Stilistika Esoteris
Masyarakat muslim sektor
jagat maya gempar oleh perkataan seorang perempuan mantan penghafal Quran.
Dalam sebuah siniar, ia menyebut, menghafal kitab suci tersebut tanpa disertai
pemahaman terhadap isinya, tidak penting lagi buang-buang waktu. Namun,
betulkah membaca atau, lebih jauh lagi, menghafal al-Quran tanpa sama sekali
mengerti isinya, adalah kesia-siaan?
Sepintas, pernyataan itu
memang tak seluruhnya bisa dibilang keliru. Jika kita mengamini kitab suci (agama
apa pun) adalah suluh pituduh, suar pemancar ajaran-moralitas, menghafal atau
membacanya dari bahasa asal tanpa pernah mengerti artinya, jelas akan terasa
sebagai kesia-siaan belaka. Saya sendiri pernah berpikir hal yang sama dengan
apa yang sang mantan penghafal Quran itu sampaikan. Kita memang layak sangsi
dengan faedah dari tradisi menghafal, bila mengingat kini kita hidup di zaman
yang telah mengenal tradisi tulis. Manfaat dari aktivitas menghafal, memang
terasa lebih relevan jika kita masih berada di cangkang kebudayaan lisan.
Bukankah, kodifikasi ayat-ayat yang berserakan, dimaksudkan antara lain untuk
memudahkan dalam menghafalkannya?
Bagi masyarakat yang belum
akrab dengan tradisi baca-tulis, menghafal memang merupakan aktivitas yang
begitu penting. Di era kelisanan, para penghafal (tidak hanya para penghafal
Quran) sama pentingnya dengan buku-buku ketika mesin cetak telah ditemukan,
atau ponsel pintar di abad teknologi. Akan tetapi, al-Quran adalah kitab suci
yang ditulis dalam langgam puisi. Sebagai kitab suci yang ditulis dengan
langgam puisi, al-Quran lebih merupakan kitab yang dibaca, bukan hanya untuk
mendulang informasi. al-Quran tak serupa buku diktat hukum dan ajaran moral
yang hanya penting untuk dikutip-cungkili dalil-dalilnya. Kendati kita tahu, ia
berlimpah kandungan semacam itu.
Dalam sebuah wawancara di The New York Times, Karen Armstrong,
seorang teolog yang menyebut dirinya Freelance
Monotheist itu menyangkal tanggapan miring orang-orang mengenai al-Quran.
Sebab kepadanya, mereka sering mengatakan telah membaca al-Quran dari awal
sampai akhir, dan merasa, bacaannya membosankan,
dogmatis, serta repetitif. Namun, “al-Quran,” tukas Armstrong, “pada awalnya memang
tak dimaksudkan untuk sekadar dibaca.” Ia adalah puisi, “...dan seperti puisi
hebat lainnya,” ujar Armstrong, “tentu saja tidak dalam bentuk alih aksara.”
Lagipula, ketika bahkan
seseorang memiliki penguasaan terhadap bahasa Arab sekalipun, memahami al-Quran
masih merupakan pekerjaan yang tak gampang. Itulah mengapa banyak orang Barat
menganggap kitab suci ini sebagai “susah dipahami”, bahkan ketika ayat-ayatnya
telah dialihaksarakan ke dalam bahasa Inggris sekalipun. Gaya bahasanya yang
padat, dilimpahi dengan simbol dan tamsil, memang menuntut kemampuan
interpretasi yang memadai. Dan interpretasi, kita tahu, membutuhkan lebih dari
sekadar kefasihan berbahasa.
Saya ingat, ketika
firman-firman di dalam al-Quran diwahyukan kepada Muhammad, sang utusan itu pun
bahkan kewalahan mengartikulasikan visi dan arti penting dalam apa yang
dinubuatkan padanya. Berbeda dengan Taurat yang temurun dalam waktu serentak kepada Musa di Jabal Sinai, al-Quran
diwahyukan kepada Muhammad secara berangsur. Ayat demi ayat diturunkan dalam
rentang waktu terbilang panjang.
Dalam rentetan waktu nan panjang
itu, al-Quran diwahyukan dalam bentuk verbal yang sering tak selalu gamblang.
Bahkan dengan makna yang kerap tak koheren. Dalam sebuah riwayat, al-Quran
bahkan diwahyukan bukan dalam wujud “kata”, tetapi “bunyi” gemerincing sebuah
genta. Tak ayal jika Muhammad, sebagai sosok pinilih untuk merisalahkannya pun terengah-engah mentranskrip
firman ke dalam bahasa manusia. Tapi, kesusahan ini justru akan analog dengan
bentuk daripada al-Quran sendiri, yang adalah puisi. Esensi dari pengalaman
religius pada hakikatnya bersifat puitis. Sementara puisi, bertumpu pada
teka-teki; ia mengatakan apa yang sebetulnya tak bisa dikatakan.
Armstrong juga berpendapat
bahwa arti kata qur'ān, yang berarti
'bacaan', hanya akan jelas jika kita mendengarkan al-Quran dilantunkan oleh seorang
qori’ yang terampil. Repitisi di dalam Quran merupakan mekanisme yang bekerja
dengan cara menyerupai variasi dalam sebuah karya musik. Yang secara halus
memperkuat melodi asli, sehingga menambah lapisan demi lapisan kompleks yang
berjalin-kelindan antara bentuk artistik dan makna estetiknya.
Selubuk seliang dengan
pandangan Armstrong, Hazleton pun menilai, asonansi serta aliterasi bunyi
al-Quran, sajak-sajaknya yang berirama, dan penggambarannya yang berganda,
adalah unsur-unsur fisik yang menjadikan kitab suci ini mudah diingat.
Berangkat dari hal itu, al-Quran—persis juga disebut Armstrong—yang berarti
“bacaan”, diakui juga oleh Hazleton bahwa ia tampaknya memang dibuat untuk
dibacakan dengan suara lantang. Ia, pada mulanya, tak dikonsepsikan untuk dibaca dalam mode hening. Itulah sebabnya,
jurnalis agnostik yang getol menyoal tema-tema sejarah, politik, dan agama itu
menyimpulkan, setiap kali al-Quran
dibacakan, dan didengar, dan dibacakan lagi, ia akan memperoleh soliditas yang
lebih besar.
Di mata saya, kompleksitas
gaya bahasa itu, tak hanya menjadi legitimasi fisik dari al-Quran sebagai al-i’jaz balaghi (mukjizat
kesusastraan). Kitab suci ini, kita tahu, turun di tengah-tengah masyarakat
yang hampir sebagian kaum lelakinya adalah para penyair ulung yang andal
menghasilkan ode, elegi, dan syair satire terkenal. “Tujuh Ode Emas” atau yang
dikenal dengan al-Mu’allaqat,
misalnya, adalah karya klasik dalam sastra Arab hingga dewasa ini. Apa pun itu,
yang penting untuk digarisbawahi di sini adalah, kompleksitas unsur musikal di
dalam al-Quran hanya akan terasa, ketika seseorang tak didesak oleh
keingintahuan terhadap arti-kata.
Kemerduan, efek yang
dihasilkan oleh bunyi seperti pada komposisi lagu ketika ditembangkan atau
puisi ketika diartikulasikan, menepikan gendang telinga serta pikiran seseorang
untuk sejenak berjarak dengan segala beban yang ditimpakan
pengertian-pengertian. Kita misalnya dapat menikmati alunan lagu gubahan
komponis Barat, Arab, atau manapun, tanpa perlu rikuh dengan ketidakpahaman kita terhadap isi lagu tersebut, sejauh
kemerduan mengepung diri kita.
Tetapi “bunyi”, tukas
Goenawan Mohamad, adalah bagian dalam bahasa puisi—sebagaimana juga di dalam
bahasa al-Quran—yang seperti napas: ia begitu penting sekaligus begitu lumrah.
Sesuatu hal yang telah menjadi kelumrahan, betapa pun vital, akan dengan mudah
menjadi perkara yang tak penting jadi perhatian. Padahal, persis sebuah puisi,
al-Quran bukan semata-mata kata. Bukan juga melulu sekumpulan kalimat, yang
mendesak mata untuk cermat menangkap arti, baik yang tersurat maupun yang
tersirat.
Persis juga sebuah puisi,
al-Quran tampil pula sebagai nada. Di dalamnya pun kinandut bunyi, bahkan keheningan.
Huruf-huruf fawatihus suwar di
sejumlah surat, seperti alim lam mim,
kaf ha’ ya’ ‘ain shad, atau tha’ sin misalnya, dikategorikan ke
dalam huruf-huruf al-muqaththaah (yang
tak bermakna). Di sini kita melihat bahwa segala hal tak selalu harus
diartikan, juga dimengerti. al-Quran, seperti halnya puisi, bukanlah kitab suci
yang melulu mencawiskan sebuah “pesan”. Ia juga menghasilkan sebuah “kesan”.
Sebuah “kesan” pada
akhirnya adalah sebuah “pengalaman”. Jika sebelumnya telah disebut bahwa esensi
dari pengalaman religius sejatinya bersifat puitis, dan sebuah puisi, selalu
bertumpu pada teka-teki, al-Quran pun demikian. Adanya huruf-huruf yang menentang
makna semantis seperti kita jumpai pada fawatihus
suwar, menegaskan bahwa kitab ini memang tak melulu hanya dibaca untuk
dicerap artinya. Di sini, al-Quran mengisap kita untuk masuk ke liang
pengalaman religius. Di mana di sana, kita mengalami sebuah kesan rasa
ketakberdayaan karena menghadapi sesuatu yang tak selalu dapat dipahami dengan
kerangka logika.
Walhasil, stilistika
kompleks semacam itu tidak hanya mengesankan keesoterisannya. Ia juga
memungkinkan aktivitas menyimak atau melantunkan ayat-ayatnya—pada tataran yang
lebih jauh—mendorong seseorang memasuki mode kesadaran yang sama sekali lain.
Kita dapat menyebut “mode kesadaran” itu sebagai tathmainnul qulub, sebuah kedamaian batin. Manakala kita sadar
bahwa kita tengah hidup pada masa di mana dunia seakan memaksa kaki terus
berpacu, berdesak, berlomba, memburu berbagai tujuan dan makna semu,
“membuang-buang waktu”—dengan melantunkan Quran dalam tindakan menghafal,
misalnya—barangkali menjadi sebuah “kemewahan” tersendiri. Dan ketergesaan,
justru merupakan sesuatu hal yang ditentang oleh al-Quran itu sendiri.
Dunia sebagaimana saya
sebut di atas, adalah pisau pahat yang menatah tabiat manusia cenderung
berorientasi pada pragmatisme. Kita mungkin juga sama merasakan adanya tilas
pragmatisme dalam ungkapan “membuang-buang waktu”. Ungkapan itu mengandaikan
kalkulasi yang didasarkan pada fondasi “untung-rugi”. Semakin banyak “waktu
dibuang” untuk aktivitas yang tak mendatangkan keuntungan material, maka
semakin banyaklah kerugian yang dituai seseorang.
Tentu saja tak segala hal
dapat diukur dalam perhitungan matematis semacam itu. Menariknya, Muhammad,
sang perisalah kitab suci itu sendiri, sejak jauh-jauh hari telah memprediksi
kemungkinan pragmatisme semacam itu. “Bacalah al-Quran,” demikian kata Muhammad,
“sebelum datang suatu kaum yang mendirikannya serupa menegakkan anak panah,
mereka menyegerakan dan tak menundanya.”[1] Membunyikan lafadz-lafadz di
dalam al-Quran, berarti mengembalikan apa yang perlahan pudar dari kelisanan
masa silam. Kita tak tahu persisnya apa. Barangkali semacam kedamaian,
barangkali sekadar ketenangan, yang menolak diberi nama.
Editor: Munir
[1] Hadits riwayat Jabir Ibn Abdillah RA dalam Tibyan fii Adabi Hamalatil Quran karangan
Imam Nawawi (Darul Minhaj, hlm. 73). Terkait dengan “yata’ajjaluuna ajrahu (mereka menyegerakan ganjarannya)”, Abu
Dawud, sebagaimana dikutip oleh Nawawi, menafsirkannya sebagai tujuan dan/atau
imbalan yang bersifat sesaat, semisal uang,
reputasi, dan sejenisnya.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.