Iklan Layanan

Cuplikan

Beberapa Modal dari Pierre Bordiue untuk Calon Rektor UIN Njenangan

Ilustrasi: ibtimes.id, iainponorogo.ac.id

Kampus merupakan lingkungan pendidikan formal. Dikatakan formal karena sebagaimana sekolah, di kampus juga terlaksana serangkaian kegiatan terencana dan terorganisasi, termasuk dalam rangka proses belajar-mengajar di kelas. Kampus juga dikenal sebagai ruang profan yang berfungsi sebagai kajian riset dan berkembangnya peradaban pada suatu daerah. Ruang profan yang dimaksud adalan ruang yang positif dengan karakter objektif dalam memandang realitas. Setiap peradaban yang terbentuk tentu banyak memunculkan ekspresi dalam setiap individu yang saling berinteraksi. Ungkapan ekspresi tersebut biasa kita sebut sebagai kebudayaan.

Bertepatan adanya pemilihan rektor baru, barangkali banyak individu yang telah saling mengungkapkan ekspresinya sehingga perlu mengetahui apa saja modal yang perlu dimiliki untuk menjadi rektor pada ruang profan yang selanjutnya disebut UIN Njenangan. Ruang yang hampa tanpa arah tentu perlu mencari sudut pandang yang akan menjadi dasar bergerak kampus tersebut. Hal tersebut perlu adanya seorang pemimpin yang selanjutnya kita sebut sebagai rektor yang mampu membawa UIN Njenangan ini menuju kejayaannya.

Kali ini penulis akan meminjam teori kebudayaan yang diungkapkan Pierre Bordiue yang selanjutnya akan membahas tentang kontestasi modal antar individu maupun kelompok. Bordiue merupakan seorang filsuf berkebangsaan Prancis yang melakukan penelitiannya di wilayah Aljazair yang kala itu masih menjadi koloni Prancis. Ketika di Aljazair, Bordiue melakukan penelitian fakta sosial pada masyarakat di sana. Bordiue mengejawantahkan bahwa faktor yang mempengaruhi tiap individu mengubah kebiasaannya karena terdapat modal yang mampu menginternalisasi hingga menguasai suatu individu maupun kelompok. Modal ini kemudian oleh Bordiue dibagi menjadi empat yang berhubungan satu dengan lainnya.

Keempat kapital tersebut dapat dianalogikan dengan mudah dalam pemilihan rektor kali ini sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi terpilihnya rektor UIN Njenangan. Salah satu yang mempengaruhi terpilihnya rektor ialah bagaimana calon rektor membangun relasi dengan orang-orang yang berhubungan dengan pemilihan rektor. Relasi yang dibangun bisa melalui keluarga sendiri yang telah melenting di pusat maupun dengan hubungan baik sebagaimana kita di warung kopi, meski hal tersebut tidak mungkin terjadi.

Statement di atas berhubungan erat dengan modal pertama, yakni modal sosial yang berhubungan erat dengan geneologi UIN Njenangan yang ditopang oleh beberapa pondok pesantren dan secara otomatis bakal membahas hubungan rumit geneologi UIN Njenangan dari masa ke masa dalam tata letak segala elemen yang ada di UIN Njenangan.

Modal kedua yang diperlukan untuk menjadi rektor tentu saja tentang financial yang cukup untuk digunakan untuk apa saja dalam mempermulus jalan menjadi rektor UIN Njenangan. Kecukupan financial menjadi hal yang fundamental untuk menjadi seorang pemimpin, apalagi di negara Indonesia yang saat ini terkena efisiensi hingga kampus kita tercinta kehilangan dayanya dalam penggunaan dan menyediakan fasilitas kampus secara maksimal. Hal tersebut menuntut kampus untuk memiliki alternatif modal lain. Sudah semestinya alternatif tersebut menjadi nilai tawar konkret bagi masyarakat yang menunggu gebrakan mahasiswa yang sering disebut sebagai kaum intelektual. Modal ini sudah sepatutnya tak perlu diperjelas antara hasil dan sirkulasi untuk menjadi rektor hingga apa gunanya menjadi rektor UIN Njenangan kelak.

Ketiga adalah modal budaya, di mana modal ini merupakan salah satu bentuk yang dimaksud oleh Bordiue sesuai dengan arenanya, yakni kampus. Budaya di sini adalah baca-tulis, dialektika, dan riset akan melahirkan kaum-kaum intelektual. Modal budaya yang ada di kampus semestinya juga dimiliki oleh rektornya juga. Budaya-budaya tersebut tercermin dalam kebiasaan ‘membaca’ keilmuan seminimal mungkin tentang fakultasnya dengan tujuan meningkatkan pengetahuan dan wawasan, menelurkan pikiran tanpa harus memperalat orang lain dengan menulis, melaksanakan pengabdian masyarakat hingga bertukar pikiran dalam forum-forum ilmiah. Sialnya, hal tersebut acapkali dipandang sebelah mata yang harusnya menjadi hal fundamental dalam membentuk peran dan fungsi mahasiswa.

Modal yang terakhir adalah modal simbolik, yang tak semua orang menyadari adanya modal tersebut. Penampakan modal ini terselubung dalam setiap teks yang tertuang dalam setiap yang terlihat. Dalam memahami modal terakhir ini dapat dilakukan dengan menerka-nerka melalui simbol-simbol yang memiliki makna dan mampu mempengaruhi pembaca secara tidak sadar. Analogi yang tepat ketika kita membicarakan UIN Njenangan ialah dengan adanya narasi kampus inklusif yang kenyataanya kampus belum siap dikatakan sebagaimana narasi yang telah dilontarkan.

Hemat kata, Bordieu menjadi referensi penulis dalam memandang apa saja yang diperlukan untuk menjadi rektor UIN Njenangan oleh para calon rektor dengan segala modal yang bakal dikontestasikan menuju kejayaan UIN Njenangan di masa mendatang. Penting diungkapkan bahwa sebagai mahasiswa UIN Njenangan mengetahui kacamata pandang para calon rektor dan modal apa yang akan dibawa oleh para calon rektor ketika telah menjadi rektor UIN Ngrupit kelak. Entah modal yang membawa pada infrastruktur yang bermutu atau menumbuhkan sudut pandang yang berkelanjutan dalam aspek-aspek yang telah ditentukan.


Penulis: Roihan Mahmudi
Editor: Munir

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.