Iklan Layanan

Cuplikan

Seutas Refleksi Pasca Pemira

Ilustrasi: pinterest.com

Sebelumnya, saya ucapkan selamat dan sukses kepada belasan paslon yang telah memenangkan kontestasi melawan kotak kosong. Tentu saya tidak men-judge bahwa ini prestasi atau bukan, silakan pembaca sendiri yang menyimpulkan. Pada akhirnya, Pemira (Pemilihan Umum Raya) telah selesai dilaksanakan. Perlu kita ingat kembali jikalau Pemira menjadi salah satu bukti bahwa kampus ini benar-benar demokrasi.

Ada beberapa kawan dan pasangan calon (paslon) dalam proses Pemira selalu membicarakan bagaimana demokrasi di kampus ini perlu dijaga. Sehingga maklum saja ketika kursi di daerah pemilihan (dapil) Senat Mahasiswa (Sema) baik di institut maupun fakultas tidak diisi oleh penduduk aslinya. Tentu hal tersebut sah-sah saja sebab belum ada ketentuan yang mengatur itu, baik di Undang-Undang (UU) Kongres maupun di Peraturan Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (P-KPUM).

Beberapa kawan menegaskan bahwa adanya pengisian dapil oleh mahasiswa yang bukan warga aslinya merupakan suatu cara untuk mengamalkan salah satu asas demokrasi, yakni pemerataan. Sebab apapun latarbelakang (jurusan) mahasiswa tersebut, mereka akan tetap mengawal dan menyampaikan aspirasi atau tuntutan dari mahasiswa di bawah naungannya (dapil) sampai terwujud atau tuntas apabila mereka terpilih.

Lantas, apakah ketentuan mengenai dapil ini tidak layak dimasukkan dalam UU Kongres atau P-KPUM? Misalkan tidak, mengapa disebutkan aturan tentang mutasi? Aneh sekali. Lebih aneh lagi ketika dalam praktiknya, mutasi dilakukan sebelum rekapitulasi suara. Padahal dalam P-KPUM Bab VII tentang Mutasi Pasal 27 disebutkan: (1) Mutasi dilakukan setelah rekapitulasi suara hasil Pemira; (2) Mutasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat dilakukan apabila terdapat kursi kosong dalam suatu dapil dan calon anggota yang dimutasikan menyatakan bersedia; (3) Mutasi sebagaimana dimaksud ayat (2) harus memenuhi batas ambang suara sebagaimana dimaksud Pasal 26.

Pada momen ini, saya tidak menginginkan klarifikasi dari siapa pun sebab saya sudah tahu garis besar yang akan disampaikan. Pertama, bahwa jalannya Pemira tidak saklek sesuai UU Kongres dan P-KPUM. Kedua, segala sesuatu yang belum diatur dalam UU Kongres dan P-KPUM merupakan wewenang penuh penyelenggara (KPUM). Ketiga, jawaban yang paling lucu, bahwa yang tahu terkait Pemira adalah angkatan 21.

Selanjutnya adalah soal keantusiasan mahasiswa dalam Pemira yang sampai hari ini masih saja problematik. Betapa tidak, dari 11.000-an mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo, yang menyalurkan suara tidak lebih dari 3.000-an mahasiswa. Miris, tetapi saya selalu tidak sepakat ketika dalam kondisi seperti ini yang disalahkan adalah kurangnya sumber daya mahasiswa. Belum tentu hal tersebut masalahnya, siapa tahu ada dosa yang dilakukan oleh senior-senior kita, yang sedihnya masih diaminkan sampai saat ini.

Saya pernah bertanya kepada beberapa mahasiswa dan teman-teman saya terkait keengganan mereka untuk berpartipasi dalam Pemira. Katanya, “Ngapain ikut berpatisipasi dalam Pemira, wong sistemnya sudah dipegang kelompok paling dominan di kampus kok. Percuma!” Bukankah hal ini menunjukkan bahwa banyak mahasiswa yang sudah kehilangan kepercayaan pada Pemira, padahal Pemira ini dikatakan sebagai sarana demokrasi kampus.

Sedihnya, ada media humas kampus yang memberitakan bahwa Pemira ini penuh antusiasme mahasiswa. Mahasiswa yang mana? Apa indikatornya? Silakan cek ada berapa banyak paslon tunggal dalam Pemira ini, bahkan debat pun dipenuhi oleh kursi-kursi kosong. Ketika saya telusuri siapa penulis berita itu, ternyata penulisnya adalah salah satu paslon dalam Pemira. Pantas saja dalam berita tersebut dilampirkan gambar proses rekapitulasi suara, padahal kata KPUM–saat proses rekapitulasi–siapa pun dilarang mendokumentasikannya karena bersifat rahasia. Bahkan teman-teman LPM aL-Millah juga tidak boleh. Terus yang ini kok boleh? Silakan disimpulkan sendiri.

Kembali kepada demokrasi yang digaungkan oleh banyak paslon, ada kabar menyedihkan dari beberapa teman, bahwa proses pemilihan ketua Sema Institut tidak dilakukan sesuai peraturan yang ada. Singkatnya, dalam sidang pleno tersebut, presidium mempunyai hak suara dalam pemilihan. Padahal dalam tata tertib sidang pleno yang saya dapatkan, mekanisme pengambilan putusan dengan asas musyawarah mufakat.  Misal musyawarah mufakat tidak menemukan hasil, agaknya masih bisa menggunakan sistem voting. Lantas siapa yang punya hak suara ketika menggunakan sistem voting? Tentu saja peserta penuh. Dalam Tatib Sidang Pleno disebutkan bahwa peserta penuh adalah pengurus SEMA Periode 2025/2026. Apakah presidium termasuk peserta penuh? Jika mengacu pada Tatib tersebut, tentu saja bukan.

Lebih lanjut, andai kata dalam sidang tersebut menggunakan sistem voting dan tidak menemukan hasil karena suara imbang, bukankah dalam sidang ada istilah lobbying? Ketika lobbying masih belum menemukan hasil, bukankah ada skorsing? Akan tetapi, entahlah, barangkali ada peraturan baru yang mana belum saya ketahui. Atau mungkinkah karena pemegang sistem? Saya juga tidak tahu. Namun, apakah benar ini yang dimaksud dengan demokrasi?

Terlepas dari semua itu, anggap saja ini dosa masa lalu yang hanya perlu diperbaiki di kemudian hari, bukan sesuatu yang perlu ditutup-tutupi dan menganggap bahwa ini baik-baik saja. Sebagai mahasiswa, tentu kita butuh solidaritas sebab kita punya musuh bersama, yakni ’moncong senjata’. Mari rapatkan barisan dan ambil peran sesuai bidangnya. Sudahi pertengkaran-pertengkaran tentang perbedaan bendera. Saya yakin, organisasi-organisasi itu tidak didirikan oleh para pendahulu hanya untuk menempatkan para kader di posisi strategis dalam kampus, tapi lebih dari itu!


Penulis: Munir
Editor: Rena

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.