Besari.
Editor: Munir
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.