Iklan Layanan

Cuplikan

Stilistika Esoteris

Foto: Pinterest (Claude Lemand Gallery (Paris) Dia Al-Azzawi (Irak) The Golden Odes Al-Mu'allaqat 1978)

Masyarakat muslim sektor jagat maya gempar oleh perkataan seorang perempuan mantan penghafal Quran. Dalam sebuah siniar, ia menyebut, menghafal kitab suci tersebut tanpa disertai pemahaman terhadap isinya, tidak penting lagi buang-buang waktu. Namun, betulkah membaca atau, lebih jauh lagi, menghafal al-Quran tanpa sama sekali mengerti isinya, adalah kesia-siaan?

Sepintas, pernyataan itu memang tak seluruhnya bisa dibilang keliru. Jika kita mengamini kitab suci (agama apa pun) adalah suluh pituduh, suar pemancar ajaran-moralitas, menghafal atau membacanya dari bahasa asal tanpa pernah mengerti artinya, jelas akan terasa sebagai kesia-siaan belaka. Saya sendiri pernah berpikir hal yang sama dengan apa yang sang mantan penghafal Quran itu sampaikan. Kita memang layak sangsi dengan faedah dari tradisi menghafal, bila mengingat kini kita hidup di zaman yang telah mengenal tradisi tulis. Manfaat dari aktivitas menghafal, memang terasa lebih relevan jika kita masih berada di cangkang kebudayaan lisan. Bukankah, kodifikasi ayat-ayat yang berserakan, dimaksudkan antara lain untuk memudahkan dalam menghafalkannya?

Bagi masyarakat yang belum akrab dengan tradisi baca-tulis, menghafal memang merupakan aktivitas yang begitu penting. Di era kelisanan, para penghafal (tidak hanya para penghafal Quran) sama pentingnya dengan buku-buku ketika mesin cetak telah ditemukan, atau ponsel pintar di abad teknologi. Akan tetapi, al-Quran adalah kitab suci yang ditulis dalam langgam puisi. Sebagai kitab suci yang ditulis dengan langgam puisi, al-Quran lebih merupakan kitab yang dibaca, bukan hanya untuk mendulang informasi. al-Quran tak serupa buku diktat hukum dan ajaran moral yang hanya penting untuk dikutip-cungkili dalil-dalilnya. Kendati kita tahu, ia berlimpah kandungan semacam itu.

Dalam sebuah wawancara di The New York Times, Karen Armstrong, seorang teolog yang menyebut dirinya Freelance Monotheist itu menyangkal tanggapan miring orang-orang mengenai al-Quran. Sebab kepadanya, mereka sering mengatakan telah membaca al-Quran dari awal sampai akhir, dan merasa, bacaannya membosankan, dogmatis, serta repetitif. Namun, “al-Quran,” tukas Armstrong, “pada awalnya memang tak dimaksudkan untuk sekadar dibaca.” Ia adalah puisi, “...dan seperti puisi hebat lainnya,” ujar Armstrong, “tentu saja tidak dalam bentuk alih aksara.”

Lagipula, ketika bahkan seseorang memiliki penguasaan terhadap bahasa Arab sekalipun, memahami al-Quran masih merupakan pekerjaan yang tak gampang. Itulah mengapa banyak orang Barat menganggap kitab suci ini sebagai “susah dipahami”, bahkan ketika ayat-ayatnya telah dialihaksarakan ke dalam bahasa Inggris sekalipun. Gaya bahasanya yang padat, dilimpahi dengan simbol dan tamsil, memang menuntut kemampuan interpretasi yang memadai. Dan interpretasi, kita tahu, membutuhkan lebih dari sekadar kefasihan berbahasa.

Saya ingat, ketika firman-firman di dalam al-Quran diwahyukan kepada Muhammad, sang utusan itu pun bahkan kewalahan mengartikulasikan visi dan arti penting dalam apa yang dinubuatkan padanya. Berbeda dengan Taurat yang temurun dalam waktu serentak kepada Musa di Jabal Sinai, al-Quran diwahyukan kepada Muhammad secara berangsur. Ayat demi ayat diturunkan dalam rentang waktu terbilang panjang.

Dalam rentetan waktu nan panjang itu, al-Quran diwahyukan dalam bentuk verbal yang sering tak selalu gamblang. Bahkan dengan makna yang kerap tak koheren. Dalam sebuah riwayat, al-Quran bahkan diwahyukan bukan dalam wujud “kata”, tetapi “bunyi” gemerincing sebuah genta. Tak ayal jika Muhammad, sebagai sosok pinilih untuk merisalahkannya pun terengah-engah mentranskrip firman ke dalam bahasa manusia. Tapi, kesusahan ini justru akan analog dengan bentuk daripada al-Quran sendiri, yang adalah puisi. Esensi dari pengalaman religius pada hakikatnya bersifat puitis. Sementara puisi, bertumpu pada teka-teki; ia mengatakan apa yang sebetulnya tak bisa dikatakan.

Armstrong juga berpendapat bahwa arti kata qur'ān, yang berarti 'bacaan', hanya akan jelas jika kita mendengarkan al-Quran dilantunkan oleh seorang qori’ yang terampil. Repitisi di dalam Quran merupakan mekanisme yang bekerja dengan cara menyerupai variasi dalam sebuah karya musik. Yang secara halus memperkuat melodi asli, sehingga menambah lapisan demi lapisan kompleks yang berjalin-kelindan antara bentuk artistik dan makna estetiknya.

Selubuk seliang dengan pandangan Armstrong, Hazleton pun menilai, asonansi serta aliterasi bunyi al-Quran, sajak-sajaknya yang berirama, dan penggambarannya yang berganda, adalah unsur-unsur fisik yang menjadikan kitab suci ini mudah diingat. Berangkat dari hal itu, al-Quran—persis juga disebut Armstrong—yang berarti “bacaan”, diakui juga oleh Hazleton bahwa ia tampaknya memang dibuat untuk dibacakan dengan suara lantang. Ia, pada mulanya, tak dikonsepsikan untuk  dibaca dalam mode hening. Itulah sebabnya, jurnalis agnostik yang getol menyoal tema-tema sejarah, politik, dan agama itu menyimpulkan, setiap kali al-Quran dibacakan, dan didengar, dan dibacakan lagi, ia akan memperoleh soliditas yang lebih besar.

Di mata saya, kompleksitas gaya bahasa itu, tak hanya menjadi legitimasi fisik dari al-Quran sebagai al-i’jaz balaghi (mukjizat kesusastraan). Kitab suci ini, kita tahu, turun di tengah-tengah masyarakat yang hampir sebagian kaum lelakinya adalah para penyair ulung yang andal menghasilkan ode, elegi, dan syair satire terkenal. “Tujuh Ode Emas” atau yang dikenal dengan al-Mu’allaqat, misalnya, adalah karya klasik dalam sastra Arab hingga dewasa ini. Apa pun itu, yang penting untuk digarisbawahi di sini adalah, kompleksitas unsur musikal di dalam al-Quran hanya akan terasa, ketika seseorang tak didesak oleh keingintahuan terhadap arti-kata.

Kemerduan, efek yang dihasilkan oleh bunyi seperti pada komposisi lagu ketika ditembangkan atau puisi ketika diartikulasikan, menepikan gendang telinga serta pikiran seseorang untuk sejenak berjarak dengan segala beban yang ditimpakan pengertian-pengertian. Kita misalnya dapat menikmati alunan lagu gubahan komponis Barat, Arab, atau manapun, tanpa perlu rikuh dengan ketidakpahaman kita terhadap isi lagu tersebut, sejauh kemerduan mengepung diri kita.

Tetapi “bunyi”, tukas Goenawan Mohamad, adalah bagian dalam bahasa puisi—sebagaimana juga di dalam bahasa al-Quran—yang seperti napas: ia begitu penting sekaligus begitu lumrah. Sesuatu hal yang telah menjadi kelumrahan, betapa pun vital, akan dengan mudah menjadi perkara yang tak penting jadi perhatian. Padahal, persis sebuah puisi, al-Quran bukan semata-mata kata. Bukan juga melulu sekumpulan kalimat, yang mendesak mata untuk cermat menangkap arti, baik yang tersurat maupun yang tersirat.

Persis juga sebuah puisi, al-Quran tampil pula sebagai nada. Di dalamnya pun kinandut bunyi, bahkan keheningan. Huruf-huruf fawatihus suwar di sejumlah surat, seperti alim lam mim, kaf ha’ ya’ ‘ain shad, atau tha’ sin misalnya, dikategorikan ke dalam huruf-huruf al-muqaththaah (yang tak bermakna). Di sini kita melihat bahwa segala hal tak selalu harus diartikan, juga dimengerti. al-Quran, seperti halnya puisi, bukanlah kitab suci yang melulu mencawiskan sebuah “pesan”. Ia juga menghasilkan sebuah “kesan”.

Sebuah “kesan” pada akhirnya adalah sebuah “pengalaman”. Jika sebelumnya telah disebut bahwa esensi dari pengalaman religius sejatinya bersifat puitis, dan sebuah puisi, selalu bertumpu pada teka-teki, al-Quran pun demikian. Adanya huruf-huruf yang menentang makna semantis seperti kita jumpai pada fawatihus suwar, menegaskan bahwa kitab ini memang tak melulu hanya dibaca untuk dicerap artinya. Di sini, al-Quran mengisap kita untuk masuk ke liang pengalaman religius. Di mana di sana, kita mengalami sebuah kesan rasa ketakberdayaan karena menghadapi sesuatu yang tak selalu dapat dipahami dengan kerangka logika.

Walhasil, stilistika kompleks semacam itu tidak hanya mengesankan keesoterisannya. Ia juga memungkinkan aktivitas menyimak atau melantunkan ayat-ayatnya—pada tataran yang lebih jauh—mendorong seseorang memasuki mode kesadaran yang sama sekali lain. Kita dapat menyebut “mode kesadaran” itu sebagai tathmainnul qulub, sebuah kedamaian batin. Manakala kita sadar bahwa kita tengah hidup pada masa di mana dunia seakan memaksa kaki terus berpacu, berdesak, berlomba, memburu berbagai tujuan dan makna semu, “membuang-buang waktu”—dengan melantunkan Quran dalam tindakan menghafal, misalnya—barangkali menjadi sebuah “kemewahan” tersendiri. Dan ketergesaan, justru merupakan sesuatu hal yang ditentang oleh al-Quran itu sendiri.

Dunia sebagaimana saya sebut di atas, adalah pisau pahat yang menatah tabiat manusia cenderung berorientasi pada pragmatisme. Kita mungkin juga sama merasakan adanya tilas pragmatisme dalam ungkapan “membuang-buang waktu”. Ungkapan itu mengandaikan kalkulasi yang didasarkan pada fondasi “untung-rugi”. Semakin banyak “waktu dibuang” untuk aktivitas yang tak mendatangkan keuntungan material, maka semakin banyaklah kerugian yang dituai seseorang.

Tentu saja tak segala hal dapat diukur dalam perhitungan matematis semacam itu. Menariknya, Muhammad, sang perisalah kitab suci itu sendiri, sejak jauh-jauh hari telah memprediksi kemungkinan pragmatisme semacam itu. “Bacalah al-Quran,” demikian kata Muhammad, “sebelum datang suatu kaum yang mendirikannya serupa menegakkan anak panah, mereka menyegerakan dan tak menundanya.”[1] Membunyikan lafadz-lafadz di dalam al-Quran, berarti mengembalikan apa yang perlahan pudar dari kelisanan masa silam. Kita tak tahu persisnya apa. Barangkali semacam kedamaian, barangkali sekadar ketenangan, yang menolak diberi nama.


Penulis: Yohan Fikri
Editor: Munir



[1] Hadits riwayat Jabir Ibn Abdillah RA dalam Tibyan fii Adabi Hamalatil Quran karangan Imam Nawawi (Darul Minhaj, hlm. 73). Terkait dengan “yata’ajjaluuna ajrahu (mereka menyegerakan ganjarannya)”, Abu Dawud, sebagaimana dikutip oleh Nawawi, menafsirkannya sebagai tujuan dan/atau imbalan yang bersifat sesaat, semisal uang, reputasi, dan sejenisnya.


No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.