Seutas Refleksi Pasca Pemira
Sebelumnya, saya ucapkan selamat dan sukses kepada belasan
paslon yang telah memenangkan kontestasi melawan kotak kosong. Tentu saya tidak men-judge bahwa ini prestasi atau bukan, silakan
pembaca sendiri yang menyimpulkan. Pada akhirnya, Pemira (Pemilihan Umum Raya) telah selesai dilaksanakan. Perlu kita
ingat kembali jikalau Pemira menjadi salah satu bukti bahwa kampus ini
benar-benar demokrasi.
Ada beberapa kawan dan pasangan calon (paslon) dalam
proses Pemira selalu membicarakan bagaimana demokrasi di kampus ini perlu
dijaga. Sehingga maklum saja ketika kursi di daerah pemilihan (dapil) Senat Mahasiswa
(Sema) baik di institut maupun fakultas tidak diisi oleh penduduk aslinya. Tentu
hal tersebut sah-sah saja sebab belum ada ketentuan yang mengatur itu, baik di
Undang-Undang (UU) Kongres maupun di Peraturan Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa
(P-KPUM).
Beberapa kawan menegaskan bahwa adanya pengisian dapil
oleh mahasiswa yang bukan warga aslinya merupakan suatu cara untuk mengamalkan salah
satu asas demokrasi, yakni pemerataan. Sebab apapun latarbelakang (jurusan)
mahasiswa tersebut, mereka akan tetap mengawal dan menyampaikan aspirasi atau
tuntutan dari mahasiswa di bawah naungannya (dapil) sampai terwujud atau tuntas
apabila mereka terpilih.
Lantas, apakah ketentuan mengenai dapil ini tidak layak
dimasukkan dalam UU Kongres atau P-KPUM? Misalkan tidak, mengapa disebutkan
aturan tentang mutasi? Aneh sekali. Lebih aneh lagi ketika dalam praktiknya,
mutasi dilakukan sebelum rekapitulasi suara. Padahal dalam P-KPUM Bab VII
tentang Mutasi Pasal 27 disebutkan: (1) Mutasi dilakukan setelah rekapitulasi
suara hasil Pemira; (2) Mutasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat dilakukan
apabila terdapat kursi kosong dalam suatu dapil dan calon anggota yang
dimutasikan menyatakan bersedia; (3) Mutasi sebagaimana dimaksud ayat (2) harus
memenuhi batas ambang suara sebagaimana dimaksud Pasal 26.
Pada momen ini, saya tidak menginginkan klarifikasi dari
siapa pun sebab saya sudah tahu garis besar yang akan disampaikan. Pertama,
bahwa jalannya Pemira tidak saklek sesuai UU Kongres dan P-KPUM. Kedua, segala
sesuatu yang belum diatur dalam UU Kongres dan P-KPUM merupakan wewenang penuh
penyelenggara (KPUM). Ketiga, jawaban yang paling lucu, bahwa yang tahu terkait
Pemira adalah angkatan 21.
Selanjutnya adalah soal keantusiasan mahasiswa dalam
Pemira yang sampai hari ini masih saja problematik. Betapa tidak, dari 11.000-an
mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo, yang menyalurkan suara
tidak lebih dari 3.000-an mahasiswa. Miris, tetapi saya selalu tidak sepakat
ketika dalam kondisi seperti ini yang disalahkan adalah kurangnya sumber daya
mahasiswa. Belum tentu hal tersebut masalahnya, siapa tahu ada dosa yang
dilakukan oleh senior-senior kita, yang sedihnya masih diaminkan sampai saat
ini.
Saya pernah bertanya kepada beberapa mahasiswa dan
teman-teman saya terkait keengganan mereka untuk berpartipasi dalam Pemira. Katanya,
“Ngapain ikut berpatisipasi dalam Pemira, wong sistemnya sudah dipegang
kelompok paling dominan di kampus kok. Percuma!” Bukankah hal ini
menunjukkan bahwa banyak mahasiswa yang sudah kehilangan kepercayaan pada
Pemira, padahal Pemira ini dikatakan sebagai sarana demokrasi kampus.
Sedihnya, ada media humas kampus yang memberitakan bahwa
Pemira ini penuh antusiasme mahasiswa. Mahasiswa yang mana? Apa indikatornya?
Silakan cek ada berapa banyak paslon tunggal dalam Pemira ini, bahkan debat pun
dipenuhi oleh kursi-kursi kosong. Ketika saya telusuri siapa penulis berita
itu, ternyata penulisnya adalah salah satu paslon dalam Pemira. Pantas saja
dalam berita tersebut dilampirkan gambar proses rekapitulasi suara, padahal
kata KPUM–saat proses rekapitulasi–siapa pun dilarang mendokumentasikannya
karena bersifat rahasia. Bahkan teman-teman LPM aL-Millah juga tidak boleh. Terus
yang ini kok boleh? Silakan disimpulkan sendiri.
Kembali kepada demokrasi yang digaungkan oleh banyak paslon,
ada kabar menyedihkan dari beberapa teman, bahwa proses pemilihan ketua Sema
Institut tidak dilakukan sesuai peraturan yang ada. Singkatnya, dalam sidang
pleno tersebut, presidium mempunyai hak suara dalam pemilihan. Padahal dalam
tata tertib sidang pleno yang saya dapatkan, mekanisme pengambilan putusan
dengan asas musyawarah mufakat. Misal
musyawarah mufakat tidak menemukan hasil, agaknya masih bisa menggunakan sistem
voting. Lantas siapa yang punya hak suara ketika menggunakan sistem voting?
Tentu saja peserta penuh. Dalam Tatib Sidang Pleno disebutkan bahwa peserta
penuh adalah pengurus SEMA Periode 2025/2026. Apakah presidium termasuk peserta
penuh? Jika mengacu pada Tatib tersebut, tentu saja bukan.
Lebih lanjut, andai kata dalam sidang tersebut
menggunakan sistem voting dan tidak menemukan hasil karena suara imbang,
bukankah dalam sidang ada istilah lobbying? Ketika lobbying masih
belum menemukan hasil, bukankah ada skorsing? Akan tetapi, entahlah, barangkali
ada peraturan baru yang mana belum saya ketahui. Atau mungkinkah karena
pemegang sistem? Saya juga tidak tahu. Namun, apakah benar ini yang dimaksud
dengan demokrasi?
Terlepas dari semua itu, anggap saja ini dosa masa lalu
yang hanya perlu diperbaiki di kemudian hari, bukan sesuatu yang perlu
ditutup-tutupi dan menganggap bahwa ini baik-baik saja. Sebagai mahasiswa,
tentu kita butuh solidaritas sebab kita punya musuh bersama, yakni ’moncong
senjata’. Mari rapatkan barisan dan ambil peran sesuai bidangnya. Sudahi
pertengkaran-pertengkaran tentang perbedaan bendera. Saya yakin,
organisasi-organisasi itu tidak didirikan oleh para pendahulu hanya untuk
menempatkan para kader di posisi strategis dalam kampus, tapi lebih dari itu!
Editor: Rena
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.